Narkoba di Masjid Raya-fiksi

Oleh: Setiadi R. Saleh

 Sejak aku dinyatakan lulus yudisium dengan nilai cum laude. Telah terbayang akan menjadi tuna karya dari orang kesekian ratus juta di republik yang katanya kaya raya. Memiliki belasan ribu pulau, puluhan bahasa daerah, dialek dan variasi langgam, mempunyai sumber daya alam serta cadangan kekayaan intelektual yang tidak terbatas pada bidang politik dan ekonomi. Tapi, meliputi budaya, seni dan sastra.

Kalau kuingat sewaktu sidang akhir skripsi tak sedikitpun aku gentar. Ya skripsipun pada akhirnya seperti dagelan. Lelucon kehidupan yang dilakoni manusia kampus. Wisudanya sendiri baru akan berlangsung tiga bulan mendatang. Tak terukur betapa jengah, jenuh. Kuputar otak cari akal. Kerja ini rasanya tak cocok, kerja itu tak ingin. Sementara akal sehat dan naluriah sulit diajak bekerja sama. Sering aku mendapat nasihat. Pekerjaan itu tidak datang ketika dicari. Soal rezeki Allah yang menurunkan dari langit dan mengeluarkan dari perut bumi. Sesusah-susahnya hidup, yakinlah Tuhan tidak akan menganiaya ciptaan-Nya sendiri. Karena itu bertentangan dengan sifat-Nya yang Maha Kasih. Aku berdoa; Ya Gusti Pangeran, semoga di usia yang produktif tidak dilemahkan oleh keadaan.

§§§

Dan datanglah hari yang gembira. Masa ketika diwisuda. Aku mengenakan pakaian toga. Memberi kata sambutan di hadapan rekan-rekan wisudawan dan para undangan. Ah mudah-mudahan keriangan yang sekilas tidak digantikan keluhan panjang karena sebentar lagi menyandang status pengangguran.

Bulan-bulan pertama menjadi pengangguran, keluarga memberi pemaafan dan pemakluman. Aku menenangkan diri agar tidak panik. Kurang apalagi, semua jurus kutempuh demi menemukan lowongan kerja. Tanya kiri-kanan mencari melalui media cetak dan internet. Lamaran dikirim tetap belum hasil. Surat panggilan sama sekali nihil. Sampai suatu hari ada teman lama menawari jasa ketikan. Kontan aku sambar dengan senang hati. Tiap satu lembar dibayar seribu perak. Bagiku mengetik seratus lembar perharipun tidak masalah. Tapi, namanya order kadang ada, kadang tidak. Bisa dibilang lebih banyak menganggurnya.

Kemudian masuk bulan ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan. Ya Tuhan selama sembilan bulan aku menganggur? Moga-moga rentang waktu tidak sampai sekurun, hanya berbatas sembilan bulan sepuluh hari seperti jabang bayi yang akan segera lahir. Aku hanya berprasangka baik kepada Tuhan. Barangkali ia sedang menguji kesabaran dan keihklasan menerima keadaan. Keikhlasan dapat kujalani. Tapi kesabaran belum bisa sepenuh hati. Kepada siapa harus mengadu aku tidak tahu. Minta tolong ke orang tua, beliau sedang pailit. Minta tolong ke temen-temen, nasibnya sama, sedang mumet tidak punya gawean. Mereka bilang hidupku senang, bawaannya tersenyum dan ketawa melulu. Aku jawab, orang tertawa bukan karena senang melainkan sudah sampai pada puncak penderitaan.

Dan seandainya pengangguran tidak membutuhkan biaya. Tidak akan berpengaruh apa-apa. Jadi pengangguran adalah barang mewah, free man tidak terikat kemapanan dan rutinitas. Walau begitu, aku musti bangun pagi mengumpulkan tenaga untuk menulis sebuah buku. Bagaimana mau menulis bila perut lapar, kepala berisikan amarah, hati dipagari pengkhianatan, sementara tuntutan hidup semakin hari semakin meningkat. Bahkan cenderung membuatku sakit jiwa.

Terpaksalah aku berkeliling dari satu rumah teman ke teman lainnya. Semata-mata ingin meminjam uang buat kebutuhan primer dan modal jualan buku keliling. Nilai nominal yang kupinjam tidak mencapai satu juta. Pada saat tidak punya uang, jumlah sejuta terasa besar. Aku bertekad mau kerja apa saja asal bisa dicerna akal dan tidak mengemis-ngemis, menghiba-iba. Ya, kadang aku iri melihat pengemis, sehari dapat dua puluh ribu. Sementara aku seratus perak belum tentu bisa dapat. Rasanya tak enak hati bila musti berhutang lagi. Aku tidak bisa tidur memikirkan semua soal. Sampai batas diri menuju gila persoalan tidak akan terselesaikan. Kalau aku punya modal pasti aku usaha. Intinya berbuat, memulai, merintis sesuatu.

§§§

Suatu ketika di siang yang hujan. Arus sungai Cikapundung mengalun, mendesirkan gemuruh. Sampah-sampah dan daun-daun dibawa hanyut. Aku berdiri di tepi jembatan tua Wastu Kencana. Hujan tambah lama tambah lebat. Aku perlu tempat bertambat, berteduh dari hempasan angin dan butiran air. Kemana lagi kalau tidak ke kampusku yang berjarak dekat dengan jembatan. Jalan kaki paling satu menit.

Sebenarnya aku malu datang ke kampus sebagai alumni yang tidak punya kerja dan belum menghasilkan karya spektakuler. Sudah bisa kutebak, aku bertemu kawan lama yang berbeda secara nasib tapi sama dalam status; pengangguran kelas berat. Kusapa mereka, tadinya ingin mampir sekedar bicara. Tapi hujan belum reda, aku berlari menuju masjid. Siap-siap shalat dhuzur, namun ashar telah tiba. Di tengah-tengah melaksanakan shalat sunat setelah ashar. Berkelebat dalam benak. Ya-ya aku dapat ide. Sebuah gagasan unik agak gendheng. Shalat sunat kubatalkan, aku mengambil pena. Kutulis gagasan di telapak tangan dan kulanjutkan shalat yang belum rampung. Sembari berdoa, aku menghitung langkah bersiasat dengan keadaan.

Sesampainya di rumah. Cepat-cepat kubuka koper pudar berisi catatan dan surat-surat. Untung yang dicari masih ada, sebuah kartu pers bekas magang di stasiun radio. Sudah bukan rahasia umum kalau kartu pers dapat memudahkan akses masuk ke tempat-tempat yang menguntungkan. Operasi ini kuberi nama operasi kadal buntung bersifat rahasia. Tidak boleh seorangpun boleh tahu.

Berbekal bahasa Inggris dan bahasa Jerman yang pas-pasan ditambah tape recoder serta sebuah buku notes kecil. Aku nekat mengkonsepkan diri sebagai wartawan amplop atau tepatnya wartawan gadungan. Kalau ada apa-apa, nama almamater harus tetap bersih. Aku sadar ini pelacuran intelektual, semua demi menyambung nyawa. Terus terang hari pertama aku gugup. Kuatir kalau-kalau ketahuan. Setelah seminggu beradaptasi. Semua terasa biasa saja.

Guna kelancaran operasi kadal buntung. Aku mencari informasi jadwal tempat seminar yang diadakan di Bandung tiap minggu. Biasanya hari Jum’at dan hari Sabtu. Dari mulai seminar berskala nasional sampai internasional. Kegiatan seminar diadakan di hotel-hotel atau aula. Dan bukan barang aneh setelah acara selesai staf Humas menjadi orang paling dicari. Karena tugasnya selain memberi keterangan acara, juga  menyelipkan sebilah amplop. Wartawan resmi, haram menerima amplop dan memandang rendah rekan-rekan mereka yang masih mau menerima angpaw. Lucunya lagi, setelah menerima amplop yang berisi uang sekitar lima puluh sampai seratus lima puluh ribu para wartawan amplop membubuhkan tanda tangan sebagai tanda terima.

            Waktu aku magang didoktrin hukumnya haram jadah menerima amplop. Karena bertentangan dengan kaidah jurnalisme, moral dan citra. Sekarang tai kucing semuanya. Aku telah masuk ke dalam sarang kebobrokan bangsa yang tidak memperhatikan warga negara. Tidak punya pekerjaan, tidak ada penghasilan dan umur makin bertambah. Sementara bunyi iklan lowongan kerja, maunya menerima yang fresh graduate maximal 27 tahun. Aku sudah hampir kepala tiga, nyaris putus asa. Daripada mati kelaparan dan tidak punya uang seperak-perak buat beli prangko untuk mengirim lamaran kerja. Memilih profesi jadi wartawan amplop merupakan pekerjaan mengasyikan.

Demi menjaga rahasia, aku bicara seperlunya saja kepada rekan wartawan, mereka bertanya; darimana? Maksudnya dari media mana? Aku jawab media anu-media itu. Mengucapkannya dengan nada samar dan cepat mengalihkan perhatian supaya tidak ada pertanyaan susulan. Pertama, aku tidak dianggap. Mungkin disangka orang baru terjun dalam dunia kewartawanan.

Suatu kali dalam sebuah seminar berskala internasional yang diselenggarakan di ballroom hotel Jayakarta mengundang nara sumber dari Jerman dan Australia. Seminar itu bertemakan “Pemetaan Budaya Indonesia di Era Globalisasi.” Ada isu, bakalan turun dana bagi seniman Indonesia yang ingin berkarya. Tibalah session tanya-jawab wartawan dipersilakan bertanya, penerjemah menerangkan kepada nara sumber dengan bahasa Inggris, kemudian di-Indonesiakan kembali. Seorang wartawan menggunakan bahasa Inggris. Wartawan lain hanya melongo sedikit menyimak. Aku tidak mau kalah, kugunakan bahasa Inggris dicampur Jerman sedikit. Orang lebih melongo lagi. Dari kejadian itu wajahku mulai dikenali sesama rekan wartawan. Aku baru sadar bukan hanya domba Dolly yang dikloning. Berita juga bisa dicangkok, dikloning menjadi banyak. Cukup satu orang meliput dan yang lain menuliskan kembali hasil liputan. Itu sudah biasa tidak perlu dipermasalahkan. Ini sekedar introducing.

Memang ada kecenderungan wartawan amplop punya kebiasaan memeras secara halus. Walau aku gadungan aku tidak akan mencelakakan diri dengan berbuat tidak pantas. Menggertak dan membongkar kasus korupsi. Toh aku jadi wartawan gadungan hanya senang-senang sekedar numpang makan enak dari satu seminar ke seminar lain. Kalau amplop diselipi aku terima kalau tidak ya tidak apa-apa.

Dalam sebulan aku bisa menghadiri enam sampai delapan kegiatan seminar. Aku menggumam, pantas hati orang kaya dan para cendikiawan tertutup kepada kaum dhuafa. Kemiskinan, kesejahteraan, pengangguran, pengungsian dan  penderitaan yang membuahkan ratapan hanya menjadi komoditi yang diseminarkan, digantung dalam forum-forum. Terkadang ada orang yang tega mengeruk keuntungan dalam petaka kemalangan orang lain melalui sponsorship. Aku cuma mampu mengelus dada. Dan kukira kalau mau jadi wartawan tidak perlu sekolah Jurnalistik, pahami saja prinsip 5 W + 1 H, terlibat langsung di lapangan ditambah membaca buku Bill Kovack.

§§§

Paruh kedua menjadi wartawan gadungan. Hati tidak tenang. Ada suatu perasaan gelisah. Malam sebelumnya aku bermimpi berdiri di tepi jurang dan kemudian menaiki bukit. Sampai di atas bukit ada sekawanan kerbau tanpa penggembala. Lalu kuturuni jalan setapak dan aku berhenti sebelum sampai di belokan. Aku tahu belokan itu jalan menuju masjid. Tapi, kaki tidak melangkah hanya berdiam, mematung seperti menunggu sesuatu. Aku terhenyak dan mawas diri. Apa maksud dari mimpi itu. Aku terbangun, kulirik arloji pukul empat pagi. Hari ini hari sabtu, pukul sembilan nanti ada pertemuan antara Kadin Bandung dan Kadin Korea di Hotel Panghegar.

Dan kemudian bergegas meluncur ke lokasi. Acara berlangsung meriah, seperti biasa kucatat semua teringat. Kuperhatikan satu-persatu wajah wartawan, syukur tidak ada yang kenal. Ketika acara selesai staf Humas mengumpulkan wartawan untuk diselipi amplop. Sampai giliranku, entah angin apa-apa, tiba-tiba aku merasa berdosa menerima amplop. Ya Tuhan apa yang terjadi. Jantungku berjompak, iramanya bagai lagu gerbong lokomotif kereta. Aku ke kamar mandi, meraup muka dan menenangkan diri. Kulihat isi amplop seratus ribu rupiah. Tidak! Cukup-cukup sampai di sini. Amplop dan berikut isinya kukembalikan kepada staf Humas yang keheranan. Cepat-cepat kutinggalkan hotel Panghegar. Aku berjalan ke arah Cikapundung tempat penjualan buku dan majalah loak. Biasanya kalau pikiran sedang kalut melihat-lihat dan membaca buku, hati menjadi tenang kembali. Kali ini tidak, kegundahan dan rasa bersalah tetap mengikuti. Salah kepada siapa aku juga tidak paham.

Ketika tengah khusuk mencari bacaan yang sesuai dengan kekuatan pikiran. Deru suara azhan zuhur dari masjid raya bertalu di kalbu. Aku terpanggil oleh seruan Tuhan yang Maha Sempurna. Kalaupun tidak shalat, duduk saja di dalam masjid, tenangkan diri. Kemudian kumelangkah, anehnya, jalan menuju masjid persis seperti dalam mimpi. Ini isyarat, pasti ada petunjuk kepada jalan yang lurus. Kemudian ketika aku sampai di masjid. Aku mendengar orang-orang ngedumel. Mengomel soal WC masjid yang dikomersialisasikan. Kebiasaan orang sebelum wudhu biasanya buang air kecil. Hebatnya lagi meski WC itu berada di bawah masjid tetapi tertulis WC umum yang nota bene harus bayar gopek. Terang saja aku keberatan bukan karena harus membayar tetapi citra masjid rusak gara-gara kamar mandi.

Dan kurasakan tawar air wudhu menjadi asin oleh baluran air mata. Berapa lama aku meninggalkan Engkau. Jikalau manusia lupa pada Tuhan ia akan lupa kepada diri sendiri. Saat tubuh ini berdiri mengangkat takbir, air mata tumpah. Surat Al-Fatihah kubaca meraba-raba, mengingat-ngingat kembali, ternyata aku telah lupa. Rakaat demi rakaat terasa berat.

Setelah selesai shalat. Doaku masih doa yang dulu: Semoga tidak dilemahkan oleh keadaan. Firman Tuhan mengatakan di dalam kelemahan kasih-Ku nyata. Aku masih melamun tentang kejadian tadi. Batin adem berada di Rumah Tuhan. Sesuatu telah terjadi. Aku berhenti jadi wartawan gadungan. Hidup musti kembali fitri.

§§§

Sejak masjid Agung Bandung direnovasi dan namanya diganti menjadi masjid Raya Jawa Barat. Orang-orang dari pelosok penjuru berdatangan. Maksud dan tujuan berbeda-beda. Dan bukan rahasia umum kalau nol kilometer dimulai dari alun-alun kota. Di Bandung tiap 60 km terdapat satu kota administratif. Patokan itu diambil dari kekuatan sado, dokar, delman, bendi dan kereta kuda yang hanya sanggup berjalan sejauh 60 km, selebihnya kuda mesti beristrirahat.

Dari ketinggian dua menara masjid arah utara dan selatan siapapun dapat melihat kota kesayangan Priangan dengan menggunakan teropong. Asalkan rela merogoh kocek tiga ribu perak. Masjid yang baru dirancang diharapkan sebagai tempat ibadah sekaligus wisata spiritual. Aku sendiri belum pernah naik ke tower itu. Bukan karena takut ketinggian yang entah berapa kaki atau kuatir lift macet. Dan aku berpikir mengapa menara tinggi dibuat kembar? WTC 911, Petronas, bahkan dalam film Lord of The Rings dalam judul Two Towers. Apakah ada unsur filosofi?

Pelataran masjid dipenuhi pengemis yang berjajar menunggu rezeki. Lubang selokan dipenuhi sampah rokok, plastik dan sendal. Tukang asongan dan pedagang lain berseliweran. Aku ingat cerita lucu. Dahulu di taman alun-alun banyak perempuan pekerja seks, kata mereka seks bisa dibeli tetapi cinta tidak. Sebelumnya ada pendekatan persuasif dari elemen ormas Islam. Santri-santri membujuk, ingin membimbing kepada jalan yang benar. Tetapi, si PSK malah meminta santri-santri itu jadi suaminya, asal semua di tanggung, ia akan berhenti jadi pelacur. Berhubung pendekatan persuasif tidak mempan. Suatu malam ada penggrebekan dengan cara sedikit kasar, santri-santri ingin mengusir perbuatan maksiat, pelacur-pelacur tak mau kalah, ia angkat roknya dan seketika semua jadi lain. Si santri menjerit Astagfirullah, astagfirullah, seolah-olah menolak wajah Tuhan yang terdapat di balik celana dalam dan kutang perempuan.

            Dari kolam air yang berada di tengah penghubung antara bangunan masjid baru dan lama. Kulihat tiga pemuda tengah berbincang. Itu biasa, tapi yang mencurigakan mereka mengeluarkan bungkus rongkos Mild putih. Sebenci-bencinya orang kepada Tuhan dan agama. Pasti punya rasa hormat terhadap rumah Tuhan. Jadi tidak mungkin tiga pemuda itu berkeinginan merokok di dalam masjid. Kecuali, bulan Ramadhan ketika sedang berbuka dan saur bersama. Pikiranku langsung mengatakan jangan-jangan Narkoba. Siapa tahu sedang transaksi. Ya-ya aku ingin menguak lebih banyak. Wartawan adalah anjing penjaga. Dengan mengendus, hidung mereka telah melihat keadaan sebelum mata dan langkah sampai di tempat kejadian. Wartawan adalah domba. Ia disayang penggembala. Kalau benar ada transaksi narkoba kelas teri di dalam masjid. Ini sangat membahayakan. Mungkin mereka memilih masjid karena jauh lebih aman dan jarang orang yang curiga. Akhirnya terbukti peredaran Narkoba belum tuntas diberantas. Bandung cemang-cemong oleh perbuatan segelintir orang.

§§§

Pada kondisi-kondisi tertentu Bandung membuatku betah. September nanti genap sepuluh tahun aku di kota ini. Siapa tak kenal Bandung yang memiliki keterikatan sejarah dengan bangsa-bangsa Eropa. Dulu-dulu noni-noni dan priyayi asyik berlibur bahkan bintang tenar Charlie Chaplin pernah dua kali mengunjungi Priangan. Siapa yang pernah ke Braga akan merasakan sesuatu yang artistik. Braga artinya ngibar raga. Mempertontonkan gaya atau mode. Ada yang bilang asal kata Bandung dari Bandong, Bandoeng dan Bandungan.

            Aku mencintai kota ini seperti aku mencintai diriku. Ya itu dulu, lain dulu lain sekarang, kini kota Bandung dirancang menjadi kota metropolitan berwawasan lingkungan, mungkin suatu hari nanti jadi kosmopolitan. Demi menjaga kesimbangan seribu pohon ditanam supaya menjadi hutan kota. Fly Over dipancang, Mall dan pusat grosir dibangun tanpa memikirkan kondisi pedagang kecil. Jalan tol segera dibuka. Nantinya dari Bandung ke Jakarta memakan waktu tempuh dua jam. Waduh, pasti macet nauzubillah. Orang Jakarta yang kaya raya akan membeli dan mendirikan rumah di pinggiran kota Bandung. Sementara mereka tetap bekerja di Jakarta. Jadi ketika dulunya Bandung adalah pusat kota yang memiliki kota satelit. Kini Bandung menjadi kota satelit keempat bagi Jakarta Raya setelah sebelumnya Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) mungkin sebentar lagi menyusul Banten dan Sukabumi.

Walaupun pembangunan terus digalakkan. Pemerintah kota tidak mengizinkan bangunan tinggi berdiri karena menghalangi pandangan langsung ke gunung Tangkuban Perahu. Perubahan lainnya rute lalu lintas berobah, supir-supir demo, mogok, karena perubahan jalur dinilai merugikan.

§§§

Godaan untuk kembali menggeluti profesi wartawan gadungan datang lagi. Kupikir orang yang tidak bekerja, tidak berpenghasilan. Jalan apapun akan ditempuh selagi masih bisa. Kubatalkan niat, tidak boleh aku mengulangi perbuatan haram. Toh aku sudah merasakan uang dari hasil jerih payah menjadi wartawan amplop tidak sampai kemana-mana. Untung cicilan hutang kepada kawan dapat terbayar.

Setelah kuucapkan sayonara pada profesi wartawan gadungan. Otomatis aku tidak punya kegiatan. Mau mencuri tidak punya nyali. Mau merampok takut megang golok. Lha mau bagaimana lagi hidup sudah babak belur. Dan kuputuskan ke rumah seorang sahabat perempuan bermaksud menghutang. Seperti biasa Cik menyambutku senang. Karena aku dan dia dulunya sama-sama punya hati. Setelah menanyakan kabar dan basa-basi lainnya. Aku langsung kepada inti persoalan.

            “Cik kau punya uang dingin?”

            “Uang panas ada.”

            “Aku serius, maksudku pinjam uang yang kira-kira bisa kuganti dua bulan mendatang.”

            “Berapa perlunya?”

            “Tidak banyak, dua ratus ribu.”

            “Buat apa?”

“Buat beli beras satu karung. Mungkin dalam sebulan aku akan makan nasi dicampur garam.”

“Jangan begitu, nanti kejadian beneran lho.”

“Sudah pernah terjadi.”

“Kalau ada apa-apa Farid kesini saja.”

“Aku malu pada kamu.”

“Kenapa musti malu.”

“Semua orang baik kepadaku dan aku belum dapat menggantikan itu. Teman-teman sudah bekerja sementara aku pengangguran.”

“Bukannya selama ini kamu bekerja.”

“Sudah berhenti.”

“Kemarin memang kerja apa?”

“Jadi wartawan.”

“Oh ya.”

Tadinya ingin sekali aku bercerita kepada Cik tentang profesi jadi wartawan gadungan. Tapi, cepat-cepat kutahan. Biarlah rahasia ini kusimpan. Walau aku kenal Cik orangnya baik dan tidak ambil pusing.

“Cik, kau masih pacaran dengan Bobby?” Aku menggoda Cik.

“Sudah lama putus.”

“Jadi sekarang sendiri.”

“Ya begitulah.”

“Sekarang kamu kerja dimana Cik?”

“Di hotel Panghegar sebagai Customer Service.”

“Panghegar?”

“Ya, memang kenapa?”

“Berarti kamu pernah melihat aku.”

“Maksudnya bagaimana? Melihat kamu di Panghegar, kapan dan sedang apa di Panghegar.”

“Oh tidak-tidak, tidak apa-apa.” Ya Tuhan hampir saja keceplosan.

“Sekali-kali juga tidak.”

“Sebentar aku ingat-ingat. Rasa-rasanya aku pernah melihat kamu dari jauh. Dulu rambutmu gondrong dan kacamata selalu kau taruh di dahi. Saat itu kupikir orang lain karena wajahmu hitam, kusut, seperti orang belum mandi.”

“Ya-ya tidak salah lagi itu aku.”

“Sedang ngapain.”

“Hmm, mmm sedang menghadiri seminar.”

“O.”  Cik hanya menjawab dengan “O” suatu ungkapan yang mengandung banyak arti.

“Farid, apa kamu besok punya waktu?”

“24 Jam siap sedia, pasti minta antar ke rumah nenek yang di Cimahi ya?.”

“Lho kok kamu tahu.” Cik menawariku rokok. Aku menolak karena memang sudah lama berhenti merokok. Ia pernah ngomong kalau perempuan yang merokok tidak semua bejat. Rokok bukan simbol kebejatan seorang perempuan.

“Cik, dulu kamu cerita, pernah kesal sama Bobby gara-gara tidak mau nganterin ke rumah nenek. Padahal minimal sebulan sekali kamu musti melihat nenek. Dan kamu bilang nenek sering menanyakanku.”

“Memang, habis kamu orangnya aneh. Bicaranya ruh, jiwa, alam dan benda-benda mistik. Pantes cocok dengan nenekku.” Aku tahu neneknya Cik punya kekuatan supranatural ketika kukatakan ingin mati muda. Beliau menjawab di alam kubur manusia tidak punya pilihan. Dunia ini adalah sorga, kalau aku mati muda juga tidak akan berpengaruh apa-apa bagi peredaran bumi, sudah! pelajari inti diri dan mulailah jujur. Aku ingat betul kata-kata itu sampai sekarang.

“Farid?”

“Ya.”

“Kamu sedang melamun apa, serius banget.”

“Aku ingat nenek.”

“Kalau bisa besok kamu bawa motor. Aku ingin bawa singkong. Nanti kita buat kolak.”

“Oke.”

Walau Cik kerja di hotel, pekerjaan masak-memasak, goreng-menggoreng sudah biasa ia lakukan. Entah kenapa terbersit aku ingin melamar Cik. Karena orang tua Cik sudah meninggal. Ya sebaiknya nanti kusampaikan pada nenek dan kemudian kepada Cik sendiri.

§§§

Sejak itu aku sering ke rumah Cik. Menjemput dan mengantarnya pulang dan pergi kerja. Cik sangat berterima kasih. Karena bisa menghemat ongkos. Sebagai gantinya ia sering mentraktirku makan. Waktu itu kami belum pacaran. Masih menjadi teman baik. Ketika kuutarakan maksudku ingin menikahinya. Ia malah tersenyum lebar dan setengah bergurau.

“Ah Farid, aku ini bukan gadis perawan lagi.”

“Sama, aku juga tidak perjaka tulen.”

Kami berdua tersenyum dan saling menatap. Aku tanya sekali lagi soal kesediaan menjadi istri. Ia menjawab dengan nada lembut.

“Aku mau dan bersedia tapi dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Uang melamar musti jerih payah kamu sendiri. Tidak boleh pinjam apalagi minta pada orang tua. Dan aku tidak minta pernikahan kita dirayakan besar-besaran. Karena aku sadar siapa kita.”

“Baik, akan aku sanggupi.”

“Dan untuk sementara tidak usah bertemu dulu. Mungkin sebulan ini.”

Aku merasa aneh ketika Cik melarang aku untuk bertemu dengannya.

“Oke.”

Masing-masing dari kami berpikir sedikit dan menguatkan hati supaya menepi apa yang diingini. Aku kelabakan, jangankan mencari uang buat melamar anak orang. Kebutuhan primer makan sehari-hari pontang panting. Hutang sana-sini, jual buku, jual poster, tape digadai, HP sudah dijual, aku tidak punya apa-apa. Pernah dua hari aku tidak makan. Badan gemetar dingin. Ya Tuhan hartaku tinggal harapan. Mau kembali jadi wartawan gadungan jiwa memekik, tidak menyetujui. Aku nyaris ambruk, diterpa penyakit. Ya sudah Bismillah saja, sim-salabim. Dua minggu berturut-turut siang malam kadang tanpa henti aku paksakan menulis satu cerpen tentang “Narkoba di masjid Raya” dan satu artikel tentang “Pelacuran Dimulai Dari Rumah”. Sumber data berdasarkan surat kabar, majalah dan kolaborasi imajinasi dengan istilah ilmiah, kugunakan rumus guthak-gathuk, berusaha mencari-cari kecocokan supaya ada hubungan satu sama lain. Gaya tulisan kubuat sedemikian santun, memikat dan provokatif dengan sisipan bahasa Inggris dan Jerman. Dan seminggu kemudian aku dihubungi redaksi. Mereka minta memintaku menajamkan konsep memang benar ada transaksi Narkoba di Masjid Raya. Aku jawab pokoknya beres. Tiga hari kemudian kuserahkan cerpen revisian. Hatiku gembira mereka janji akan memuat tulisanku. Mungkin memang rezeki atau karena mutu. Cerpen dan artikelku dimuat. Honornya lumayan, di atas satu juta di bawah dua juta. Aku nekat beli sepasang cincin kawin yang berat gramnya sesuai ukuran jari.

Sekarang aku baru paham isi mimpi berdiri di tepi jurang menaiki bukit dan melihat sekawanan kerbau tanpa penggembala kemudian menuruni setapak jalan menuju masjid. Jurang itu diartikan sesuatu yang tidak baik berlangsung di dalam masjid yaitu transaksi Narkoba dan ini nyata. Sementara sekawanan kerbau tanpa penggembala adalah keputusan ingin menikahi Cik. Dan sebulan telah lewat. Aku ke rumah Cik, tapi ia tidak ada, sudah pindah. Aku ke rumah neneknya yang di Cimahi ternyata ia sudah menunggu dengan tangan terbuka. []

Comments