Istana Maimun dan Michael Jackson

Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

S
iang itu,  seusai menghadiri undangan khusus dari Harian Umum WASPADA. Saat hendak pulang dan menyetop angkutan umum, tangan saya terasa kaku, sementara kaki saya memaksa ke arah Jalan Bridjen Katamso. Saya tidak tahu mengapa bisa seperti itu. Sambil jalan, pikiran saya melamun dan memperhatikan apa saja yang menarik hati. Di Jalan Katamso banyak sekali kantor-kantor biro perjalanan, agen kurir ekspedisi, dan ada tiga media cetak/online: Waspada, SIB, dan koran Realitas.
Di ruas jalan, bus-bus besar Pariwisata berseliweran di antara angkot, sudako [angkot khas Medan], becak motor, kereta [sepeda motor], mobil, sepeda, dan pejalan kaki. Saat melihat bus-bus tersebut, barulah saya tercenung dan tersadar bahwa di Jalan Bridjen Katamso terdapat istana yang melegenda yakni Istana Maimun. Cepat-cepat saya langkahkan kaki, rasanya seperti ingin berjumpa dengan seseorang yang dirindukan. Saya tidak peduli lagi, ada apa saja di sekitar saya.
Mujurnya saya, Kota Medan siang itu tidak panas. Mendung mengapung. Matahari-mata hari ini seakan enggan menyengat, dan angin yang bertaut pelan menyapu debu dengan tersipu-sipu. Saya mempercepat langkah.

Dering ponsel bergetar di saku celana...
Ingin saya abaikan...

Saya sadar, kehadiran saya di Kota Medan seperti madu. Dua media lokal tiap hari menagih tulisan saya. Satu media online di Jakarta menunggu saya juga. Dan dua penerbit di Kota Bandung pun terus menggempur saya dengan email tawaran menulis.
Dan dering ponsel akhirnya betul-betul saya abaikan...
Sms datang, amboi betul rupanya, lagi-lagi tawaran menulis...
Gerbang Istana Maimun dari samping sudah terlihat...
Saya memasuki gerbang. Seorang penjaga yang berjaket coklat sedang asyik menelepon. Ia tidak mempedulikan kehadiran orang.  Dalam hati, apakah masuk ke Istana Maimun gratis? Dari kejauhan ponsel Nokia 2730 klasik dengan kamera 2 MP mulai saya bidikkan ke arah Istana Maimun. 

17 tahun [1994-2011]  meninggalkan Medan. Ketika bisa melihat kembali Istana Maimun yang didirikan 26 Agustus 1888. Hati saya tidak tentu, tidak pasti laksana spektrum roda-roda api atau seperti mesin las yang mengapungkan biji-biji besi. Terima kasih Semesta, setelah 17 tahun, saya bisa mengunduh keagungan dan kemasyhuran Kerajaan Melayu.
Saya tau kamera ponsel 2 MP kurang memadai untuk memotret hal-hal yang detail. Tidak apa pikir saya, yang penting ada kenangan. Begitu mendekati istana, saya sudah yakin. Pasti tidak akan menemukan apa yang saya cari. Benar saja! Tidak ada pasukan khas raja-raja Melayu atau sekurang-kurangnya orang yang berpakaian khas Teluk Belanga atau orang yang menari serampang 12 atau apa sajalah yang menunjukkan dan menyambut “saya sedang” berada di istana, bukan di sebuah bangunan yang mirip istana.

Dari tangga bawah, saya liat dua anak sekolah sedang memakai sepatu. Masuk Istana Maimun harus buka sepatu/sendal/selop, siapa pun itu termasuk pejabat negara.
Sebelum naik ke tangga atas. Saya sempatkan menikmati keindahan Istana Maimun, dekorasi, arsitektur, kipas angin gantung, ornamen, serta kepingan haluan sejarah yang terpental. Hari itu saya sedang tidak ingin berpikir keras mengingat-ingat sejarah Istana Maimun, Putri Hijau, Sungai Deli, Mariam Buntung [The Split Cannon] dan Masjid Raya. Terhadap Istana Maimun, saya hanya ingin takjub saja.

Sampai di tangga atas.
Saya tanya, “Dik masuk bayar?”
Mereka menjawab, “Bayar bang, Rp. 3000.-”

Saya membuka sepatu dan mencari penjaga ingin membeli tiket. Tidak ada orang. Di meja penjualan tiket di dalam istana terdengarlah mengalun pelan lagu Michael Jackson, “Will You Be There.” Lagu itu saya suka dan MJ pun idola saya. Pikiran saya langsung buyar soal-soal kelampauan dan tempo doeloe. Akhirnya saya masuk tanpa membeli tiket dan bebas berkeliling di dalam istana. Mengagumi, melihat, dan memotret apa saja. Kebetulan Istana Maimun lagi sepi. Jangan kaget, di dalam istana terdapat dua toko asesoris laiknya toko-toko pada umumnya. Menjual kaca-mata, kaos, mainan anak. Dan di halaman dalam istana pun PKL dengan jumlah terbatas bebas berjualan. Kemudian pada sisi-sisi istana, tampak dari atas, di halaman bawah terdapat jemuran [tidak perlu saya sebutkan apa saja yang dijemur]. Aneh binti ajaib. Istana kehilangan fungsi. Itu jika saya berpikir dari sisi nilai sejarah. Jika saya berpikir dari sisi realitas dan fakta. Tidak semua turunan kerajaan hidup laik, sehat, normal. 

Langit-langit Istana tinggi. Ruangan terasa sejuk. Di dalam istana dipajang foto-foto keluarga kerajaan. Dari deretan foto-foto tersebut hanya satu yang menarik perhatian saya, foto anak kecil dan sudah pasti dibuat pada masa kini. Siapakah dia? Dalam tradisi Kerajaan Melayu ada istilah raja mangkat, raja diangkat. Sudah pasti itu keturunan raja, dan saya tidak yakin keturunan ke berapa.  

Saya mengitari seluruh bagian istana.
Dan hati saya melengung,
suatu rasa yang lebih sepi dari sunyi,
suatu rasa yang lebih senyap dari gelap...
 
Tidak ada guide, tidak ada pemandu yang memberitahukan apa saja isi dan benda-benda bersejarah  istana. Saya masih tertegun melihat keindahan ornamen dinding yang dipadu sentuhan warna kuning dan hijau. Sekilas saya perhatikan warnanya mirip dengan masjid-masjid yang ada di Iran. 

Tiga orang anak sekolah SMA memasuki istana. Penjaga tiket pun datang. Anehnya saya masih belum ditagih. Saya teruskan langkah dan mengulanginya sekali lagi memasuki istana. Sengaja saya menguping pembicaraan anak-anak sekolah yang sedari tadi asyik mengobrol. Kata mereka soal Istana Maimun, membuat saya miris, “Istana Maimun cuma kek gitu aja, gak ada apa-apa.” 

Zuhur sudah lewat. Saya belum shalat dan berencana shalat di Masjid Raya yang letaknya kurang lebih 50 meter. Jika Anda kebetulan berada tepat di tapuk pusat tengah-tengah istana Maimun. Anda akan melihat air mancur yang sudah tidak berfungsi.

Anak sekolah yang lain mulai berdatangan, disusul rombongan perempuan-perempuan paro baya berwajah Tionghoa atau Thailand. Saya tidak begitu yakini ini dari luar negeri. Sebab, di Medan melihat orang berwajah etnis itu tidak aneh. Istana mulai penuh orang.
Bosan saya di dalam istana. Saya berdiri di tepi-tepi dinding. Menyaksikan pemandangan. Jika kita lihat dari depan. Bangunan istana memiliki panjang lebar yang persis serupa sama sisi-sisinya [kembar]. Kalau kebetulan Anda berdiri di sisi kiri, yang sisi kanan seolah-olah lebih panjang. Begitu pun sebaliknya. Sudut pandangnya pun mirip dengan lambung kapal.
Lagu Michael Jackson masih mengalun. Kali ini lagunya I Be There. Kedua lagu MJ tadi seakan tau saya mau datang ke Maimun. Saya ingin pulang. Uang tiket belum saya bayar dan saya datangi saja penjaganya. Saya bayar dengan pecahan Rp. 50.000,- dikembalikan Rp. 45.000,- Harga anak sekolah dengan umum memang dibedakan. Saya bertanya kepada penjaga yang kebetulan perempuan dan rupanya ia sangat menggemari Taguan Hardjo. Ia sendiri yang tiba-tiba mengatakan demikian. Taguan adalah komikus legendaris asal Medan dan sangat terkenal di Pulau Jawa, khususnya Jakarta dan Bandung. Di Indonesia yang memiliki koleksi komik dan tau persis sejarah Taguan Hardjo adalah Tuanku Koko Hendri Lubis, Direktur Dewata Antiquariat North Soematra.

Kepada penjaga tiket, saya bertanya, “Sehari pengunjung istana ada berapa?”
Ia menjawab, “100 kadang ada. Kebanyakan anak sekolah.” Dari satu pertanyaan itu, akhirnya timbul pertanyaan susulan.
“Adik pasti seniman, kalau tidak penulis, dan pasti bukan dari Medan.”
 
Dalam hati saya, waduh, ini orang seolah mau membaca saya. Saya tersenyum dan tidak menjawab. Ia bercerita, kalau ada yang bawa anak kecil menangis saja, sebaiknya keluar saja. Karena, mungkin saja ia diperlihatkan [baca: makhluk halus]. Saya tidak banyak bertanya. Ia terus saja bicara, entah apa saja. Saya kemudian berkata, “warna-warna di dalam istana mirip dengan masjid-masjid yang ada di Iran.” Ia langsung menyusul dengan pernyataan, bahwa Sultan Deli pun tersambung kepada Imam Ali dan baginda Nabi. 

Kepala saya langsung cenat-cenut. Tadinya tidak mau berpikir soal sejarah, akhirnya malah berpikir mencari rangkaian logis sejarah Melayu. Kenapa sukar mencari muara akar Melayu karena memang bangsa Melayu dulu-dulunya adalah kumpulan dari berbagai bangsa yang kemudian terhimpun dan terbaharukan ke dalam rumpun satu bangsa Melayu.

Dan pembicaraan saya terhenti...
 
Tamu-tamu pengunjung Maimun semakin ramai. Penjaga kewalahan dan aku pamitan. Ia menyalami saya dan saya pun menyalaminya.

Saya belum shalat, belum makan siang. Jam sudah menunjukkan pukul 14.36. Cacing memanggil karena lapar. Jiwa menggelepar karena belum menghadap Semesta.
Saat menuruni tangga Istana Maimun. Seutas kenangan membalut air mata saya.
Dan lamat-lamat setelah meninggalkan Istana Maimun, sekali lagi saya tolehkan wajah
mendung sudah tergambar di cakrawala. 

Maimun esok saya kembali lagi! Will you be there...

Comments