Agama tanpa filsafat


Agama tanpa filsafat
Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,


A
gama dalam definisi yang sangat minim diartikan segenap kepercayaan kepada Tuhan. Beragama berarti melakukan ajaran kewajiban [bakti] terhadap kepercayaan agama yang dianut.

Filsafat dalam pengertian sederhana, pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum-hukum. Berfilsafat berarti memikirkan dalam-dalam tentang sesuatu mengenai kebenaran adanya sesuatu tanpa melalaikan suatu inti. Seorang filsuf disebut juga pencinta kebenaran. Sedangkan ahli ibadah digelari dengan sebutan wakil Tuhan di bumi. Hubungan antara agama dan filsafat bukan seperti hubungan ‘suami-istri’ atau hubungan ibu—bapak—anak. Fase hubungan agama dan filsafat dapat diibaratkan rangkaian sebab-sebab yang menghasilkan sejumlah akibat.


Agama butuh manusia
Dasar pertama agama adalah mengenal-Nya. Dalam doktrin agama apa pun baik agama samawi yang datang dari langit, maupun agama duniawi—agama hasil kreasi manusia. Mestilah dalam pedomannya tercakup tiga prinsip pokok yang meliputi: keyakinan, hukum, dan norma. Dalam prinsip keyakinan, seseorang musti mengimani keyakinan dengan kokoh dan lurus sehingga tidak mudah dipatahkan. Keyakinan diperoleh melalui argumentasi yang dapat dipertahankan. Sedangkan hukum dan norma merupakan persembahan dari keyakinan. Keyakinan menempati posisi agung. Seseorang dikatakan bertuhan atau tidak melalui keyakinan. Keyakinan menyebabkan seseorang menjadi Nasrani, Yahudi, Majusi, Muslim, dan lain sebagainya.

Mengapa manusia beragama? Menurut Murtadha Muthahhari karena fitrah dalam diri manusia selalu mencari kebenaran hakiki, kebenaran tertinggi yang tidak terbantahkan. Manusia condong kepada kebaikan, karya, keindahan dan cinta. Kata Al-Ghazali, untuk menjelaskan cinta, “lidah akan terikat dan pena akan patah.” Manusia mencintai kesempurnaan serta ingin menyembah dan mendekati pemilik kesempurnaan.

Kecenderungan beragama merupakan sesuatu yang suci. Menentukan ‘siapa dan apa’ yang pantas dicintai dan disembah adalah tugas akal untuk menentukan dan menemukannya. Sedangkan hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak dimengerti oleh akal. Itu sebabnya, yang namanya hidayah [transformasi ilahi] ke dalam hati terkadang sukar ditakar melalui akal. Dan akal bukanlah panca indera, akal bertanggung jawab terhadap penyingkapan dan penyibakan suatu hal.

Agama bagi manusia sebagaimana aspek kebutuhan lain memiliki fungsi tertentu dalam memenuhi hajat hidup. Ada dua macam fungsi agama: fungsi maknawi dan fungsi identitas. Max Weber memandang fungsi maknawi sebagai dasar bagi semua agama. Agama menyajikan wawasan kosmos. Karenanya segala ketidakadilan dan penderitaan, kematian dapat dipandang sebagai sesuatu yang penuh makna.

Jika kita membaca ulang sejarah agama-agama. Agama berulang kali digugat dan bahkan coba digantikan—dimatikan dengan ideologi sejenis agama. Agama malah terus berkembang. Mengapa? Karena agama adalah fitrah. Selalu dan senantiasa ada dalam diri manusia. Dalam pandangan muslim, fitrah agamanya adalah menjalankan seruan ibadah dengan mendirikan shalat.  Shalat itu tiang agung agama. Imam Ali a.s  mengatakan, “orang yang mengentengkan shalat seperti perempuan menggugurkan kandungannya, ia tidak bisa disebut hamil, tidak juga bisa disebut beranak.”

Agama adalah cahaya cintanya filsafat
H.G. Sarwar mengiaskan agama tanpa filsafat bagai kerang yang kosong. Lain hal menurut Gibran yang menganut agama cinta. Cintalah yang memayungi iman, rasio, serta teologi. Orang suci percaya, manusia yang paham cinta murni, dia tidak dimiliki dunia tetapi memiliki dunia.

Dalam pandangan Al-Farabi, filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat merupakan sikap hidup, berpikir reflektif serta melakukan penyelidikan aqliah. Filsafat harus menjadi teoritis, demikian gagasan Marcuse. Herbert Marcuse sebagai neo-marxis, gagasannya barangkali menyimpang  dari apa yang diyakini Karl Marx—filsafat harus menjadi praksis. Penyimpangan ini dikenal dengan istilah mengembalikan filsafat dari kaki Marx ke kepala Hegel. Karakter filsafat yang kebanyakan idealis menempatkan dirinya pada posisi utopis.

Oleh karenanya, andaikan kebenaran tidak dapat direalisasikan dalam peraturan sosial, ia akan selalu muncul dalam bentuk utopia [imaji]. Kecenderungan seperti itu tidak berbicara melawan kebenaran. Melainkan, berbicara jujur untuk kebenaran. Sekonyong-konyong bukan filsafat yang kacau melainkan pemikiran manusia. Filsafat agama, agama filsafat, filsafat tanpa agama, agama tanpa filsafat, begitu terus-menerus seperti siklus berdaur.

Agama sudah tentu tidak boleh bertentangan dengan akal. Banyak manusia keliru mengatakan, Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan akal. Pernyataan itu kurang tepat. Karena pada beberapa kondisi dan situasi, Tuhan harus dibuktikan dengan akal dan tidak mungkin melakukan pembuktian lain tanpa melalui jalan akal. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima ‘keberadaan’ dirinya tanpa mempercayai sumber dirinya sendiri, yaitu Allah Ta’ala-Tuhan semesta alam.

Yang paling tinggi dalam beragama adalah akhlak-etika, bukan mencari kebenaran.
Yang paling dalam atas filsafat adalah berpikir-berasa, bukan mencari keyakinan.
Tidak ada iman tanpa keraguan. Sebab, keraguan adalah kendaraan menuju keyakinan.[]


Comments