Desakan Perubahan Manajerial Penerbit Buku Menghadapi Krisis

Oleh: Setiadi R. Saleh

M
enurut situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) ada sekitar 960 penerbit yang tersebar di seluruh antero Indonesia bahkan mungkin lebih. Sebagian besar penerbit buku berdiri di Pulau Jawa. Data ini belum otentik, sebab masih banyak industri rumahan yang mendirikan penerbitan buku sebagai okupasi dari kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, di Kota Bandung sebuah penerbit hanya berkantor 3x4 meter, seukuran kamar tidur. Hanya ada 1 editor, 1 setter, 1 produksi, dan bisa menghasilkan 2 judul buku dalam sebulan, pemasarannya melalui sistem titip jual. Jika pemain lama (baca: penerbit besar) menghasilkan jumlah buku yang sama. Maka tidak ada bedanya antara penerbit besar dengan penerbit kecil. 

Desakan perubahan manajerial sebuah penerbit supaya bertahan dari krisis antara lain meliputi: pertama, intuisi melampaui visi, misi, prediksi dan proyeksi. Hal yang sangat bernilai adalah intuisi. Terkadang intuisi penerbit sangat tajam di satu sisi. Tetapi, tumpul di sisi lain. Jika kita ingin meningkatkan ketajaman intuisi, kita harus memulainya dengan mengkaji diri sendiri. Penerbit sudah harus mempertanyakan pertanyaan besar, mau ke mana, termasuk urusan redaksi-produksi-distribusi?; kedua, penerbit sebagai provider, penyedia sekaligus pemberi fasilitas kepada pencerdasan realitas sosial; ketiga, UNESCO melaporkan, Indonesia pernah mengalami paceklik penerbitan buku dan sampai sekarang masih, tapi benarkah demikian, di saat yang bersamaan toko-toko buku baru terus bermunculan. Bayangkan, dalam satu bulan ada lebih kurang 1000 judul yang masuk ke toko Gramedia dan mengapa Gramedia masih menjadi barometer? Karena Gramedia berada di tempat strategis di seluruh Indonesia, manajemennya profesional dan komputerisasi. Pasar buku selebihnya adalah toko-toko tradisional. Makanya aneh, ketika sebuah penerbit mengatakan, “kita tidak bisa lagi mengandalkan Gramedia.” Padahal penerbit lain ingin mendapatkan tempat terhormat di Gramedia;  keempat, dahulu penulis mencari penerbit sekarang kebalikannya; kelima, dalam penerbitan manajemen pun diperlukan. Terlepas apakah sistemnya diri atau bersama-sama. Tapi yang jelas perlu perencanaan untuk menentukan langkah apabila tiba-tiba buku laris atau sebaliknya; keenam, sekarang zamannya “persaingan antar distributor” dan antar “marketer” bukan antar penerbit. Sebab, buku bagus sekalipun kalau tidak “ditawarkan” dengan baik, akan gagal dan tidak menemukan pembacanya, termasuk untuk display buku. Sebaiknya sebuah penerbit memiliki marketing yang jujur dan melek TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) yang terafiliasi ke internet dan jejaring sosial. Internet adalah sarana promosi murah, tetapi seringkali diabaikan; ketujuh, banyak penerbit buku yang mengalami krisis dan kritis keuangan, bagaimana menyiasatinya ini perlu dilakukan misalnya karyawan boleh menjual buku dengan potongan 50%. Penerbit tidak perlu khawatir ini akan merusak pasar, justru lebih mudah dipantau dan lebih cepat menambah pemasukan daripada harus menunggu 3 bulan ke depan dari hasil tagihan penjualan. Buka juga lapangan kerja baru mencari sales untuk jaringan pemasaran hingga ke daerah tingkat II; kedelapan penerbit jangan “gatel” misalnya melihat penerbit lain menerbitkan Alquran. Kemudian ikut-ikutan tanpa riset pasar terlebih dahulu. Kebanyakan penerbit tergiur omset besar, bukan mengejar keuntungan; kesembilan, pada bulan-bulan tertentu, cara menjual buku juga berbeda misalnya ketika Ramadhan, Lebaran, Natalan, atau Liburan akhir tahun; sepuluh, industri buku masih menarik karena pertumbuhan toko buku semakin banyak dan tugas seorang manajer penerbitan mengelola kemalangan menjadi keberuntungan. Hanya manajer yang mempunyai visi yang jenius soal redaksi-produksi-distribusi yang dapat menyelamatkan sebuah perusahaan penerbitan dari krisis yang terjadi. Ingat, kata kuncinya, semua bisnis ingin menghasilkan laba, bukan bala.[]

Comments