Taman Apel-Cerpen Anak

Oleh: Setiadi R. Saleh

Hatiku gembira ketika mama dan papa memilih kota Malang sebagai tempat berlibur. Sayang papa tidak bisa ikut kami ke Malang. Ia ada pekerjaan yang musti diselesaikan. Kami pergi bertiga bersama mama dan adikku yang berumur tiga tahun. Untung waktu di perjalanan ia tidak rewel, hanya muntah dua kali, habis itu tidur kembali. Mama malah lebih sering merawatku dengan mengurapi kayu putih supaya aku tidak pusing.
“Bow, kalau mau muntah, muntahin saja. Jangan ditahan-tahan.”
“Malu Ma.”
“Kamu malu sama siapa?”
“Sama orang.”
“Nggak usah malu.” Mama memijat leherku. Pandanganku ke arah kaca jendela. Bis berjalan kencang. Pohon-pohon dan rembulan serta kembang hutan serasa mengikuti. Mungkin mama kasihan meihatku menahan diri agar tidak muntah. Mama memohon kepada supir bis supaya berhenti sebentar.
“Pak supir boleh berhenti sebentar? Anak saya mau muntah.”
“Sebentar Bu. Tidak boleh berhenti di sini. Nanti di depan sekalian istirahat makan.” Sepuluh menit kemudian bis sampai di tempat pemberhentian. Adikku menangis minta susu, mama menggendongnya. Aku berlari ke arah rumput basah yang jauh dari rumah makan. Perasaan mual tak tertahankan. Aku muntah, perut jadi kosong tapi badan terasa enteng. Kemudian kami memesan makanan dan makan seadanya saja. Mama kurang berselera, aku juga, adikku tidak mau makan nasi, maunya pop mie. 

Setibanya kami di Malang. Nenek menyambut kami dengan gembira. Si kecil yang kami panggil Koi menangis waktu nenek ingin menggendongnya. Mungkin belum terbiasa. Sementara mama berulang kali mengusap air mata haru dengan ujung baju. Aku melihat ke setiap sudut halaman. Rumah nenek sepi sekali. Di ruang tamu terdapat perabotan tua, tv hitam putih, radio transistor, satu jam dinding besar yang tiap kali berdentang membuat merinding. Kusalami nenek, beliau mencium keningku. Sepertinya perhatian nenek tercurah pada adikku. 

“Sudah, Ma, sudah. Aku tidak apa-apa.” Mama mencoba menenangkan nenek.
“Syukurlah kau datang dengan selamat. Suamimu kemana, kenapa tidak ikut?” Tanya nenek kepada mama sambil menyimpan tangis dan rindu karena sudah lama tidak berjumpa.
“Sedang ada pekerjaan. Belum dapat cuti.”
Nenek membuatkan teh manis khas ramuan bunga melati. Ia mengeluarkan biskuit dan roti marie. Mama terlihat lelah seketika terbaring tertidur pulas.
“Dora, jangan tidur di kursi. Di kamar saja.” Kata nenek kepada mamaku.
“Ya.”  Jawab mamaku dan setengah mengantuk berjalan ke kamar. Adikku merengek minta susu. Bergegas aku mengambilkannya.
“Rainbow bawa adik kamu ke sini.” Nenek membujuk si kecil. Lama-kelamaan adikku tidak canggung lagi dengan nenek. Ia bersuara genit, mulai banyak tanya.
“Kakek mana Nek?” Tanya adikku penasaran. Waktu kakek masih hidup. Adikku sangat dimanja. Tidak pernah satu kalipun kakek memarahi si kecil Koi.
“Nanti ya kita melihat kakek.” Yang dimaksud nenek ziarah ke makam kakek.
            “Benar ya Nek.”
            “Iya, nenek janji.”
            “Bow kamu sudah kelas berapa?” Nenek lupa aku kelas berapa.
“Kelas lima Nek. Sekarang Rainbow sudah bisa tulis baca dalam bahasa Inggris.”
“O ya. Hebat masih SD sudah bisa bicara Inggris.” Si kecil Koi mengantuk dan tampak lelah sekali. Walau beratnya empat belas kilo nenek masih sanggup menggendongnya. Sesekali menyenandungkan lagu dan Koipun tertidur. Aku ikut mengantuk dan ingin segera tidur. Tapi, badan terasa lengket oleh keringat. Aku mandi, airnya dingin seperti di Bandung. Tadinya setelah mandi ingin jalan-jalan di sekitar rumah. Nggak taunya rasa kantuk menyerang semakin hebat. Dan aku tertidur dekat kaki mama.
Aku iba melihat mama. Ingin rasanya cepat besar supaya bisa membantu mama. Biarlah kerja apa saja selagi kuat dan tidak menganggu sekolah. Pernah suatu kali aku jualan koran dan mengamen. Mama memarahiku, katanya aku seperti gembel. Kuberitahu mama, semua ku lakukan supaya punya uang buat tambahan beli buku. Mama datang ke sekolah. Memohon kepada guru supaya diberi keringanan karena belum dapat melunasi SPP dan bayar uang buku. Guru memaklumi dan memberi tenggang rasa selama tiga bulan. Aku diperbolehkan sekolah dan masuk ke dalam kelas tanpa buku pelajaran dan buku latihan.
***
 Malam harinya di rumah nenek. Hawa dingin kota Malang mulai terasa. Mama menyiapkan makan malam, nasi goreng campur telur orak-arik, mentimun, tomat, bawang bombai dan lalapan daun selada. Kerupuknya kerupuk tempe yang dibawa dari Bandung.
“Kamu nggak dingin?” Tanya nenek kepada si kecil Koi.
“Nggak Nek?” Jawab adikku dengan suara cadel. Lalu nenek bertanya padaku.
“Di sini seperti di Bandung ya. Dinginan mana Bandung atau Malang.”
“Bandung dong Nek.”
“Yang benar.”
“Bener Nek, apalagi kalo angin gede dan hujan bada’g.” Nenek tertawa riang dan ngakak. Mendengar si kecil Koi mengatakan hujan badak.
“Kalo hujan gajah dan singa?” Nenek gemes melihat si kecil Koi.
“Ya nggak ada. Bukan hujan badak tapi bada’g itu lho kalo hujannya deres bangetttt.”
“Ayo semuanya makan.” Mama hanya tertawa dan meminta kami supaya cepat makan. Aku paling doyan nasi goreng bikinan mama. Rasa kecapnya pas.
“Nek di sini sunyi ya.” Tanyaku pada nenek.
“Siapa bilang, tuh coba dengar suara jangkrik, suara kodok dan tukang bakso. Iyakan?”
“Koi habisin nasinya.” Pinta mama.
“Kanyang.” Jawab si kecil Koi. Kebetulan aku masih lapar, nasi dalam piring si kecil Koi kupindahkan ke piring. Eh, dia malah menangis. Mungkin karena kekenyangan dan rasa letih di perjalanan. Kami mengantuk dan ingin segera tidur lelap. Hari mulai gelap. 
***
Keesokan harinya kami bermain-main di halaman belakang rumah nenek. Di situ banyak pohon apel yang sedang berbuah. Kalau tidak ingat sekolah, ingin rasanya tinggal lebih lama. Lagipula cuaca di Malang sejuk, bikin betah. Tidak seperti di Bandung. Walau dekat gunung cuacanya panas. Sesekali nenek mengingatkan agar jangan mengambil apel yang terlalu muda. Mama berulang kali  memarahiku karena lebih sering makan apel ketimbang makan nasi.
“Ampun Ma, ampun, Rainbow tidak nakal lagi dan janji makan nasi.”
            Nenek hanya tertawa saja. Melihatku manjat pohon apel. Mama berteriak.
            “Rainbow, kamu mama bawa ke rumah nenek bukan untuk menghabiskan buah apel kepunyaan nenek.”
            “Sudahlah Dora. Siapa lagi yang akan makan apel ini. Di sini tinggal aku sendiri.”
            Beberapa hari kemudian. Ketika mau pamit pulang. Kukatakan pada mama. Aku ingin sekolah di Malang dan tinggal bersama nenek. Mama menyetujui. Tapi, semua tergantung keputusan papa. Moga-moga dibolehkan. Eh, si kecil Koi ikut-ikutan ingin tinggal bersama nenek. Mama mengiyakan saja. Aku terharu melihat nenek, lalu kupeluk nenek dan berjanji akan kembali lagi. Nenek senang mendengar perkataanku. Ia meneteskan air mata bahagia. Kami sekeluarga akhirnya pulang kembali dengan perasaan suka cita.

TAMAT

Comments