Memimpin Air

Oleh: Setiadi R Saleh


Clak cai nu herang, ari nimukeun jalan sing caang
(Air jernih dan bening adalah kehidupan untuk menemukan jalan yang terang).
—Pepatah Sunda


Jawa Barat, khususnya Bandung sebagian wilayahnya masih belum diguyur hujan. Kekeringan dapat terbaca jelas dari jejak tanah dan tetumbuhan di pekarangan rumah. Kendati demikian, meski kering dan kemarau. Pola pengonsumsian air tanah untuk keperluan sehari-hari masih asal-asalan. Sebab, sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang subur air merasa tidak benar-benar terancam. Hal ini tentu saja dirasakan berbeda dengan masyarakat yang bermukim di wilayah kekurangan air. Asumsi sebagian masyarakat Bandung mengatakan, daerah-daerah pegunungan khususnya Bandung Utara relatif masih banyak air dibandingkan Bandung Barat, Timur, maupun Selatan. Walaupun tidak selalu demikian dan ini dapat dibuktikan secara ilmiah dan alamiah.

Pendek kata, parahnya lagi kalau musim kemarau tiba. Masyarakat terbiasa berpikir, jika air habis atau tidak mengalir ke rumah, PDAM yang kena getahnya. Padahal di musim penghujan pun, PDAM kadang tidak dapat mendistribusikan  air dikarenakan faktor internal seperti jebolnya tanggul pengaman dan pemisah untuk penyulingan air. Kalau begitu terus kapan kita berpikir bahwa air benar-benar bernilai secara sosio-kultural, ekonomi dan psikologi-spiritual, kapan? Karena memimpin air berarti sepenuhnya bertanggung jawab atas harta bumi yang kelihatan tak terbatas-tak berhingga, yang sebenarnya sangat berbatas dan berhingga. Barangkali di antara kita berpikir, air diberikan cuma-cuma oleh Tuhan. Tahukah kita bahwa tuhan juga sebenarnya Maha Pencatat-Maha Penagih. Apa pun yang diberikan kepada kita, tidak semata free of charge melainkan kena charge. Tuhan akan memernanyakan di ke manakan harta kita? Usia dan waktu kita selama mendiami bumi digunakan untuk apa?

Latihan memimpin air
Mengelola air sebaiknya dibiasakan dari hal yang kecil. Misalkan untuk menyiram halaman atau jalan yang berdebu. Cukup dengan bekas cucian piring atau pakaian. Meski ada sisa deterjen yang dianggap “cemar,” tetapi penggunaannya jelas hanya diperuntukkan supaya jalan tidak berdebu. Biasakan pula mencuci mobil atau motor dengan air dalam ember secukupnya dan tidak perlu menggunakan selang yang memboroskan. Pengusaha-pengusaha carwash sudah harus mengitung ulang, limbah air bekas cuci mobil haruslah bermanfaat. Kemudian seandainya di rumah kita terdapat kolam. Sisa kurasan kolam bisa untuk kegunaan yang lain misalkan untuk menyiram kembang. Atau ketika perayaan-perayaan hajatan seperti pernikahan, khitanan, termasuk Idul Fitri, kita acapkali membuang-buang air yang tidak perlu. Teruslah berpikir dan berpikir memimpin air dengan sebaik-baiknya, pasti ada jalan.

Selain mengelola, biasakan pula menyimpan air. Jika kita punya halaman, biarkan halaman tersebut masih tanah, jangan diratakan semua dengan semen. Biarkan cacing-cacing dan kotorannya hidup. Cacing sangat berguna untuk menggemburkan tanah serta menyuburkan mata rantai siklus kehidupan. Nanti apabila hujan datang, air akan meresap di dalam “pembuluh” tanah. Jika kita menampung air, waspada terhadap jentik nyamuk. Biasakan pula bila meminum air mineral di dalam gelas dihabiskan. Jangan dibuang di wastafel atau berakhir di tempat cucian piring kotor. Kalau pun air mineral tersebut dibuang dan masih laik, siramkanlah ke tanaman supaya tumbuhan tetap hidup. Pola-pola seperti ini sangat baik untuk menjaga dan menghormati anugerah ilahi, meski hanya setetes air.

Pada tahapan-tahapan yang lebih global dan universal. Mungkin kita sudah sama-sama tau. Isu global warning dan pelestarian hutan begitu merangsek ke emosi kita. Apakah kita sadar dan berbuat? Belum kan? Kita juga masih terus menyeminarkan dan mendiskusikannya di forum-forum. Apakah kita mengetahui memasuki musim kemarau, debit air di sejumlah mata air di kawasan hutan lindung perkotaan mengalami penurunan, bahkan mungkin seke-seke (mata-air) akan mati. Berapa artesis yang dapat mengeluarkan air lagi. Sungai-sungai telah mengering, begitu pula dengan danau dan waduk. Ketersediaan air bersih bagi sebagian masyarakat menjadi kemewahan yang perlu dibayar. Berapa juta kubik air terbuang setiap hari untuk hal yang sia-sia? Kita tidak pernah peduli, bahkan tidak memedulikannya lagi.  

Menurut Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, Ir. Noor Rochman, M.M., mengatakan, memasuki musim kemarau debit mata air maupun air permukaan mengalami penurunan antara 20 hingga 30 persen dari kondisi musim hujan. Masyarakat yang paling merasakan akibat dari menurunnya debit air adalah masyarakat di Kampung Pakar dan Kampung Kordon, Desa Ciburial, Kab. Bandung, dan sejumlah perkampungan yang berada di Desa Buniwangi. (Pikiran Rakyat, 8/9/09)

Iklim tidak bisa disalahkan. Alam tidak pernah mendatangkan bencana. Manusia lupa bahwa ia merusak lingkungannya sendiri. Seperti yang sudah sering dibahas perlu dirumuskan strategi manajemen air tanah perkotaan. Manajemen air tanah di wilayah perkotaan dihadapkan pada konsekuensi ciri-ciri khusus ke-airtanahan wilayah perkotaan, kebutuhan pasokan air yang tinggi, ancaman pencemaran, serta kecenderungan pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Bukan hanya manajemen, tetapi juga bagaimana bisa memimpin air agar kita semua menemukan jalan terang bagi kehidupan dan kemanusiaan.[]

Comments