Selibat


Selibat
Oleh: Setiadi R. Saleh

Dini hari telah menjauh menuju pagi. Petugas keamanan siap-siap bertukar shif. Kusnan baru pulang menemani temannya yang menjadi Hansip. Ia sendiri enggan menjadi Hansip, entah karena alasan apa. Padahal, gajinya lumayan untuk menambal kebutuhan sehari-hari. Kusnan berjalan sempoyongan menahan kantuk dan lapar. Ia bergegas menuju rumahnya, tepatnya kamarnya. Hanya ibu Kusnan yang selalu setia membukakan pintu. Tak peduli jam berapa pun Kus pulang. Kusnan melewati hari yang selalu sama dari waktu ke waktu. Baginya, hari ini atau esok sama saja seperti orang buta yang tidak mengenal perguliran hari, apakah siang atau malam. Ia sudah seperti kertas mati, takdirnya tidak dapat ditulis lagi. Tetapi, Tuhan bilang manusia yang sudah tidak berfungsi, ubun-ubunnya akan ditaruh di langit.

Jika pagi datang menjelang. Kus bangun dengan tangkas laiknya orang kantoran. Ia menjerang air, lalu membuat kopi dan kemudian menyesap rokok. Mulailah imajinasinya terbang tanpa tambatan. Kerja Kusnan kadang-kadang menyulangkan biji-biji gandum, kroto, ketan itam dan memberi air minum dan makanan, juga menjemur burung puter kesayangan. Sesekali juga memandikannya. Kusnan sendiri jarang mandi, ia mandi kalau sudah terlampau gatal. Justru aneh, meski jarang bebersih, Kusnan jarang sakit, entah kenapa? Paling-paling sakit kepala, sekarang sudah mendingan. Dahulu dalam kepalanya seperti ada seseorang atau ada sesuatu yang membisikkan kata tertentu.

*
Bulan berganti bulan, tanggal bertukar tanggal. Kus tak lagi muda. Sekarang usianya sudah mendekati setengah abad. Tetapi, kehidupan Kus berlangsung seperti layang-layang tak bertuan. Ia turut saja bagaimana kata hati memerintah badan. Keputusannya soal selibat tampaknya tidak  dapat diganggu gugat. Selibat versi Kus bukan berada di dormitori, mengisolasi diri, menjaga iman agar tidak terkena getah berahi. Tetapi, diam! Menutup mata dari pandangan-pandangan yang menyesakkan syahwat. Kus terus berpikir bagaimana jika keluarganya tahu, mereka pasti tidak sungkan-sungkan menghardik persis seperti hardikkan orang kaya kepada si miskin yang fakir lagi pandir. Ia bergumam. Bagaimana jika keluargaku bertanya? Apakah hidup sendiri tanpa tautan pernikahan itu buruk? Apakah mahligai perkawinan memang sebuah hukum Tuhan untuk melestarikan kerusakan di muka bumi? Bukankah manusia tambah hari tambah  banyak, dan akan lebih banyak lagi. Dan sudah pasti bumi tambah rusak, tambah peyot. Tetapi, aku ingat Tuhan berikrar, bahwa Ia tahu apa diciptakan-Nya.

*
Kini, keadaan sudah tidak sama lagi  dan keadaan telah berbeda. Awal tahun 2009 datanglah seorang gadis yang kebetulan bekerja sebagai helper (penolong) bagi keluarga-keluarga yang membutuhkan pertolongan. Keduanya antara sang gadis dan Kusnan belum terasa apa-apa, cinta belum terjadi, cinta belum bersemi. Seorang gadis pastilah membutuhkan ketegasan dalam mencintai. Tetapi, Kusnan sudah berjanji untuk selibat, bertahan untuk tidak berhubungan intim atau menikah. Tetapi, apakah selibat selalu untuk tujuan yang mulia?

Perkenalan antara Kusnan dan si gadis terjadi secara kebetulan. Kusnan malu-malu mengulurkan tangan. Dan si gadis hanya senyum menahan rasa.
                “Namaku Kusnan, kamu?”
                “Ira.” Jawab gadis tersebut pendek tanpa menjabat tangannya Kusnan.
                “Kamu bukan orang Bandung ya?”
                “Bukan.”
                “Dari mana?”
                “Majalengka.”
                “O.” Jawab Kusnan singkat. Mulailah Kusnan bercerita soal Majalengka. Meski kata keluarga, otaknya sudah ‘bocor’ alias sering tidak menyambung bila diajak berbicara. Kusnan aktif membaca Koran. Tak heran ia hafal tentang perkembangan terkini. Termasuk urusan caleg dan perdebatan capres Indonesia. Kusnan bilang Majalengka bagus untuk pengembangan Jawa Barat. Apalagi dengan program dibangunnya bandara internasional. Ira sang gadis yang baru dikenalnya hanya sesekali melihat Kusnan bercerita. Tangannya lebih sibuk memencet tombol handphone. Mata dan pikirannya juga sedang tidak berada di tempatnya. Ira sudah dua bulan di Bandung. Ia tak betah dan berniat pindah kerja. Majikannya pelit alias kikir. Majikan kenyang, ia lapar dan setiap hari selalu begitu.
                Kusnan sadar ia tidak diperhatikan. Cepat-cepat ia hentikan omongannya dan mengalihkan ke topik pembicaraan yang lain.
                “Ra?”
                Ira tidak memerhatikannya.
                “Ira?” Pinta Kusnan dengan perlahan.
                “Ya-iya, kenapa?”
                “Kamu suka bakso?”
                Ira tidak menjawab dan hanya mengangguk. Kusnan berjanji suatu hari kalau ia punya uang. Ia ingin meneraktir Ira, meski hanya semangkok bakso dan sebotol teh dingin.

*
Besoknya tanpa pikir panjang. Kusnan mendatangi temannya yang jadi Hansip.
                “Aku mau kerja.” Tanya Kusnan kepada Haris.
                “Kerja?” Haris kembali bertanya, “ada angin apa tiba-tiba kamu ingin kerja.”
                “Aku butuh uang.”
                “Ha-ha-ha.” Haris tertawa seperti meledek. Sebab, Haris juga tidak mengerti jalan pikiran Kusnan. Setiap malam kadang Kusnan selalu menemaninya ronda. Tetapi, disuruh jadi Hansip tidak mau. Padahal prinsipnya sama saja. Daripada begadang tidak dibayar, lebih baik jadi Hansip dapat gaji.
                “Kusnan-Kusnan, bukan aku yang berhak. Coba kamu tanya ketua RW?” Haris mencoba meyakinkan.
                “Kamu saja yang tanya. Aku minta tolong, kumohon.”   

*
Waktu berlari gegas, dan lusa kemudian, kedua sepasang sahabat ini bertemu di tempat biasa. Haris membuka obrolan.
                “Kus? Aku sudah tanya ke RW katanya bisa kamu diterima kerja bukan sebagai Hansip. Tetapi sebagai asisten Hansip.”
                “Wah! Yang benar Ris.” Timpal   Kusnan polos.
                “Iya, besok kamu sudah bisa bekerja. Maksudku begadang seperti biasa.”
                “Soal gaji bagaimana Ris?”
                “200 ribu, kamu mau kan?”
                “Waktu itu aku dengar 250 ribu.”
                “50 ribu buatku, dipotong setiap bulan.”
                “Buat apa?” Tanya Kusnan heran.
                “Sudah jangan banyak tanya. Kamu kan kerjanya tidak berat.”
                “Baiklah, aku terima.”

*
                Sebulan berjalan. Kusnan sangat menikmati pekerjaannya. Ia kadang berpencar dengan Haris mengelilingi lingkungan warga. Bermodalkan senter dan tongkat kayu. Haris berpesan kepada Kusnan agar menjaga kondisi dan tidak cepat mengantuk saat menjelang subuh. Sebab, biasanya di jam-jam tersebut maling beraksi. Kusnan asyik dengan pekerjaannya. Ia melupakan sebuah janji kecilnya kepada Ira. Kusnan juga sudah tidak ingin lagi melanjutkan tirakat badan dengan selibat. Ia tidak peduli, kalau jodohnya datang. Ia pasti akan menikah. Meski orang tidak tahu betapa kecutnya menjalani selibat seolah-olah dalam diri ada sesuatu yang membuatnya terikat dan tersumbat. Kusnan merasa dalam dirinya terdapat sebuah dunia kelam yang penuh kemarahan.[]

Comments