197 Tahun Bandung-The Garden of Allah (25 September 1810-25 September 2007)

Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

“Dangiang Sunda nu luhung, murub mubyar dina ati, nyaangan buana rasa, mencarkeun harti nu ngeusi, sa-Pasundan kacaangan, nusantara tambah ngeusi. Budayana milu aub, sastrana pon pilagi, nyumponan lakuning darma, satria abdi pertiwi, nurutkeun pamerih jiwa, ngudag tujuan suci. Artinya, Bangsa Sunda yang berbudi luhur, bernyala-nyala di hati, menyinari seluruh buana rasa, memancarkan arti, seluruh Pasundan tersinari, Nusantara tambah berisi. Budayanya ikut juga, sastranya apalagi, bekerja demi laku darma, mengabdi demi pertiwi, mengikuti panggilan jiwa, mencapai tujuan suci.” (Umbul-umbul ti alak paul, 39:1995)

Tokoh dan Sekerat Sejarah Kota Bandung

Syahdan di Tatar Sunda datanglah tiga orang Eropa. Satu seorang penanam kopi, satu si tuan tanah yang merangkap ahli bedah dan seorang lagi ilmuwan. Sejarah hidup mereka berkaitan erat dengan kota Bandung. Wilayah Bandung kala itu disebut “Tatar Ukur” penguasanya yang terkenal Wangsanata alias Dipati Ukur. Kira-kira tahun 1700 Masehi, dua orang Belanda Hoorn dan Zwaardecroon berupaya menanam kopi di seantero Priangan. Kemudian diteruskan Pieter Engelhard yang membuka perkebunan kopi di sisi lereng dekat gunung Tangkuban Perahu. Barulah ketika tahun 1807 atau tepatnya 107 tahun kemudian hasil bertanam kopi mendatangkan keuntungan berlimpah. Sejak itu berbondong-bondonglah penduduk Priangan beralih profesi dari petani sawah menjadi pekebun kopi. Berkat jasa Engelhard hampir setengah dari gunung-gunung dekat kota Bandung ditanami bibit kopi. Ini menjadi bahan pemikiran tersendiri. Apakah Bandung dahulunya dipenuhi dengan kebun teh atau kebun kopi?  


Tokoh lain yang berkaitan dengan kota Bandung, seorang ahli bedah merangkap juragan tanah Dr. Andries de Wilde. Pengaruhnya luar biasa besar karena diangkat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Wilem Dendels. Wilde bersahabat kental dengan Stamford Raffles. Seorang tokoh lagi Junghuhn. Ia disebut-sebut sebagai ilmuwan, ahli ilmu cuaca dan geografi. Junghuhn dahulunya asisten Carl Benjamin Hermann von Rosenberg (1817-1888) zoologist berkebangsaan Jerman. Junghuhn dikenal karena membawa bibit Kina dan kemudian ditebar di Lembang. Dampaknya ketika perang dunia II, hampir 75 %  kebutuhan obat-obatan terutama Kina didatangkan dari Priangan.

Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) bergabung dengan Netherlands Indies Army sebagai petugas medis tahun 1834. Pada 1845 ia tercatat sebagai member of the Natural Sciences Commission. Junghuhn banyak membuat pelatihan-pelatihan serta melakukan investigasi di gunung-gunung. Ia dikenal sebagai pekerja keras dan pegawai yang baik. Hasil investigasinya membuahkan karya monumental, lebih mirip semi-autobiografi atau deskripsi lengkap mengenai tumbuh-tumbuhan (flora). Karyanya sampai kini belum ada tandingannya. 

Mengenai sejarah kota Bandung, Bandoeng, Negorij Bandong atau sebuah negeri dinamakan Bandong memiliki rujukan literatur berbeda dan masih bisa dipolemikkan. Tetapi, kala itu pemerintah Belanda sudah menyebut “Negorij Bandong” atau “West Oedjoeng Broeng.” Berdasarkan keterangan Molsbergen yang ia kutip dari Arsip Negara di Batavia (1935). Barangkali manusia pertama yang hilir mudik di wilayah Priangan adalah Juliaen de Silva.

Keistimewaan penelusuran sejarah termasuk sejarah Bandung bisa diulas dari fakta sejarah dan fakta bukan sejarah. Dalam Bandung Berseloka disebutkan ayam yang bersyair, maksudnya tidak lain: ayam yang berkokok pada malam dan memberitahu, hari sudah mau siang. Dalam Bandung Ratap, bunyi penangis mayat atau perkataan lain dari nama Bandung disamakan dengan perahu yang rata. Gunung Berbandung dimaksudkan juga dua buah gunung berdekatan dan hampir sama besar dan tingginya. Ngabandungan, dua danau yang berjajar. Ada yang bilang asal kata Bandung dari Bandong, nama budak Nagorij Bandong. Seorang budak yang dijumpai Daendels sewaktu ia membeli ternak di suatu tempat di kota Bandung.

Kota Bandung, Lain Dulu Lain Sekarang
Dalam usianya yang ke 197, kota Bandung lambat-laun menjadi kota metropolis. Ini terlihat dari nuansa dan ornamen kota yang tidak lain merupakan cermin dinamika masyarakat yang hidup di dalamnya. Kota Bandung sudah lama diyakini sebagai “kota mitos” atau “kota pemujaan.” Sebenarnya secara kognitif-emotif, kita hampir-hampir tidak lagi mengenali kota sendiri. Segala-galanya berubah. Bandung yang kita tahu sekarang ini hasil konstruksi dan representasi media massa. Tetapi, sejauh itu membawa pesan positif tidak apa-apa. Belakangan ini sejak kemunculan tv lokal Bandung. Banyak hal-hal yang tadinya terselubung dan tersamarkan terutama menyangkut situs-situs tua Sunda kini semakin jelas dan terbuka. Ini memperkaya pengetahuan masyarakat desa dan kota. Fungsi lain kehadiran tv lokal menciptakan jaringan simpul komunikasi berbagai elemen masyarakat Bandung-Jawa Barat.

Lebih mengharukan lagi, tiap kali membicarakan kota Bandung dengan segala persoalannya kini. Bayangan kebanyakan masyarakat selalu disandingkan dengan kota Bandung Tempo Doeloe. Ini keliru dan mengecewakan. Kota Bandung yang hidup dalam imajinasi kebanyakan orang, memang dan akan selalu serta terus menuju ke pintu-pintu nostalgia kenangan silam. Negeri Sunda tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum. Dan siapa pun sadar, Bandung dahulu dan Bandung kini tetap memiliki sejuta sebutan. Ketika zaman lampau kota Bandung digelari “The Garden of Allah.” Kini entah apa sebutan Bandung saat ini dan mungkin juga nanti. Bon Anniverse Parij van Java ke 197.  Semoga jaya!



Comments