Bui

Bui
Oleh: Setiadi R. Saleh

M
alam itu kami merencanakan sebuah niat. Niat yang sudah pasti mengundang kematian. Lebih baik mati dalam keadaan merdeka daripada harus menggelepar di kerak bumi. Hampir 36 bulan dalam kurungan. Kami dijerat sejumlah pasal berlapis. Hanya karena sebuah kesalahan administrasi. Terlalu banyak tuduhan. Bui sudah seperti bumi yang kami diami. Kini saatnya melawan dan harus cerdik mengendalikan waktu. Malam itu tahun baru Hijriah 1430 Muharam. Keluarga tahanan berkumpul mendengarkan ceramah dari seorang mantan tahanan. Ia bercerita banyak tentang kehidupan pribadinya. Dari mulai masa kecil sampai berubah menjadi bandit besar lalu tobat dan kemudian jadi ustad. Sungguh-sungguh apa yang dikatakannya memberi inspirasi bagi kami untuk segera melarikan diri. Sekarang kami duduk bersama di balai-balai kecil merancang rencana besar—menjemput kehidupan baru.
            “Hans, bagaimana soal rencana kita tempo hari. Apa kau sudah memikirkannya.” Teman satu selku bertanya.
            “Sudah!” Jawabku tegas.
            “Berapa tahap, masih yang dulu rencana A dan rencana B?”
            “Ya.”
            “Selain aku, siapa lagi yang tahu rencana kita.”
            “Tidak ada.” Jawabku pendek.
            “Kalau begitu apa kau sudah pikirkan siapa dulu di antara kita yang harus keluar dari ‘bumi’ ini.” Prapto meminta kepastian dariku.
            “Kau dulu.” Aku memberi jalan. Sejak awal kami sudah sepakat untuk tidak melarikan diri bersama-sama tetapi sendiri-sendiri. Tidak bisa dijelaskan mengapa kami menggunakan tak-tik seperti itu. Tetapi hati kecil kami meyakini demikian.
            “Lalu?” Prapto menatapku, ia menyalakan rokok dengan tangan sedikit gemetar.
            “Sahabatku. Tidak usah takut. Kita akan berhasil. Jangan ragu.”
            Aku mengambil selembar kertas bekas sobekan kalender. Di belakangnya tergambar peta rencana pelarian. Kami berbicara dengan berbisik-bisik. Lampu di dalam kamar sinarnya mulai binasa. Bayangan kami lebih menyerupai sepasang makhluk mengerikan. Jam tidur sudah dimulai sejak tadi. Petugas akan bertindak beringas apabila tahanan tidak patuh pada jadwal. Dan sudah tentu dilarang beraktivitas termasuk merokok. Untuk merokok ada pengecualian. Asal ada upeti untuk petugas. Yang dilarang jadi dibolehkan begitu pun sebaliknya. Semua tahu itu dan lebih suka tutup mulut. Prapto menghentikan isapannya. Ia kembali mendengarkanku. Tetangga di depan sel kami tampak belum tidur. Ia menghadap tembok. Mungkin pikirannya sedang terbang ke pulau imaji. Sudah bukan rahasia lagi kalau ia suka mengawini tangannya sendiri. Dan kami tidak peduli.
            “Kita harus cepat bertindak Hans.”
            “Aku sudah berpikir dan aku dengar jendela di tiap penjara akan ditiadakan—diratakan dengan tembok.”
            “Itu akan menyulitkan kita.”
            “Jangan pernah berpikir sulit untuk urusan apa pun. Kalau kau berpikir sulit maka secara mekanik otak akan memerintah bagaimana segalanya jadi tampak sulit. Cobalah berpikir untuk bisa.”
            “Ya tetapi kita bukan sedang berteori Hans.” Prapto menunjuk peta.
            “Menurutmu ada berapa titik yang dapat kita lalui. Baik dengan tipuan atau dengan kecerdikan.”
            “Secara garis besar. Ada empat.” Aku mencoba melempar sebuah teori.
            “Maksudmu?”
            “Pertama kita akan lewat pintu alias terang-terangan mengecoh penjaga. Kedua, kita lewat jendela dengan memotong besi, ketiga kita menggali tanah dan keempat lewat saluran air atau bubungan atap.”
            “Menggali?” Prapto tercenung. Mimik wajahnya serius.
            “Ya kita akan menggali.”
            “Tetapi dengan cara apa?” Tanya Prapto penasaran.
            “Dengan sendok dan garpu.”
            “Apa bisa?” tanya Prapto lagi. Tanpa sepengetahuan Prapto aku telah mencungkil-cungkil lantai semen yang kopong. Tepat  di bawah dipanku. Aku menunjuk ke bawah kolong. Prapto tidak melihat apa-apa. Keadaan gelap. Tidak ada senter. Ia menyalakan korek kapi. Mencoba meraba dan menerka-nerka.
            “Lubang apa ini Hans seperti lubang lipan (sejenis reptil kalanjengking).”
            “Memang, aku melihat lipan mengendap masuk ke dalam lobang. Dan aku pikir dari lobang yang setitik pasti akan jadi sebelanga.”
            “Tetapi itu terlalu lama. Mungkin lima tahun atau lebih.”
            “Tidak akan lama kalau kau tidak menunggunya.”
            “Tetapi Hans—”
            “Aku sudah bisa membaca pikiranmu. Tenang saja. Sekalipun tahun terus berganti. Teknologi terus menghantui. Bumi kita di sini, aku yakin tidak berubah. Dan akan tetap dikelola dengan cara-cara tradisional. Asal kau tahu, bui sekarang seperti yayasan. Perlu modal. Dan itu menguntungkan buat kita melarikan diri. Kau lihat televisi saja di sini tidak ada.”
            “Ya Hans.”
            “Lebih baik kita menempuh risiko daripada terus ditombak gagasan sendiri.”
Prapto mengurut dada dan menarik nafas. Aku mengusap  kepalaku dan terus berpikir dan berpikir lagi hingga kantuk menggelayuti.
            Dan kegelapan malam, dan bau kelembaban udara serta segala sesuatunya akan membusuk di dalam bui. Rahasia sunyi dan kekuatan-kekuatan tersembunyi hanya diri kami yang tahu. Orang lain jangan sampai termasuk angin sekalipun. Karena perjalanan kami masih panjang. Dan sebaiknya kami tidak perlu memikirkan jarak, terus bergerak. Oh Tuhan, mengapa setiap orang harus takut dengan kematian. Padahal yang perlu ditakuti bukan kematiannya. Tetapi mati dalam keraguan.[]

Ñ
*.Rereng Adumanis, 11/7/09

Comments