Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,
S |
iang itu, seusai menghadiri undangan khusus dari Harian Umum WASPADA. Saat hendak pulang dan menyetop angkutan umum, tangan saya terasa kaku, sementara kaki saya memaksa ke arah Jalan Bridjen Katamso. Saya tidak tahu mengapa bisa seperti itu. Sambil jalan, pikiran saya melamun dan memperhatikan apa saja yang menarik hati. Di Jalan Katamso banyak sekali kantor-kantor biro perjalanan, agen kurir ekspedisi, dan ada tiga media cetak/online: Waspada, SIB, dan koran Realitas.

Mujurnya saya, Kota Medan siang itu tidak panas. Mendung mengapung. Matahari-mata hari ini seakan enggan menyengat, dan angin yang bertaut pelan menyapu debu dengan tersipu-sipu. Saya mempercepat langkah.
Dering ponsel bergetar di saku celana...
Ingin saya abaikan...
Saya sadar, kehadiran saya di Kota Medan seperti madu. Dua media lokal tiap hari menagih tulisan saya. Satu media online di Jakarta menunggu saya juga. Dan dua penerbit di Kota Bandung pun terus menggempur saya dengan email tawaran menulis.
Dan dering ponsel akhirnya betul-betul saya abaikan...
Sms datang, amboi betul rupanya, lagi-lagi tawaran menulis...
Saya memasuki gerbang. Seorang penjaga yang berjaket coklat sedang asyik menelepon. Ia tidak mempedulikan kehadiran orang. Dalam hati, apakah masuk ke Istana Maimun gratis? Dari kejauhan ponsel Nokia 2730 klasik dengan kamera 2 MP mulai saya bidikkan ke arah Istana Maimun.
17 tahun [1994-2011] meninggalkan Medan. Ketika bisa melihat kembali Istana Maimun yang didirikan 26 Agustus 1888. Hati saya tidak tentu, tidak pasti laksana spektrum roda-roda api atau seperti mesin las yang mengapungkan biji-biji besi. Terima kasih Semesta, setelah 17 tahun, saya bisa mengunduh keagungan dan kemasyhuran Kerajaan Melayu.
Saya tau kamera ponsel 2 MP kurang memadai untuk memotret hal-hal yang detail. Tidak apa pikir saya, yang penting ada kenangan. Begitu mendekati istana, saya sudah yakin. Pasti tidak akan menemukan apa yang saya cari. Benar saja! Tidak ada pasukan khas raja-raja Melayu atau sekurang-kurangnya orang yang berpakaian khas Teluk Belanga atau orang yang menari serampang 12 atau apa sajalah yang menunjukkan dan menyambut “saya sedang” berada di istana, bukan di sebuah bangunan yang mirip istana.
Dari tangga bawah, saya liat dua anak sekolah sedang memakai sepatu. Masuk Istana Maimun harus buka sepatu/sendal/selop, siapa pun itu termasuk pejabat negara.
Sebelum naik ke tangga atas. Saya sempatkan menikmati keindahan Istana Maimun, dekorasi, arsitektur, kipas angin gantung, ornamen, serta kepingan haluan sejarah yang terpental. Hari itu saya sedang tidak ingin berpikir keras mengingat-ingat sejarah Istana Maimun, Putri Hijau, Sungai Deli, Mariam Buntung [The Split Cannon] dan Masjid Raya. Terhadap Istana Maimun, saya hanya ingin takjub saja.
Sampai di tangga atas.
Saya tanya, “Dik masuk bayar?”
Mereka menjawab, “Bayar bang, Rp. 3000.-”

Langit-langit Istana tinggi. Ruangan terasa sejuk. Di dalam istana dipajang foto-foto keluarga kerajaan. Dari deretan foto-foto tersebut hanya satu yang menarik perhatian saya, foto anak kecil dan sudah pasti dibuat pada masa kini. Siapakah dia? Dalam tradisi Kerajaan Melayu ada istilah raja mangkat, raja diangkat. Sudah pasti itu keturunan raja, dan saya tidak yakin keturunan ke berapa.
Saya mengitari seluruh bagian istana.
Dan hati saya melengung,
suatu rasa yang lebih sepi dari sunyi,
suatu rasa yang lebih senyap dari gelap...
Tidak ada guide, tidak ada pemandu yang memberitahukan apa saja isi dan benda-benda bersejarah istana. Saya masih tertegun melihat keindahan ornamen dinding yang dipadu sentuhan warna kuning dan hijau. Sekilas saya perhatikan warnanya mirip dengan masjid-masjid yang ada di Iran.
Tiga orang anak sekolah SMA memasuki istana. Penjaga tiket pun datang. Anehnya saya masih belum ditagih. Saya teruskan langkah dan mengulanginya sekali lagi memasuki istana. Sengaja saya menguping pembicaraan anak-anak sekolah yang sedari tadi asyik mengobrol. Kata mereka soal Istana Maimun, membuat saya miris, “Istana Maimun cuma kek gitu aja, gak ada apa-apa.”

Anak sekolah yang lain mulai berdatangan, disusul rombongan perempuan-perempuan paro baya berwajah Tionghoa atau Thailand. Saya tidak begitu yakini ini dari luar negeri. Sebab, di Medan melihat orang berwajah etnis itu tidak aneh. Istana mulai penuh orang.
Bosan saya di dalam istana. Saya berdiri di tepi-tepi dinding. Menyaksikan pemandangan. Jika kita lihat dari depan. Bangunan istana memiliki panjang lebar yang persis serupa sama sisi-sisinya [kembar]. Kalau kebetulan Anda berdiri di sisi kiri, yang sisi kanan seolah-olah lebih panjang. Begitu pun sebaliknya. Sudut pandangnya pun mirip dengan lambung kapal.

Kepada penjaga tiket, saya bertanya, “Sehari pengunjung istana ada berapa?”
Ia menjawab, “100 kadang ada. Kebanyakan anak sekolah.” Dari satu pertanyaan itu, akhirnya timbul pertanyaan susulan.
“Adik pasti seniman, kalau tidak penulis, dan pasti bukan dari Medan.”
Dalam hati saya, waduh, ini orang seolah mau membaca saya. Saya tersenyum dan tidak menjawab. Ia bercerita, kalau ada yang bawa anak kecil menangis saja, sebaiknya keluar saja. Karena, mungkin saja ia diperlihatkan [baca: makhluk halus]. Saya tidak banyak bertanya. Ia terus saja bicara, entah apa saja. Saya kemudian berkata, “warna-warna di dalam istana mirip dengan masjid-masjid yang ada di Iran.” Ia langsung menyusul dengan pernyataan, bahwa Sultan Deli pun tersambung kepada Imam Ali dan baginda Nabi.

Dan pembicaraan saya terhenti...
Tamu-tamu pengunjung Maimun semakin ramai. Penjaga kewalahan dan aku pamitan. Ia menyalami saya dan saya pun menyalaminya.
Saya belum shalat, belum makan siang. Jam sudah menunjukkan pukul 14.36. Cacing memanggil karena lapar. Jiwa menggelepar karena belum menghadap Semesta.
Saat menuruni tangga Istana Maimun. Seutas kenangan membalut air mata saya.
Dan lamat-lamat setelah meninggalkan Istana Maimun, sekali lagi saya tolehkan wajah
mendung sudah tergambar di cakrawala.
Maimun esok saya kembali lagi! Will you be there...
Comments