Tanah Bandara

Oleh: Setiadi R. Saleh


Di desa kami yang tenang. Jalan berbatu sedang diaspal. Kendaraan umum hanya sesekali masuk ke lokasi perumahan. Tiap sore menjelang, bangau putih terbang di antara ladang jagung. Ikan berenang mengikuti alur berlumpur. Anak-anak kecil menggembala bebek dan kambing. Sebagian lagi, anak-anak bermain bola.  Dari kejauhan tampaklah juntaian kabel-kabel sutet dan tower BTS.  Mega-mega jingga pelan-pelan pupus. Dan malam sekejap lagi menebarkan gelap. 

Meski kami tinggal di desa kolam, kec. percut sei tuan, kab. Deli serdang, Sumatera Utara. Sambungan internet speedy,mini market, tv kabel, telepon, listrik voucher, pompa bensin kecil, bengkel sepeda motor, pasar, klinik sehat, bidan jaga, sekolah dari PAUD sampai setingkat SLTA sudah tersedia, dealer dan showroom. Hanya mall yang belum ada. Bahkan, melalui siaran radio streaming, berita-berita Holywood yang informasinya tidak kami butuhkan pun tembus ke ruang-ruang keluarga. 

Sehari-hari, kami hidup, kami makan, dari apa yang kami tanam, apa yang kami tuai, dan apa yang kami piara. Kami menanam sayur-mayur berupa jagung, daun ubi, kangkung darat, dan daun pakis, kacang panjang, pepaya, cabai. Kami memelihara bebek, kambing, ayam, entog. Jika kami ingin makan ikan mujair, gabus, lele, belut tinggal memasang bubu perangkap. Pada hari-hari tertentu hewan piaraaan kami bernilai ekonomis seperti untuk hajatan, lebaran qurban. Ada saja yang memesan kambing dan entog. Dan kami harus rela melepaskannya. Apa pun yang kami miliki, kami ingin berbagi. Sebab, kami tau rezeki Tuhan ada dan bertunas saat berbagi.
*
Setahun belakangan ini, tempat kami tambah padat. Sejak direncanakan beroperasinya bandara baru bernama NIA (Namu International Airport) 2012 menggantikan bandara Polonia Medan yang sudah berusia 70 tahun lebih. Harga tanah, harga rumah, yang tadinya tiada berharga, kini jadi sangat bernilai. Karena alasan itu pulalah setelah di PHK, aku hijrah ke Medan-Sumut. Mencoba peruntungan baru dengan berbagai cara, mulai dari berdagang, broker, apa saja asal halal sampai menjalankan profesi sebagai internet marketing. Banyak rintangan, banyak pula peluang. Dan aku tidak peduli lagi berapa kali aku gagal, yang aku tau bagaimana caranya untuk cepat bangkit dan sukses. 

Hari itu 17 Oktober, aku ada janji dengan Kepling (Kepala Lingkungan) setingkat RT untuk melihat tanah kaplingan. Bayangkan, untuk tanah seluas 140 meter hanya dijual 14 juta. Untuk rumah setipe 45 dijual seharga 36 juta. Siapa yang tidak tergiur. Apalagi rumah yang sedang kutawarkan termasuk kategori rumah sangat sederhana yang terletak di komplek perumahan perhubungan indah yang dulunya diresmikan tahun 1997 oleh Akbar Tandjung, yang kala itu menjabat sebagai menteri perumahan rakyat. 

Di tengah aku melamun bagaimana cara menjual rumah. Ponselku berdering. Kepling menelepon, dan ia mengatakan, sudah sampai di lokasi perumahan. Sebelumnya, perlu diketahui yang kujual adalah rumah developer, bukan rumah kami sekeluarga.
Kepling datang....
“Apa kabar bang?” Ia menyapa.                                                
“Baik, sehat. Abang sendiri cemana kabarnya?” Aku menjawab.
“Awakku loro.” Badanku sakit, kata Kepling kepadaku. Di Medan, orang berbahasa Jawa itu hal biasa.
“Sakit kenapa?” Tanyaku.
“Ah biasa, sama orang rumah dihajar tiga ronde.” Aku senyum-senyum saja mendengarnya.
“Aku udah bawa meteran, panjangnya sekitar 100 meter. Tanahnya sebelah mana?”
“Di ujung, sederetan dengan blok rumah abang blok C. Nah, yang mau dijual blok CC.”
“Berapa harganya?”
“14 Juta.”
“Ya udah nanti kutawarkan ke orang 19 juta. Matinya 17 juta. Kalau gol sejuta buat abang. Jadi aku terima bersih 16 juta. Itu di luar harga surat-surat, notaris, balik nama dan sebagainya.” Kepling mengangguk.
Sampai di lokasi tanah kaplingan. Aku mengelilingi area, mencari cara, apa kira-kira yang membuat orang tertarik untuk membeli tanah tersebut. Tipikal kondisi tanah subur, tidak banjir tergenang dan dekat bandara baru yang akan dibangun. Kepling memperhatikanku. Sedari tadi nyala rokoknya belum berhenti. Aku langsung ke pokok persoalan.
“Ini nanti kalau ada pembelinya bayarnya ke mana?”  Aku bertanya.
“Ke pengembang, developer. Kantornya di jalan Sisingamaraja KM 7 Medan.” Kepling menjawab.
“Oke.” Kataku pendek.
“Abang mau nawarkan ke siapa?” Tanya Kepling menegaskan.
“Siapa saja yang mau.”
“Tidak bisa begitu. Nanti kalau tiba-tiba ada yang beli tanah, lalu tanahnya dijadikan peternakan. Orang-orang bisa pada marah. Kalau piara ayam, bebek itu biasa tidak apa-apa. Kalau ada yang piara anjing, kambing atau babi yang jumlahnya banyak.”
“Ya ditindak saja.”
“Ini Medan bang, bukan pulau Jawa. Orang-orangnya tidak mempan dan cukup sadar dengan peraturan.”
“Di Akte Jual Beli, kita cantumkan saja satu butir pasal yang menyebutkan bahwa tanah tidak boleh dijadikan lahan peternakan. Apabila dilanggar akan dipidanakan.”
“Oke!” Kepling setuju.

Setelah mengukur-ukur. Kami pun pulang. Aku dibonceng Kepling. Aku sendiri sampai umur 35 tahun belum memiliki sepeda motor. Dan aku tidak sedih, aku yakin pasti punya. Percaya kepada keyakinan itu perlu. Ketika aku lajang, aku tidak begitu yakin menikah, dan akhirnya aku menikah, sampai punya 2 anak, punya rumah. Tinggal kendaraan saja yang belum punya. Syukuri apa yang sudah didapat dan jangan sesali apa yang belum diraih.
                                                                           *                               
Hari berganti. Minggu berlalu. Tanah belum laku. Aku belum dapat penghasilan. Sementara di satu sisi keluarga perlu kunafkahi. Aku terus diburu pertanyaan istri. Dan kukira itu wajar saja. Jangan terlalu nyaman hidup dalam kemiskinan. Hidup harus kaya, harus hebat, harus luar biasa. 

Caraku menawarkan tanah tentu saja lewat internet dengan judul posting: “Jual tanah murah dekat bandara baru Kuala Namu Medan.” Dengan postingan kata kunci tersebut rata-rata yang melihat iklan ada 100 orang, fantastis. Harga semula 19 juta, lantaran ada yang menawar dinaikkan hingga 25 juta. Setiap ada yang menanyakan harganya naik terus. Dan akhirnya dilepas harga mati 22 juta.

Akhirnya pucuk dicinta ulam pun tiba. Seorang kenalan mau membeli tanah tersebut. Aku dapat untung, Kepling dapat untung. Sebagian uang hasil jual tanah, kubelikan tanah lagi dan baru bayar DP, sedangkan sebagian lagi untuk bertahan hidup selama 2 bulan. Kukira aku berhasil menjualkan tanah developer, bukan karena kepintaran melainkan karena keberuntungan pertama yang mula-mula, itu kata pepatah lama.
*
Karena keberhasilan pertama itu pulalah, Kepling terus aktif mencari tanah yang akan dijual dan aku pun aktif mencari pembeli. Pertama berhasil, dua kali agak susah, tiga kali susah-payah sampai ke sepuluh kali, semuanya berhasil. Semua tanah yang aku bantu jualkan bisa melonjak karena ada harapan orang-orang yang membelinya untuk investasi dekat bandara. Padahal jika kuhitung dengan kondisi jalan desa yang sekarang. Jarak bandara baru dengan desa kolam, makan waktu 60 menit. 2 tahun lagi bisa saja lebih cepat, jika jalannya sudah diaspal.

Hasil untung jual tanah, bisa kubelikan sepeda motor, dan mobil bekas tahun 1990-an, serta sepeda gunung MTB. Dan entah karena apa, aku mulai merasa bosan dan bersalah. Sebab, desaku tak lagi desa. Pohon-pohon habis ditebang. Panas menerjang kulit. Tak ada lagi keteduhan. Sebatang pohon tempatku bersandar di kala letih. Menyadarkanku bahwa di bumi harus ada sesuatu yang liar: pohon, rumput, angin, dan apa pun itu yang bernuansa kampung desa. 

Sejak saat itu aku giat mencari rumah-rumah dan kemudian dijual lagi, untuk selanjutnya aku bikin lahan pertanian dan penghijauan. Tuhan menjawab doaku, tidak sampai 20 tahun. Tempat tinggalku di desa kolam mendapat penghargaan sebagai lahan hijau terbaik seprovinsi Sumatera utara.[]

Comments