Dusun Darussalam-Rantau Panjang Peureulak



Dusun Darussalam

(kepada Djuriah)

Elang laut terbang membelah air yang tenang
sayapnya yang tipis membentang panjang
kurebahkan diri bersandar ranjang
pergilah impian yang kusut dan hati yang gamang bimbang
satu-persatu imaji terjawab
lalu mata hatiku menuju dusun kecil
rumah sederhana separuh bata separuh papan
masih saja terekam dalam badan
kurasa ini dendang penyesalan yang usang disantap waktu
entahlah
aku mencium aroma kehidupan baru
suatu gairah yang membuatku termangu
ada rindu semenjak kau pergi jauh dan jauh sekali
ke suatu negeri yang ada awalnya tapi tidak ada ujungnya

Aku menuntun renungan
membendung air mata
bicara kepada ketiadaan
kepada sunyi yang mengisi yang menyebabkan ketidaktahuan

Di tepi bukit tempat pertama kali perpisahan terjadi
kasih sayang tumbuh berduri menjadi semak-semak rimbun
rumah berbasis tanah
bila hujan roboh dari rongga langit
dan atap menjadi basah
satu persatu tetesan air masuk melubangi jiwa

Aku baru tahu betapa kuatnya kasih sayang seorang mama
tembus ke tulang tumpah ke dada merembes ke jantung
namun aku masih dan sangat menyesal terlambat sadar
terlalu menyerahkan semuanya kepada waktu
padahal waktu tidak menjawab hanya bergulir
dan senjapun gugur menuju gelap
setapak demi setapak bayangan diri mengukir sendiri
misteri masa lalu selalu begitu
membuatku tersipu dan tersedu

 

 

 

 

 





Layang-layang di atas jalan layang


Sebiduk kehidupan layarnya koyak-moyak
aku hampir kehilangan arah
jarak yang dekat waktu yang jauh

Betapa jahat si kunang malam
tenang-tenang sendiri-sendiri pelan-pelan
mengendap-ngendap merayap-rayap

Layang-layang di jalan layang yang baru dibangun
anak-anak beranjak meninggalkan sekolah
yang gelandangan bernyanyi di pinggir jalan
aku melihat lampu-lampu dicuri
orang-orang menoleh acuh dan mampus situ
mereka terbawa permainan dunia
kalah dan berduka
sama sekali tidak akan berbeda
goyah
tergopoh-gopoh
tidak bisa mungkir
dan aku tidak tahu mengapa waktu berlari meninggalkanku

Kesepian cuma kenyataan yang dibentuk
diolah menjadi drama sandiwara perasaan yang berubah-ubah
jiwa yang digempur lara
tak kuasa lagi berjanji
sampai kapan
sampai ragu berlalu menjadi sunyi

 





















Semua telah mati

Dahulu seluruh yang terserak berhimpun
sahabat kerabat saudara kekasih serta banyak lagi
kini semua telah mati
mati!













































Ladang renungan


Aku tidak mau menyerah kepada kebingungan
orang yang tidak takut apa-apa
tak bisa mencintai siapa-siapa
aku akan tetap pergi mendahului sunyi
biarlah badan seperti cemara yang beku
diamuk angin dikikis kemarau
bencana demi bencana
aku dalam duka
bertanam budi sukar membalas
nasib tak beruntung

Di dalam peti
aku seperti surut
harapan tumpul
samar
kesempurnaan dihisap
lupa bukan sifatku

Photo
disimpan di mana album photonya
dalam kalbu
biar menjadi madu
pilu
kenapa pilu

Jangan membicarakan sesuatu
yang di kemudian hari nanti disesali
lebih baik diam dan berdoa
menari bertelanjang kaki
lepas riang mencari kupu-kupu sayap pelangi



















Kuberteduh

Asmara terbang berhamburan
kupinang kau wahai derita malam
jangan kurung aku dengan gelap

Sunyi mengalir deras
aku berjalan mengendap-ngendap menuntun hujan
mencari terang
menemukan kebisuan
kuberlindung dalam rompi parasut
mengintip sebentar ke arah jalan di sebrang pandang
wajah-wajah bergincu merayu
ratu bunga malam ada di sana
lelaki hidung belang juga
mereka tenggelam dalam-dalam
terikat ruapan birahi murni
setelah itu tidak ada apa-apa
kecuali cinta yang pecah

Seketika aku berlari menembus air
jalan basah baju basah sepatu basah
kuberteduh lagi di samping mesin uang yang bau kencing orang
uang di saku dan di dompet hanya cukup membeli pisang goreng
kota ini membuatku percaya yang sederhana bertahan lama
tetapi tidak bagi masa laluku yang sunyi
kosong
bergulir
mengendap
teduh




















Air mata-air mata

Penghalau mata senantiasa menggoda
kembang di taman berselimut kabut
engkau sajalah nun jauh di sana laksana ular naga merayap
gunung-gunung perkasa
air limbah merambati lereng

Setiap kali sunyi itu lewat
sedu dan sedan menyengat
air mata yang berlebih keluar
daripada kata-kata
daripada sepi mencekam
pulang ke pangkuan malam

Kadang-kadang air mataku keluar tanpa disertai tangisan
sekalipun aku memiliki harta yang tiada tara
tapi kalau tidak punya siapa-siapa
sebenarnya aku tidak pernah punya apa-apa

Dini hari lindap
hujan-hujan menggemburkan lahan
buru-memburu susul-menyusul
malam yang berlalu
aku termangu di kursi kerja
menatap potret diri serta kekasih hati
naskah drama dan sajak-sajak tergeletak
jangan sampai saat kematianku tiba
apa yang kutulis belum dibaca
dan pengantar tidur hanyalah kitab lara

Air-air air mata
suara surga merambat dari mata jiwa
sunyi-sunyi




Comments