Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,
M |
onumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat terletak di seberang kampus UNPAD Bandung. Apabila lengan dijuruskan dan pandangan diluruskan, tepat di tapuk mata kelihatan sekali Gedung Sate. Tampak juga sebuah taman kota dan lapangan Gazebo (GASIBU) yang melengkapi rekaman partikel keindahan sebuah monumen. Dari Gedung Sate, monumen perjuangan terletak di sebelah utara. Tak jauh dari monumen terdapat Gedung Telkom Indonesia dan Pertamina Indonesia.
Jika diperhatikan, wujud kreasi monumen perjuangan rakyat Jawa Barat terbuat dari beton yang menyerupai stilasi rebung bambu cikal-bakal bambu runcing. Dahulu, bambu runcing adalah senjata azimat berduri yang dilumuri kalimat-kalimat Tuhan sehingga dapat menembus jantung pertahanan musuh. Lalu sebagai sentral spektrum cakrawalanya, di bagian tengah monumen berdiri gagah burung Garuda Pancasila lambang negara dan simbol perekat kemajemukan dan keaneka-ragaman budaya, suku, agama, kepercayaan bangsa Indonesia.
Kita tahu, Garuda memiliki kekuatan magis bagi bangsa Indonesia, sedangkan Pancasila mempunyai dimensi masa lalu yang rumit bahkan sampai hari ini sejarah Pancasila Sakti belum menemukan format ideal yang dapat berdiri di atas iman agama, kepercayaan, dan keyakinan.

Di monumen perjuangan terdapat juga relief prasasti berbahasa Sunda yang menggambarkan perjuangan rakyat Jawa Barat dalam melawan kolonial. Lalu jika kita berkeliling sejenak, dan turun ke bawah terdapat ruang bawah tanah dengan pintu terkunci. Seharusnya ruang di bawah monumen ditujukan untuk museum, perpustakaan, atau dokumentasi lainnya. Tetapi, sayang dan malang sejak berdiri sekitar tahun 1995-1996, belum dibuka, entah karena alasan apa. Bahkan sebagian orang Bandung sendiri banyak yang tidak tahu arti dan fungsi monumen perjuangan rakyat Jawa Barat.
Yang jelas, terkadang setiap sore kawasan monumen ramai anak-anak muda dengan beragam pola kegiatan seperti olahraga; nongkrong; kongkow; pacaran; latihan berbaris; balap motor liar yang akan bubar jika polisi datang. Monumen biasa juga dipakai untuk acara-acara musik, eksibisi, ceramah agama, dan teramat banyak acara yang digelar. Selain itu, pada Hari Minggu pagi, sekisaran monumen jadi lautan manusia dan pasar kaget, PKL liar dan PKL berbayar. Bahkan, seorang ibu tidak canggung membawa bayinya yang berumur 7 bulan dan anak lelaki yang berumur 4 tahun. Ia terlihat asyik-asyik saja. Ada banyak keluarga dari luar kota yang sengaja datang. Ramai sekali, banyak dagangan, banyak permainan, banyak penglihatan, dan tentu saja banyak mimpi yang dijual. Macet sudah pasti absolut, tidak perlu diragukan lagi.
Kini, setelah 200 tahun usia Kota Bandung. Kegiatan dan pemanfaatan areal seputar monumen masih sama saja tiap harinya, tiap minggunya, tiap bulannya, bahkan tiap tahunnya. Tidak ada lagi kerjap kenangan baru yang dapat dijadikan pelajaran sejarah, semua seakan terkelupas oleh waktu dan keadaan.
Tulisan ini terpaksa kuhentikan akibat mendung yang mendera. Gerimis menebar, angin seakan bertunas, aku bergegas berlari meninggalkan monumen. Dan kemudian terasalah dalam partikel memoriku Debu-debu kosong bertasbih memuja hujan/Manusia mencari akar keinginan, yang ditemukan hanyalah kekosongan.//
Bandung, 17 Oktober 2010 Masehi
Comments