Cantik Mata Merpati


Cantik Mata Merpati
Oleh: Setiadi R. Saleh


S
etibanya di rumah, Nobon banyak bertanya soal burung merpati. Tentu saja ini membuat mamanya heran. Karena biasanya Nobon hanya diam sembari menatap jendela. Pandangan selalu lepas ke arah bintang dan bulan. Ia ingat perkataan guru fisika bahwa bintang, bulan dan matahari sesungguhnya bulat alias bundar. Bukan segi lima atau segi delapan.

Sekian tahun kemudian. Ketika Nobon beranjak remaja. Kebiasaan menatap ke luar jendela belum ditinggalkan. Mama Nobon berulang-ulang mengingatkan. “Hati-hati nanti kesambet makhluk halus.” Nobon tidak peduli, malah penasaran dengan makhluk begituan. Dan pada suatu malam hujan turun sangat kencang. Angin bertiup menerbangkan debu dan daun. Suara air campur udara dingin deras mendesir, mengigit pori-pori. Belakangan ini hujan seakan-akan roboh dari langit. Entah apa yang membuat Nobon rindu bertemu ayah.  Mamanya tau persis perasaan Nobon. Dan tidak sanggup berkata lebih banyak lagi selain perkataan yang sering dikatakan.
     “Bon jangan melamun saja. Sini duduk dekat mama, mama punya rahasia.”
     “Siapa yang melamun. Nobon hanya rindu ayah. Rahasia apa Ma?”
     “Cerita masa kecil, tentang kau dan burung merpati.”
     “Aku ingin dengar kisah pertemuan mama dan ayah.”
     “Tidak ada yang istimewa. Biasa saja. Pertemuan biasa. Seperti kau tahu. Ayahmu seorang pemalu sedang mama waktu itu masih belia dan sangat periang. Kami tidak punya rasa apa-apa. Walaupun sering bertemu. Sampai suatu kali di sebuah pernikahan teman. Kebetulan mama diundang, mama datang bersama rombongan gadis-gadis. Teman ayahmu sudah berkumpul. Tiba-tiba mama merasa kehilangan. Mana si Lindung, Lindung kemana? Pertanyaan itu terus saja mama tanyakan pada teman-teman ayah. Mereka jawab, sabar sebentar lagi pasti datang.”  
     “Ayah pernah cerita, mama sempat pacaran dengan teman ayah.”
     “Ya betul. Nah sewaktu di resepsi kawinan itu. Ayah datang bersama teman atau saudaranya. Mama lupa. Tapi ketika mama lihat ayah, ia tersenyum tapi masih tetap dingin. Peribahasanya, ya gak ada ramah-ramahnya. Tapi, mama penasaran. Karena jarang ada laki-laki yang menolak kehadiran mama.”
     “Tapi, pada akhirnya mama bersama ayah.”
     “Begitulah.”
     “Lalu rahasiaku dan burung merpati apa?”
     “Ketika kau kecil mama dan ayah berganti-ganti membawamu ke gereja   “Kenapa bisa begitu Ma?”
     “Ya kami sempat berbeda prinsip. Meski ayah sangat mempercayai kekuatan Tuhan serta limpahan berkat-Nya. Ia enggan masuk dalam persekutuan. Tapi, setiap saat selalu mengingatkan mama agar mendekatkan anak kepada Tuhan. Ayah tak senang jika anak-anak terlalu jauh kepada tuhan sehingga ketika dewasa akalnya mati tidak bisa berpikir dan menerima kekudusan.”
“Sebegitu bencinya ayah kepada Kristus juru mudi hidup kita yang agung?”
“Tidak, ayahmu tidak membenci dan menghina Tuhan. Ia sedang mengalami penderaan, pencobaan.”
“Apa itu Ma?”
“Mama tidak tahu persis. Tapi yang jelas soal keimanan. Beliau ingin menebus semua dosa yang pernah ia lakukan. Dosa yang masih ia tahan, ia sembunyikan.”
“Apa itu Ma?”
“Ia ingin kau jadi pendeta. Belakangan hari ia terus-menerus merobah tindak-tanduk, lebih sering ke gereja, membuka Al-Kitab dan memasang badan agar tak jatuh ke dalam dosa. Dan saat kau bertanya terus tentang burung merpati. Dari situlah keyakinannya muncul.”
 “Ma, aku tidak sesuci yang ayah pikir. Aku belum menjadi yang terpilih. Aku masih jauh dan sama sekali sedang lalai, lengah, lemah, alpa dan diselimuti kebimbangan iman. Persis yang ayah alami dulu. Biarkanlah aku begini Ma?”
“Nobon, segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang supaya dapat berdoa. Jadilah juru damai bagi diri dan orang lain.”
“Sudahlah Ma. Aku sedang tidak ingin berdoa. Aku hanya ingin bicara dengan ayah. Mengapa ia pergi meninggalkan Mama. Bukankah cinta yang diikat hukum Tuhan tidak bisa patah kecuali dipisah kematian.”
“Mama tidak tahu. Mengapa ayah tega membiarkan Mama berjalan di dalam di kesunyian. Menahan derita, sepi dan kalut.”
“Sudahlah Ma. Mengeluh tidak memberi jalan keluar. Hadapi saja.”
“Iya.”
“Bagaimana dengan natal tahun ini Ma?”
     “Entahlah Bon, hari raya Natal tahun ini apakah kita akan berkumpul bersama. Menyanyikan malam kudus, menyalakan lilin dan bersuka cita dalam kasih.”
    
     Dan mama Nobon kembali diam. Tak kuasa lagi melanjutkan perkataan. Ia terbata dan melelehkan air mata. Nobon sadar ia terlampau melecehkan figur sang ayah. Malam itu Mama hanya meminta Nobon agar bersabar terhadap segala sesuatu. Mengerti dulu baru dimengerti. Begitu pesan singkat Mama.

***
    
Sebulan setelah lebaran orang Islam usai. Datang berita dari ayah. Aku sudah yakin. Isi dalam surat, pasti itu-itu juga. Soal maaf dan maaf dan maaf lagi, seterusnya maaf. Dan tiada henti-hentinya memohon padaku, jadilah pendeta seperti para santo, jadilah suci, jadilah martir, jadilah syuhada. Sejak itu pikiranku risau seakan seseorang mengamang-amangkan pisau ke dalam batin. Hatiku pecah oleh kebimbangan. Tiap kupejam mata, burung merpati hadir dalam mimpi, menyeru sesuatu. Lewat kelemah-lembutan mama akhirnya aku mau ke gereja yang sekian lama kutinggalkan. Isi kepalaku lebih rumit daripada doktrin agama manapun. Di dalam gereja aku dengar khotbah pendeta dan aneh sekali, aku terkesan dan ingin jadi pendeta. Sama persis seperti yang ayah dambakan. Lebih jauh lagi, pandanganku nanar dan tertuju pada seorang gadis. Lirikan matanya sekejap kilat. Nafasku menjompak. Sesuatu telah tembus ke dalam jiwa. Aku tertarik untuk berburu cinta. Mengejar gadis cantik mata merpati. Tapi, tiba-tiba aku terkesiap. Doa pendeta dalam bahasa Batak menutup lamunan.  

Ale ama nami na di banua ginjang
Sae pinarbadiama goar-Mu
Sae roma harajaon-Mu
Sae sautma lomoni roha-Mu di banua tonga on songon na ni banua ginjang
Lehonma tu hami sadarion hangoluan siap ari
Sae sesama dosa nami songon panesa nami
Tu dongan na mardosa tu hami
Unang hami togihon tu pangunjunan
Alai palua ma hami sian pangago
Ai Ho do na puna harajaon
Dohot hagogoon
Ro di hasangapon ni salelengni lelengna
Amen

Dan kemudian diterjemahkan dalam Indonesia. Mama senang mengunjungi gereja ini karena selalu menggunakan dua bahasa. Kini aku yakin orang beribadat bukan karena paksaan. Tapi, ada sesuatu yang meneduhkan di rumah Tuhan. 

Bapa Kami yang di Surga
Di kuduskanlah nama-Mu
Datanglah kerajaan-Mu
Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga
Berilah pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Ampunilah kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami
Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan
Lepaskanlah kami daripada yang jahat
Karena Engkaulah yang empun-Nya kerajaan
Kuasa dan  kemuliaan sampai selama-lamanya
Amen.

***



Comments