Mendayung Angin Sampai Karang Langit

Kisah-kisah Nelangsa Begitu Rupa

 


Aku menerima resiko seperti menangkap petir di langit
hitam marcapada yang lumpuh
pulang ke utara serpihan pulau
dan angin-angin yang berpilin 
mengurapi gunung-gunung di tepi laut
dan jiwa-jiwa yang terbasuhi lumpur
tenggelam dalam kehampaan rawa-rawa

aku terhampar seperti buana yang koyak
terasa begitu kalah oleh keindahan gelombang pasang
terasa begitu biasa oleh kilat dan gemertak pecah-pecahan sinar sabit bulan
aku bagaikan lukisan energi yang mengambang di mata air
dan Tuhan yang Maha Lembut bicara kepadaku lewat penguasa maut
engkau yang lekat dalam pertalian asam asmara bersyukurlah
karena keberkatan yang pahit itu takkan lestari seperti perkiraan mereka yang mengkafirkan aku begitu rupa

Jauh hari sebelum ini hari ini
aku telah berlindung kepada Raja dari
segala sesembahan manusia
dari kemiskinan batin
dari keterpurukan menguliti kulit kehidupan yang tak lagi sama tiap tahunnya
dari keperihan ratap-ratapan kelamin yang merindukan sarang perjamuan
dari tekanan hutang-hutang sembahyang yang belum terbayar dengan hati lapang

Doaku adalah cahaya mayapada yang menyala-nyala
dan ibadahku adalah pelita api yang tersembunyi 
untuk suatu apa kematian dan kehidupan dipergunjingkan
demi suatu apa kefanaan yang tiada tara itu dirangkai kembali
sedang makian orang jadi tai
hinaan orang jadi dahak
dan cercaan orang jadi kuman
sanjungan orang jadi semacam ramuan
aku bertumpu pada
kepala yang menyimpan kitab seluruh zaman
dan bertanya
dalam kejernihan akal pekerti
terbuat dari apa larutan perasaanku ini
hinga nelangsa begitu rupa














Frase


Seandainya kata itu punya nyawa
pasti ia sudah lama tewas di tanganku

 














Jelata


aku lolos dari lolongan serigala malam
burung hantu yang kukenali tidak ada lagi
dari kelopak mata maya
gagak hitam bertapa di punggung kerbau
raungan harimau di lutut kaki menjadi-jadi
di bentara halaman rumah
ayam jantan bersahutan
malaikat turun di keheningan
jerit kucing kawin di atas pagar
aku bertanya pada lalat di dalam kamar
kenapa derit suara tikus seperti kicau murai
kemudian bianglala lewat di pembaringan
di sebaris tikar dekat ambin tua
di pelepah pangkal kenanga
bahasa manusia adalah keluhan
aku makhluk Tuhan mulai berdoa
dilepaskan dari kemalangan suratan badan

Hampir Tidak Ada Tempat Yang Tidak Berobah

Sajak: Pejalan Kaki

Aku bercampur dengan kelelawar bermata merah bergurau dengan anak-anak singa sesekali memberi makan keledai dan kereta unta

Kala pagi menutup malam yang kumal
aku seperti ombak jatuh bersama buih
nafas berdzikir
kalbu bertakbir
fikiran mencari gugusan prosa
acapkali aku bersyukur
dalam fragmen yang lambat
diperjumpakan warna-warni seroja bunga

Hidup adalah menyambut
menerima
memberi
 bukan memilih


Jalan-jalan masih seperti dulu lagi
hampir tidak ada tempat yang tidak berobah
kawan lama bagai hutan
cinta dalam batin seperti kupu-kupu
merindukan ranting bambu
perempuan dalam percik permenungan menjadi lampu kehidupan
dan firasat seringkali meminta petaka

Mulanya cahaya matahari
menghisap kulit pori
lambat laun membakar mata kaki
aku mendengarkan suara hati
 udara yang kuserap
mengandung kain kafan
di ufuk yang risau
abu menderau menghias daun cempaka

Pernah jua suatu siang
dadar telur di atas pinggan begitu asoi
asap sate berguling dikemudikan angin
hinggap di ujung baju sampai
ke batang hidung masuk sarang lambung

Tidak ada uang
 tidak punya jam tangan
berbekal ikrar serta kemaluan
bermaksud tidak melayani dunia
nanti kecewa nanti letih nanti pedih
patahkan pergantungan kepada mahluk Tuhan
hidup dan kehidupan adalah milik yang Maha Menghidupi
jadi bukan milikku
bukan hakku bertanya
kenapa tiba-tiba harta menjadi demikian fasih mencoreng nasib
           
Aku termangu
berhenti sebentar di sebuah halte
dekat rumah sakit
percaya akal budi tidak akan kerdil
dalam pertarungan mengisi umur

Di antara celah tempatku duduk
bersandar dekat bahu masjid yang dingin
aku malu
aku remuk kikuk
di rumah seperti pesakitan
di luar seperti gila
mulut bercerita hati koyak-moyak
disantap kerisauan
diseret beragam makna
cakrawala tempatku bertaut
menyusun riwayat
menjadi muda
 menjadi tua adalah suatu keniscayaan
selalu ada yang baru dalam penemuan diri
selalu ada pilu
dalam pertalian asam asmara
kalau tak kembali usah berjanji
usah risau
bila padu pasti selalu

Hidupku indah Rek
seperti hamparan laci dunia
hutang-piutang menjadi semacam hama
nurani robek mengembara
dalam kepalsuan
tersusun irama demi bait
bunyi demi redam suara demi kemilau waktu demi  kenangan demi masa depan
yang menggempur umur menjadi tumbal

Saban sore mendera
usai menjalankan maklumat Tuhan
menggarap sajak di atas tangga
ujung sepatu mulai pipih dikuras jaman
aku merindukan pulang
merampas puncak menara
merindukan mengusap pipi kekasih
merindukan memijat pundak mertua
bercakap sejarah kemerdekaan
tahun menyerempet bahaya
aku juga merindukan bergurau
dengan karib sebaya
yang tiap kali tanggal tua sakit kepala
yang tiap kali kurang gaji sakit gigi
yang tiap kali bersolek ditaksir laki-laki

Malam bersinggasana
lembayung merambat di genangan hujan
rasanya tak sabar sampai di rumah
mengarang prosa
minum air gula
menggunting koran
menangkap kemauan sajak
kupacu derap di tepi persimpangan
dan rimbun mega-mega di atas kepala
memagari rembulan agar tak gemilang terlalu gegas
mata batin membuatku gembira
senyum mengambang di atas bibir yang merekam peristiwa
cukup melimpah bagiku lapang diri
merdeka dalam kesederhanaan

 











Galau


aku galau
rindu menghalau
kalbu seperti bulu digubar sang bayu
disiksa gulita
engkau teramat dekat
seperti wajahku sendiri















Yang Ini Lagi


Aku menunggu sampai waktu lelah menantiku
betul-betul ada yang tumbuh
seperti bait rindu tapi bukan
seperti perasaan mempunyai tapi bukan
ini pasti bukan cinta
seingatanku cinta tak begini
tak begitu
tidak ada getar seperti orang kata
tidak ada kata seperti kata kita

Tangga yang ini lagi
sajak tak kunjung bertandang
pohon itu lagi
angin berpagut
untaian daun menggelepar mencium tanah
isinya bumi itu-itu lagi
langit cahaya biru-biru lagi
aku seperti ini-ini lagi


Perengkuhan


pena adalah kekasih tempatku bermanja
kertas adalah mutiara tempatku meratap
tinta alam raya adalah darahku
pohon bidura tak berduri hatiku kembali
ketiadaan adalah danau tempatku berkaca
cinta curahan hati tempatku bersamadi
sayap malaikat tempatku berguru
gravitasi bumi tempatku mengisi umur
ibadah adalah kendaraan penantianku
selubung malam adalah penglihatanku
dan bintang-bintang bunting senjataku
dan bulan-bulan terbang panduanku
dan matahari mata hari ini jalanku
dan kitab akhirat renunganku
dan penciptaku sumber segalaku






Masih yang dulu-dulu


Di situ rindu
Di sini rindu
Lalu siapa aku


















Pekat


malam yang menetas pekat
apa maksud Tuhan mengirimkan penglihatan
mengirimkan kau di sini
di rumah bata berpagar kawat

janji manis itu
kekasih di tengah pangkuan
semak penantian
aku belum apa-apa











Pernikahan


Pernikahan bukan hal yang besar
Satu hari setelah pernikahan itu
baru jadi peristiwa besar


















Sikap


Aku bertanya dalam benak
apakah orang tuaku kawin
dengan suatu kemapanan
atau kemantapan
















Suatu Masa Kematian Pasti Merayu
In memoriam; Djuriah

duhai surga yang hilang
yang menaikkan doa putih pertama
yang tiada sekalipun semasa kanak
kau cubit aku kau pukul aku
kau jewer aku kau perhinakan aku

Comments