Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,
.jpg)
Apakah harus seorang filsuf saja yang ahli bertanya? Tidak! Setiap manusia, entah itu tua maupun muda, dewasa maupun anak-anak selalu bertanya. Apalagi anak-anak, senang memulai pertanyaan dengan kenapa dan mengapa? Dalam filsafat baik tingkat pemula [dasar] maupun tingkat lanjut [filsuf], “mengapa” adalah pertanyaan yang radiks [radikal] mendasar. Bertanya itu fitrah manusia. Itu sebabnya, meski para filsuf telah mati, zaman berubah, teknologi berkembang, dan pemikiran manusia semakin kompleks [rumit]. Filsafat akan tetap ada abadi dan akan menjelma ke dalam semua lapisan dan cabang-cabang ilmu-ilmu terapan seperti matematika, fisika, bahasa, ekonomi, dan lain sebagainya.
Filsafat bergantung dan terpengaruh kepada bahasa. Bahasalah yang menentukan dunia kita (keterbatasan pemikiran bisa jadi karena penguasaan bahasa). Orang yang mencintai filsafat adalah orang yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan (hikmah). Filsafat bukanlah jawaban, melainkan bagaimana cara (alat) kita bertanya dan mempertanyakan sesuatu. Sahabat Nabi, Imam Ali bin Abi Thalib yang bergelar pintu gerbang ilmu mengatakan, “pertanyaan yang benar adalah setengah dari jawaban.”
Di era yang serba digital dan online. Masihkah filsafat memberi makna? Masihkah ada yang tertarik untuk belajar filsafat? Ada dan banyak sekali. Lihat saja di situs-situs web, blog, grup filsafat di facebook,dan komunitas-komunitas kajian intelektual, spritual, dan motivasional.
Buku ini hadir dan sengaja disusun untuk pengenalan pemula, dan cara penyajiannya pun laiknya orang berbicara agar mudah dibaca, ditelaah, dan dimengerti. Belajar filsafat memang harus berpikir dan berperasaan. Sebab, pikir dan rasa itu pelita hati. []
Selamat berpikir!
Comments