Sabda Mata Kepada Kabut Jalan
Ya Allah yang Maha Batin
Demi kaki catatan hari yang mengisi perjalanan
Jangan ada celah tempat bernaung bisikan maut mengisi paru-paru
Ya Allah yang Maha Sunyi
Rentangkan jasad fana ini
Di bahu-bahu jalan
Atau di sarang-sarang manyar
Kembalikan pekerti elok dari tangan memeram api
Aku lelaki lapuk
Gampang runyam disantap maut
Kepinding dan kelabang, tikus-tikus dan kecoa, kutu dan buku-buku
Satu memadu-madu dalam gapaian risau
Bukan lalu waktu yang kutunggu
Atau guliran maksud yang mendatangiku
Ya Allah yang Maha Kudus
Jangan Kau gagalkan daging dan ruh ini
Biarkan aku pulang dalam keutuhan
Menetaskan ibadah kembara
Dari raut yang memuliakan kehidupan
Aku di mana
Rasanya di mana-mana ada aku
Tapi tak kukenal lagi
Namamu ya Allah
Surup semakin surup tapi tak sunyi dalam kabut
Almanak Baru, 98 Masehi
Rohani
Suatu masa daftar coretan sajak ini
aku punahkan atau aku bakar atau kukoyak moyak seperti ini
kemudian serpihannya kukumpulkan kembali
kucari-cari di antara sampah plastik, debu tanah, parit busuk
Aku terguncang sanubari mulai hilang
kutemukan sebagian
Tapi bukan itu, bukan yang seperti dulu
Rumah Medan,akhir bulan satu
Surat
Surat dari seseorang belum selesai kubaca tadi malam, sampulnya coklat bergaris merah, tak berstempel pos data pengirim dan alamat tujuan
aku tak tahu muasal surat itu
tiba-tiba saja ada di lubang pintu
Dua hari kemudian
merpati meniupkan kabar
kalimat demi kalimat tetap saja tak bermaksud
tapi ada yang mengganggu
satu paragraph berisi pujian
ini bukan seperti surat kaleng
berisi ancaman dan pengumuman hutang
ini seperti surat cinta remaja
berisi ratap pengabul pinta
February 98, kawan lama menitip pesan
Refleksi
Aku ingin bermimpi tentang masa lalu
melayang dihempaskan, terdampar berkelana
namun, ada saja aral menghadang, tak boleh, tak boleh aku kesana, sekedar mewujud mengenang kembali, lukisan peristiwa silam
Jeritku dalam kepayahan
benda rupa-rupa berderap-derap menghakimi
tumbuh perasaan kosong, tumbuh muslihat jahat
duhai tubuh tulang yang kurus, sampai kapan menanggung kepalsuan
duhai rangka jiwa yang fana
kalbu yang mendamba
gairah meletup
dendangkanlah nyanyi puja dunia
enyahkanlah lidah yang mulai kelu
tiupkanlah gema cinta
agar damai bertaut, berbunyi seperti giring-giring
Appendix 98, RS. Permata Bunda Medan
Kelana
ombak garang mengusir pasir
pendaran sumbu benda langit
bertepek kemerah-merahan
sudah sepagi ini
sabit bulan mengawini awan
kepala lokomotif membelah pagi
peluit berdesing
danau singkarak
aku di ufuk sunyi
kejap-kejap dalam kefanaan
hawa ketakutan menakuti
sejauh ini aku terbuang
menginjak pulau
kembara, kelana
berkemah, bermukim
bertambat
Patah
Lama kau kutinggalkan
Aku menjaga kenangan
Kau menyusun masa depan
Kita berikrar demi sesuatu yang kosong
Kita bicara dengan hati dipagari duri
Tiba-tiba saja dalam mantra sihir waktu
Angin mengamuk dari arah belakang wusss……
Angin mangamuk dari arah muka pusss…….
Menderas-deras kuusir-usir huss…..
Lagi-lagi aku menguji membanding-bandingkan, Isi rohani dengan tulang rusukku
Percintaan mulai bercampur
Kau kujemput kita menuju
Setiap masa jadi rawan bagiku kini
Sayang, kurasa kita usai
Tapi, aku terlalu ceroboh menilai
Ibarat titipan perantara
Kusimpan sepanjang jalan
Namun ancaman rindu itu menjadi harum
Membuat hidupku demikian mahsyur
Wahai hikayat
Ajari rohaniku dengan lolongan
Badai kebenaran berilah maaf
Getar iba hempaskanlah muatan kesumat
Barangkali mati muda adalah sentausa
Mungkin juga hidup lama adalah indah
Perjalanan Bis ALS Mdn-Bdg (Muara Bungo) 98’
Sajak Buat : Yustin di Tanah Kusir Jakarta
dari keseharian yang kuingat
kau gempita
tetapi, tidak pada hari itu
ketika maut merajalela, kau kedinginan yustin
dan aku tak sabar menunggu pagi
menuntaskan malam sampai selesai
besok pagi kau berangkat yustin
pulang, ke muka tuhan
tanganku lemas
sajak doa tak kunjung kubaca
hingga amarah tiba, seperti lupa kau tiada
meski aku tak kenal kau siapa
tetapi, tragedi kemanusiaan mendorongku
barangkali jutaan anak mati tiap hari
kau bukan pemula
kau imbuhan yustin
berapa usiamu yustin, kudengar kau baru lima tahun
belum lagi kenal asam duka
kemudian mati dari nasib serupa
dari ketiadaan dalam nama
Maret 98, Berita koran di pojok jalan Lubuk Linggau
Rantau Panjang-Peureulak
Sajak buat: Djuriah
Aku mabuk kepayang bilamana mengenang buai-buaian
Bukan dalam ziarah atau penentram doa
Dari dentang hari lain
hari baru yang membuatku menyapa, tersenyum dan meronta
Tiap kali aku menetapkan langkah kau saja yang kuingat
Aku lupa tanggal, luput tahun, juga bulan kematian
Mungkin Februari atau April
Waktu itu, perjalanan Medan-Langsa malam hari, hujan
Aku duduk di depan, dan sirene ambulance menjerit-jerit tiap kali memasuki gerbang kota
Kini sekian tahun bunga di tepi kubur mulai merapuk
Urat-urat kamboja semakin tegap
Semakin lancang mencakar-cakar
rumput liar dan karat pagar menggetarkanku
Suatu masa kematian pasti merayu tapi bukan di sini, di batu-batu dingin, di atas para-para
Atau di jendela rumah Tuhan yang terbakar
Ma, boleh kucium kenangan lampau di Rantau Panjang yang elok, di rumah panggung setengah papan separuh bata, pada pandangan kolam temaram, ladang kopi, pokok randu dan alang-alang
Beberapa tahun kemudian aku kesana, ke Rantau Panjang-Peureulak
Ya Tuhan, atap rumbia, mesjid, musholla, jembatan, sungai, jalan-jalan, masih seperti dulu
terutama Kampung Besar pulut panggang, kopi, kue kara, sukun goreng
Ah serasa belum sirna seluruhnya
Namun, batinku tergerai bagai sajak lama
Manis bunyinya, indah langgamnya
Mamaku sayang, rindu ini senantiasa harum
seperti ceritra pantun akar leluhur
Gerlong Tengah 98, Mengenang Wafat Bunda Kesekian Tahun
Penyair
Sajak buat: Dik Nina
dari mata mengandung air telaga
engkau berdiri di tepian buih
kaki mungil bibir rapuh
badan melengkung, persis ular kadut
berapa usiamu dik
barangkali belum lewat tujuh belas tahun
batas waktu telah mengambil jarak
maaf dik nin tak ada bunga
metafora, atau kata-kata penuh doa
atau cinta padat, kuat, beralamat
dik nin, nanti kalau sudah tiga puluh tahun
jangan kawin dengan penyair
mimpi besar, ambisi besar, cita-cita besar, kemauan besar
mimpi besar, ambisi besar, cita-cita besar, kemauan besar
tapi mana, tapi fana
memang tidak salah orang tua bawa sekapur sirih
panjangkan umur, pertalikan rahim
dik, nina sekiranya dalam tiga puluh tahun
tak ada pinangan atau perjumpaan
putuskanlah siapa yang kau ambil
penyair, pengelana, pedagang, atau segumpal kelamin
tak ada beda dalam pertalian asam asmara
dik, nina sekiranya kau puja hidup membujang
biarlah aku meradang menantikanmu
membuai seperti belalang
terhampar merindukan padang
Taman Buku Ganesha, Mei 98’
Reform
Inilah pertama kali kulihat mahasiswa dipukuli polisi
Inilah pertama kali kudengar batu menggempur besi
lagu reformasi bersahut-sahut
suara caci-maki apalagi
anjing, babi, keparat, bedebah, setan politik
turunkan harga, gantung penguasa
polisi mengambil jarak
membuat barikade
mundur, mundur nanti kami pentung, kami pukul
mahasiswa tidak mundur, berteriak
hidup pak polisi
revolusi…
reformasi…
seketika amarah berubah
tangan menghalau kaki menerjang
maju…
batu melayang, tameng menghantam
spanduk, jaket almamater, helm, tas ransel
seluruhnya dipakai buat melindungi kepala
maklum, pendemo yang rusak alias kolaps, alias koit tidak dilindungi undang-undang
dari penindasan malapetaka
perjuangan, perjuangan
IKIP Setia Budhi, Mei 98’
Tapi apa?
aku memang salah, tapi kebenaran acapkali tidak benar seutuhnya
Justru saat riang kemilau memagari perasaan
Aku punah seperti renungan
barangkali ada yang terlewat dalam penantianku ini, tapi apa
barangkali ada yang tertinggal tapi apa
Genteng Gerlong Tengah, Juni 98’
Panorama
Sajak buat: Yuniar
rasanya kurun bertempur dalam rerintihan malam
bunga perasaan yang lambat tiba-tiba menguap
pertemuan yang pendek menjadi cerita
belum lagi kasih terbina
perpisahan hadir memberi arah
Geger Sunten, Juli 98’
September Putih
aku merindukan suatu tempat
sunyi, bersih, dan jauh dari teknologi
kupikir perpustakaan dan rumah tuhan tempat terbaik
bermenung, bersajak, menulis lagu doa, menaikkan puji-pujian
ternyata tidak
kupikir kamar diri dan meja kerja tempat terbaik
menangkap cita, membaca, menggaris bawah potret keluarga
ternyata tidak
suatu kurun yang gentar
masa yang terhampar
umur seperti perahu
lancip, tipis, kedap, acapkali terlambat melindas karang
aku selalu ingin mencapai puncak menara
di mana lampu-lampu dan bintang-bintang menjadi setara
jalan raya kota tempat terindah
layang-layang, mega-mega, gadis baju merah
tangan-tangan jembatan, alur sungai, burung-burung srigunting terbang merintih, beriring-iring, sepi mengelabui
aku bernyanyi riang, dikepung kata
memilih arah berganti nama
tak ada lagi suara panggilan
pekik merdeka dalam peristiwa
berlari gegas melampaui peluru
kini aku punya satu tempat terbaik dalam hidupku
jalan raya, jalan raya kota
Panorama 98, menanti pertukaran umur
Mata Permenungan
(Kado Ulang Tahun yang ke 22)
Kaki gelombang menggempur cakrawala
Dan apabila bintang-bintang subuh bergerak
Angin mendesau mengemudikan mega-mega
Matahari, mata hari ini menyimpan peristiwa
Ikrar ditiupkan
Pertarungan itu mulai ada di udara
Meruap bagai pertemuan pertama
Dan apabila sayap malam merebah
Kerjap cika meniti cahaya
Doa dialunkan
Rasa dibuaikan
Hidup bukan soal kalah-menang
Hidup soal pengiklasan, kerelaan
Jiwa mesti tumbuh bersama seroja
Meski lumpur menggigit, seroja tenang dan bersahaja
Merdeka dalam keserderhanaan
Percayalah,
Perlu keberanian mengubah umur menjadi berisi
Menjadi maju, menjadi penderu
Memberi kasih, memberi teduh
Untukmu diri yang digayuti
Berusahalah menjadi sumber
Menjadi mata permenungan
Menjadi hidup dalam ingatan
Menjelang September 98’
Biasa sajalah
Umur seperti rumah
Perlu perawatan, pembenahan, agar senantiasa apik, terjaga dan sehat
Tidak perlu terlalu steril dalam hidup ini
Nanti kecewa, nanti hancur, nanti mengutuk
Biasa sajalah, seperti daun, seperti rumput
Enam hari di rumah baru Ciheulang, Oktober 98’
Pertemuan
Aku berdoa semoga perempuan sepertimu mendapatkan laki-laki yang baik, yang tahu merangkai pekerti, menggerakkan nurani
Check-up, Poliklinik St. Borromeus
Pesan
sore sudah datang
dan aku baru saja pulang
“bang nanti kita bicara.”, kata bapak padaku.
“bicara apa?”
“kau salinlah dulu.”
di dalam kutemukan emak
“mak, bapak mau ngomong apa.”
“manalah mak tahu.”
aku berfikir, “pasti soal itu, pasti soal yang satu itu, ya-ya tak salah lagi.”
dari jendela kaca lembayung memijar
silau menghantam mata
suara tokek, bengung neon, jerit kucing kawin
masuk melalui kepribadian
“apa yang mau kita bicarakan.”
“pasti kau sudah tahu.”
“belum, belum tahu.”
“pandai-pandailah nak di negeri orang, cari induk semang.”
“ya ayahda, aku paham soal itu.”
sampai malam matang di bulan
degup jantung memelas
menghimpit dalam-dalam
ingat teluk panji, tanah gambut bagan batu
Jakwo gampong
Siapa aku di tengah bunyi yang mengeram
siapa aku di dalam nyanyi api
siapa aku di bawah kendali roda pedati
malam yang kucari tak kuingat lagi
aku memanggil, mungkin memberi rasa
tugasku menunggu, menghapus jeritan
Sudah lama aku merindukan pulang
mengjangkarkan peluh, tinjau kepak, lihat rumah
bergurau dengan tetangga, menemui orang tua, bermanja
rasanya kujalin hidup seperti kuli waktu
habis di sini, esok di sana, pangkalnya belum terbina
Mengapa aku menyerah pada kenangan, pada kealpaan
jakwo gampong, jakwo, pajo sangkeung, mangat tat lagonyan, hana teupu lon
Pernah juga aku pulang
binatang dan orang tumbuh seperti padi
lumpuh terayun-ayun
kusaksikan wajah kayu, beton, atau es
gadis desa mandi di telaga
aku kesana
tapi tak kujumpai mereka
acapakali aku seperti biduk mencari kayuh
dilamun imbak air menjauh
Abdul Hamid 83 A-Yosep 1502 A
lima belas september sembilan delapan
penglihatan kelam-kabut, kelat, kelu bersandar, batin jumpalitan
kepala lidah kugigit kuat-kuat supaya patah, supaya suci
tapi diri masih di dunia, belum pergi menjilat neraka
rasanya seperti bayi merah, direbus merapi, ditanak, digulung-gulung api
pecut menampar punggungku
mata tombak mencuri jantungku
mati kau, mati kau
teriak batin tak sudi
diri siapa, siapa diri, siapa
badan melunjak, darah hitam membenam, nadi menjompak
seorang kawan seperti maut
duduk diam menanti waktu
menunggu ajal mengantar umur
jasad tak mau diangkut
biar, biar rusak, biar remuk sekalian
terus-terusan aku memuja tuhan
ampun, ampun, ampun, ampuni aku
engkau malah tertawa, aku sunyi seperti hutan
aku kukuh bagai nyanyian, aku tersipu bagai anak burung hantu memanggil bulan
badan turun-naik, turun-naik, lepas kemudi taufan jahat, putus roh dari genggaman
kembali taring gigi mengincar penghulu lidah
tidak ada asin, pahit, atau anyir, yang ada kekalahan atas kekalahan
di sini, di rumah ini
rasa asing darah mulut bercampur liur
mesin kerongkongan berisikan ludah
seperti sumur penuh lumut, penuh selemak dahak, penuh kecoa dan lintah
sejak halimun dihimpun, air dibentuk, warna bunga disusun
hanya telur beserta madu masuk ke lambung
aku menjerit-jerit dalam hening kain selimut
terikat bagai unta gurun
lapar haus disantap terik
jatuh kepayang ditampar pasang surut gelombang
lepaskan aku, lepaskan aku dari takut yang menerangi, dari kandungan akal yang membodohi, dari penghakiman lubang kubur, dari kepalsuan amal, dari pahala yang meminta balas, dari gelembung nafsu, dari kepungan pertautan masa silam
ragaku yang hampir pitam akhirnya dipapah, digotong, ditandu seperti lembu betina yang bunting
gelap menjemput, tetangga kuatir aku mati di sudut
persis seperti cicak berekor kerdil
persis seperti lalat bermata martil
mulailah maut beranjak minta tulung
panggil angkutan
angin atau hujan sama saja
tak ada beda bagi dia si pendusta, si pandir kelana
kereta kencana membawaku menuju perbukitan
tiga sampai empat orang mengawal
menjagaku seperti pengantin dalam benteng kota yang rubuh
terlampau suram, ketat dan dingin
waktu itu, aku bersumpah
demi reruntuhan malam, arak-arak bulan, dan binatang malam
sampai disitu aku tak ingat lagi
……………………………
……………………………
dan aku terbangun dari hitungan kurun
antara sadar, antara yakin kembali mampu miliki badan ini
mendengar hati ini
sampai disitu aku tak ingat lagi
……………………………
pelan-pelan kubuka mata hatiku
mengangkat kelopak, membenahi alis, dan menyeka mata lahir
barulah aku tahu
di sampingku ada perawan
tapi bukan suster, bukan prajurit dari langit
bukan putih-putih, tapi putih hitam
kemudian kau tancapkan pandang yang dalam, yang lama, yang setengah kasihan, separuh mencibir, hampir menghina, kuyakin itu bukan sifatmu
batinku dapat mencium bau keheranan itu, darimu wahai gadis yang belum lagi kukenal, yang belum lagi kau tahu namaku, yang belum lagi kita pernah bertemu
tengah malam belum selesai
roda ranjang bergulir gegas
gerai lift dibuka, aku dibawa kemana
sejuk ranjang menentramkanku
tak seperti kasurku keras, susah dibujuk
tenang pujukku dalam kepayahan
paling tidak kau sudah diselamatkan
pintu Yosep 1502 A
aneh bin ajaib aku dapat kamar terbaik
ruang tamu, pendingin, keranjang berisikan buah, tv besar, air hangat, koran pagi, dan tiap kali perawat membawa obat, kerajaan kalbu mulai gempita seperti seroja diapit lumpur, tiap kali mata ini meluncur seluruh yang bertaut serasa bertekuk
rasanya aku mendengar lonceng kapel dari bawah ranjangku dan aku mendengar nyanyi gadis itu lagi
sengau, tak punya irama, tak berprosa
seperti tiada jemu-jemunya
ia oleskan madu dalam mulutku
getir, tak terasa suatu apa
hanya kehampaan, hanya kematian rasa
acapkali lima orang datang, mendoakanku dengan cara-cara kristus, kubiarkan lawatan kudus menjamu, waktu itu mulutku tak kuasa bicara, tak punya daya tolak, tapi mereka tak lama, hanya mengatakan semoga lekas sembuh dan Tuhan memberkati
sampai disitu aku tak ingat lagi
……………………………
November 98, retrospeksi koma di St. Borromeus
Lapar
sepasang merpati merapat dekat kaca masjid
angin menertibkan batinku
spanduk-spanduk berkebat
kulayarkan diri
bau dadar telur menghampar
memukul-mukul lambung
sesekali comberan meruyak
unisba, penghujung november 98’
Sampai segala sesuatunya mudah berubah
Sajak buat: Gochik
aku gembira tiap kali datang surat dari lampineung
ditulis di sela ujian semester akhir
isinya pembicaraan ringan
bercerita musim tanam dan musim tuai
bercerita tentang pantai, tentang kerang dibelenggu pasir, tentang kepiting, ubur-ubur air, tentang biji cemara yang terdampar, atau matahari yang diserap alam raya
tidak ada yang istimewa
seperti kisah persahabatan
sampai segala sesuatunya mudah berubah
pernah suatu malam kau menangis
menghardikku, pergi sana, jangan dekat sini
serasa rusak ingatanku, rasanya seperti memikul benalu
lalu kau menyesal, merangkulku kembali
aku tetap sunyi dan bertanya lagi
kau kenapa, tak berjawab, hanya redam perasaan, hanya pendam tangisan
sampai segala sesuatunya mudah terjadi
kau tak mau melihatku lagi, bahkan di rumah keluargamu sendiri
pernah juga dalam perjalanan kereta api medan-kisaran
kau menangis di bahuku
seolah tak ada wajah yang kau kenal, wujud yang kau ingat
dan ada yang bertanya enteng
kakaknya manis ya
aku tersenyum, kau keringkan biji mata yang basah dengan ujung bajuku
tenanglah, sabar, pasti ada saat terbaik buatmu
pernah juga kau relakan waktu demi menjagaku, menghibur, dan berusaha meyakinkanku, jakarta aku akan ke sana, demikian kuat tekad
hingga keluarga, hingga kekasihmu, hingga kerabat, hingga aku adikmu
kau campakkan begitu saja seperti ayam menggelepar dalam penggulingan
baiklah, sekarang waktunya
mengatur tenaga, mengisi hati, memperbaiki diri
jangan lupa minta diri
kemudian di tahun yang sama
kulihat kau begitu gembira, tenang dan menumbuhkan sesuatu
tak seperti biasanya kau tak mau cerita
hanyut dalam gelora, tercelup dalam air mata
ini berbeda, seperti ingin berubah
ini pasti bayangan, ini pasti bukan kau cik
sekiranya kau ingat
masih ada keluguan serta tawa
kala biji hujan menghantam kepala
tak ada payung atau kertas pelindung
sepatu rusak dimakan genangan
air dan hawa dingin berulang kali memberi keberuntungan
sekiranya kau ingat
kereta priangan menjemput, membawaku kepadamu, dan kusaksikan dafa yang lembut dalam pangkuan, kulitnya merah, mata terkunci, ia tidur pulas, sukar kukenali mirip siapa
cik, semoga kau terlindung dari orang-orang jahat, jauh dari pergunjingan, kabar gelap, kutukan yang menyakitkan
aku berdoa demi keluargamu, demi persahabatan ini
salam
Kampung Tempel
Sajak buat: Rahayu & Tomo
suatu sore di malahayati
ruang icu dekat mushalla
bunda meninggalkan kita seperti telur, seperti jagung atau kelapa
ingatan padu menghimpun dalam mataku
bunyi gelombang
terus-menerus setara
tak ada birama atau ketukan
listrik dalam jantung memburu
ruh terlontar
nafas menempuh titian
umur tinggal kewajiban
gelora belum usai
aku lalai atau enggan
dunia penuh kezaliman
hidup yang sekali-kalinya ini
musti menggoret jagad
itu diajarkan bunda pada kita
semasa hayat mengiris badan
kala senin beliau duduk menyulam
selasa menjahit, rabu membuat adonan, kamis pengajian, jum’at berdoa
sabtu berkebun, minggu vakansi
hidup padat penuh maklumat
jarang bicara, tenang, tak riuh, tak bergemertak
awal mula kampung tempel
dahulu bermukim satu kemudian dua kemudian tiga
lucunya lagi meski tak begitu fasih bahasa setempat ayah kita jadi kepala dusun
pada tapal di pinggir bukit
dinamakan darussalam
aku bersyukur pernah di dusun
merasakan tanah, lumpur, rumbia, listrik generator, tv bermesin aki
mau buah mangga, nenas, pisang, ubi, kedelai, jambu, delima, belimbing, jeruk bali, kedondong
tinggal panjat, tinggal petik, tak ada protes, tak ada hitung-menghitung
semua di tanam orang, tetangga begitu berbudi
dik, kapan-kapan kita pulang ya
Subuh
belakangan ini angin membekap dada
hawa dingin menggerus
tahajud hampir sampai
tuhan dalam fikiran belum terbaca
aku berzikir, bersalawat, bertafakur
bersatu, berpecah, bergumul
dunia bukan hanya aku, tapi juga kita, tapi juga kami, tapi juga mereka, tapi juga dia, tapi juga kau
tiap kali subuh mengambil lamunan
aku tersenyum
di sini ada kehidupan
Amok
aku sedang memasuki taraf rumit
batin bekerja, menggali, memanggil
tapi tak bertaut, tak bersahut
akal yang semula berakar
kini tajam menyebrang kemana suka
menggergaji ranting, robohkan benih, patahkan pagar, injak kelopak
kalbu yang semula kukuh
kini tiarap, runduk terbelenggu
kepala yang semula berisi kitab seluruh jaman
kini terbang meliuk pongah
dari atap rumbia
amuk matahari surut sebentar
dan burung-burung berdoa
mengikat malam
Birahi
tiap kali kapal merindukan dermaga
aku mencari batin
menerima angin sebagai ibu
ketika malam menggores tembok
seekor lalat menjadi gila
menubruk dinding
melalui biji lampu
terkatung-katung, berputar-putar
merasakan kedunguan yang amat sangat
mesin nafsu membuatku menderita kenikmatan yang tak kunikmati lagi
maha suci tuhan yang telah menciptakan lubang pelepasan
Indonesia
Kemelut persalinan
orang-orang bergumul dalam keranjang
hantu-hantu mengangkut pasir
hawa panas terlempar jauh
Bela negara apa itu
kitab humanisasi, pasal mantra, ocehan parlemen, orang-orang korup
warna bendera apalagi itu
falsafah bangsa menjadi semacam blender
tempat seluruh kulit serta saripati lenyap tanpa rekaman
anak bangsa merayap bagai kata-kata mencari kalimat
aku yang melihat, aku yang tersedak, aku yang dinistakan
merasa surut, tak punya pepohonan tempat bernaung
lembah, perbukitan, laut, pengunungan
belantara, minyak bumi, timah, batubara ludes disentap gurita
hewan-hewan langka, kembang-kembang menjulur
ikan-ikan menggelepar mengejar bulan
orang miskin mati gantung diri, perempuan malam terbangun
anak menangis, suami menggali jalan
orang-orang bergelora seperti kesurupan putra sang fajar
Ketika bencana disulap menjadi semacam lelucon
aku jumpalitan, terbirit-birit mencari prosa
Maut
Tersandung, hakiki menempuh hijab
sesaat lagi sampai di gunung tua
hancur, tubuh yang utuh
hutan karet, sawit, kopi, dan pokok randu
menghimpit bahu jalan
dari jendela kaca mereka merayap
dari catatan berita aku tahu
lereng, pematang, batu kali
tangan teknologi mengambil karunia tuhan
tanah adat kata orang setempat
Keindahan dipamerkan
di sebuah kebun gula
satu unit traktor terjungkir
Maut ditutup
ajal masuk
Di sinilah mataku terperangkap
mestinya kusapa kau
di ujung pintu dekat beranda
orang kata cinta jatuh, rindu terluka
perjumpaan obat mujarab raja diraja
rindu menjadi pilu
guncang hati karena malu
ah kau gadis melayu
aku jadi begini lugu
Asmara
Aku diselamatkan suatu adegan
bukan oleh cinta atau pedas asmara
Gelora
Pada kalimat cinta ada kepalsuan
Pada ucapan sayang ada gelora yang licin
Atas nama kasih ada cemong
Hidup dan cinta sama beratnya
Menggertak, berdenyut
Kumakan mawar
Kutelan lumpur
Kutangkap bayang
Inti, bentuk, isi, raga hanya sebagai kendaraan
Aku tak butuh sais atau pecut
Aku perlu roda
Rantau
apa yang kulihat pasti tidak abadi
apa yang kusurati pasti itu lagi
kawat menggantikan pena
suara menggantikan batin
baru seperempat bulan aku di sini
serasa dibunuh waktu
kupikir ada benarnya
orang kata hidup mesti jauh dari orang tua
agar bijak, agar mengerti peluh mereka
hentikan pemberian, jadilah mandiri, jadilah merdeka
tinggalkan pergantungan terhadap makhluk
tinggalkan merengek
bergerak, bergegas
Kurun
dua puluh dua tahun silam
di suatu tempat di ufuk timur
aku melihat keranjang ayunan bergetar
kertas-kertas berkibar
angin memperlajukan kabar
rebana diperdengarkan
kini aku merindukan kursi pelaminan
merindukan malam pembaluran
tubuh diurapi, mati kaki dicelupi melati,
kamar dipagari kain ungu, putih, biru, atau merah sekalipun
penghulu menuntun ucapan
batin berikrar, syahadat dilafaskan, mahar dipertukarkan, diri diarungi
dan tatkala matahari lepas tinggi-tinggi
dari kiri-kanan
dua bilah kipas dikebat pelan
dan aku tak sabar menetaskan ibadah ini
hingga petang membayang
hingga lembayung menulisi malam
hingga tamu-tamu pulang
aku tak sabar menulis sajak perkawinan
kado batin buat kau seorang
kawin bukan hal mengejutkan
bukan suatu gempita bahana
pasti kualami, kuhadapi, kusambut
satu hari setelah perkawinan itu
jadi peristiwa besar bagiku
umur mulai dikemudikan, iktiar dikuatkan, keuangan mulai dikelola, almanak mulai diawasi, rancang punya anak, akrobat mulai dijalankan, nafkah mulai dijemput
hidup indah keluarga indah
suatu pagi yang bisu
bunyi gramofon antonio warlo
love changes everything, changes everything
cukuplah aku dan istriku
menaikkan pujian-pujian
menikmati suka-cita
bergumul dalam percintaan atau pertengkaran kecil
dengan satu janji
tak boleh lewat tengah hari, tak boleh pupus esok hari
dan manakala gulita malam menyergap
sinar-sinar bintang mulai kedap
aku menghadap meja kerja, menggarap cerita
mengemudikan takdir, menyusun riwayat
jadi pengarang, jadi sastrawan besar
kau tarik lamunanku, tidurlah sudah larut, masih ada esok, sebentar jawabku pelan
tidak ada guntur memukul cakrawala
atau angin bertaut keras
atau kerjap kilat menghantam kaca
gemertik gerimis gugur
berlomba-lomba melubangi tanah
halaman roman baru setengah jalan
subuh hampir sampai
kau ajak aku bersatu, bergumul, bercampur
kuterima, kusongsong luap ciuman
persis percumbuan maut sepasang remaja
pagi pergi, siang datang, malam berulang
selalu begitu
ada saja yang datang
si kecil dalam kandungan
aku dalam perantauan
kau dalam penantian
anak dalam asuhan
keluarga dalam kerinduan
lembar surat berisi curahan
suatu kurun yang diberkahi kelimpahan
Primadona
kulihat air keluar dari pintu mata
terasa buruk menderau
aku mendaki
sejarah kematian bagai ranting
kukira kau primadona bagiku seorang
ternyata tidak
dunia kerap serumpun, kerap sekeinginan
Perang
badan tertatih, tergantung
kabel listrik berciuman dengan atap rumah
perang seperti penjara
kebiadaban menjadi bermakna
ketika nurani bagai terompet
lawan, hantam, serbu, maju
pekik keberanian
politik seperti gunting
melumat kain, kertas, seng, atau jari
bohong orang kata perang bencana kemanusiaan
bohong orang kata ada hikmah di balik perang
aku memilih perang
dengan itu hidupku cepat melesat
dengan itu hidupku berwarna
Fajar kemerah-merahan
gulita selesai
rembulan jinak ditombak surya
embun menyusun riwayat
kunci pagi kutemukan
seperti sajak maha merdu
roh kemenangan yang memegang nasib sendiri
Korup
di sini seperti anak beludru
dipaksa bertindak
bercumbu dengan bacin, lecit, apeuk
Gelap
Takut gelap jalani kegelapan
Takut hidup jalani kehidupan
Tangan
ya Allah yang maha kukuh
lindungi kelamin ini dari perjamuan tangan
redupkanlah mata ini dari ancaman nafsu
duhai yang maha lembut
aku dibilas amukan, prahara bersandar
di muka beranda daun-daun berkumpul
angin berlayar menjaga jarak
dunia yang kukenali, bukan di sini, sekarang
aku melihat anyaman benda-benda langit tergelincir, hawa dingin merambat dari mata kelamin sampai ubun-ubun, sesekali menyergap bahu, tengkuk, jempol kaki
duhai tangan yang dititipkan banyak jalan
curahkanlah kepadaku perjanjian, kemenangan yang bertubi, duhai tangan yang disirami cinta
berilah kesejahteraan bagi kemanusiaan tempatku tinggal
Sesal
Jangan pernah bertanya kenapa aku tidak bertanya
Penjara
aku bertanya pada cermin, pada buku catatan
mengapa orang besar, karya besar, pemikiran besar
batin besar, semua dari penjara
pernah terbersit supaya hidup yang lezat ini
jadi kurungan, tapi tidak bisa
berulang kali demikian, berulang kali juga sakit karenanya
Ingat Waktu Sekolah
dahulu, aku percaya sekolah membawa kebajikan
menciptakan manusia terpelajar, berahlak mulia, hormat kepada guru, jujur berbakti, terpelihara dari penyelewengan
dahulu, aku bertanya kenapa hidup perlu makan bangku sekolahan
Kenapa usia kanak perlu menjalin ceritera
kini kumengerti kenapa kepala sekolah tiba-tiba menjadi kaya
kini kumaafkan kenapa guru-guru tiba-tiba menjadi kejam
penghapus, penggaris, kapur, sepatu, pernah mendarat di wajahku
bukan karena kedunguan atau bencana menjadi remaja
tetapi, karena pertanyaan,
sekali lagi karena pertanyaan dan keengganan menjawab
persis tiap kali ujian aku tertawa membaca bunyi soal ulangan
kenapa sekolah membuatku kecut
kenapa sekolah memberiku ketumpulan pekerti
kenapa kemanusiaan dalam hatiku mati
kenapa sekolah mempercayai tahyul
kenapa sekolah mengoyak buku kehidupan
ingat waktu sekolah, berkunjung ke pabrik gula, menolak masuk pramuka, dan jumpalitan bila disuruh olah raga
ingat waktu sekolah, aku disayang guru bahasa
telingaku belum rela, belum sanggup menyimpan mutiara kata
kau pasti tumbuh sebagai sastrawan besar, teruskan, jangan mundur sebelum bertarung, nanti ibu yang memberkati
ingat waktu sayembara sajak di sekolah, lidahku serasa dibelit angin
ludah terkuras dalam pipa kerongkongan, guru bahasa menatapku, jangan gugup, jangan gentar, calon sastrawan besar musti berani, sesekali musti tampil, musti mengasah usia, jangan tinggal di rumah terus, nanti keruh, nanti redup
Pulang
Firasatku memberi arah, tahun muka aku tidak pulang
Akalku memberi kebenaran, mengapa musti pulang
Doaku memberi kasih, cukuplah kini
Ramadhan perdana, 98’
Mata batinku
Sajak buat: Pupun Pujiati
Neng sengaja tak kuwartakan kabar
aku ingin menguji diri dengan kesetiaan menampar batin dengan ikrar tanpa bunyi
aku menggigau dikepung tautan risau
laju perjalanan ini mesti tuntas
di bawah biji lampu angin mendesau lirih
mengingatkanku padamu, pada tangis melayang yang kukenang, cintaku seperti teks filsafat, penuh daya pukau, membahana seperti alam raya
Pada kaca jendela, gelombang jalan, potret dahan dan kunang-kunang, kudengar nada batinku menjompak, tiap kali keringat membuih, menyeru namamu, rasanya aku ingin tewas disantap kerinduan, doakan aku ya Neng
Bandung-Medan, 1998
Merah
udara maghrib jatuh di ranting kenanga
burung gereja menjauhi menara, mendekati tangkai delima
di pagar depan rumah, gelap bertambat menelan cahaya rembulan
angin menderau meninggalkan batin yang merindukan pulang
tahukah kau, duhai penerang kalbu
duhai kesepian yang terselubung
duhai yang menguliti perasaan sayang, yang membakar lamunan
yang menghantam dada dengan lumuran cinta
yang membuat jantung ini kerontang mencari peristiwa
engkau jualah yang memuntahkan perasaan sunyi
Bulan dua belas, 1998
Risau
Ketika surya mengerkah menggambari telaga
aku terlahir sebagai pepohonan tempat bernaung para musafir
takdir yang kubaca setiap pagi percampuran ziarah nafsu, muslihat ibadah, penistaan, dan sekuntum batin yang koyak
aku malu menjadi pena, menghirup tinta alam raya
melawan badai dengan ucapan
Duhai yang Maha Sunyi, Maha Menggenggam kapal-kapal di samudera, yang menghimpun butiran embun, yang meniupkan gulita, yang menyempurnakan peraihan cita
jangan kau kerucutkan dunia orang mati ke dalam batin yang disemaki amarah, jangan kau perintahkan iblis mematahkan anggrek bulan
di taman, jangan kau bantingkan amalan-amalan, doa-doa, pahala-pahala, atau kekayaan cinta, asam kasih sayang, sihir yang menerbangkan duri, kekasih yang menerbitkan gentar, keluarga yang mengatur irama sajak, kerabat yang patah harap, gadis baju merah yang mengubah degup menjadi derap
ya Allah yang Maha Kudus
jangan kau ringkus tulang belulang ini, jauhkan aku dari kekejian, tempuhkanlah batin ini supaya mulia, jemputlah aku ya Allah pada saatnya nanti, pada usia yang bermakna, umur yang dipagari rahmat, sejukanlah pendambaan ini, gemerlapkanlah ufuk tempatku menuju
berilah kemuliaan pada mereka
yang mempersambungkan tali usus
yang menggugurkan kealpaan
tiap kali falak astral menutup layar
aku risau, usia muda terasa begitu abadi
mestinya aku beranjak, tidak sepi begini lagi
akhir tahun, 98’
Comments