“Akar Pahit” Paku Bumi Rumah Panggung

Sumber gambar: Internet
Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,
 
Rumah panggung pada mulanya bukan diperuntukkan untuk manusia sebagai tempat tinggal. Melainkan difungsikan sebagai lumbung pangan [logistik area]. Oleh karena, desakan waktu dan perubahan pola hidup dari berpindah-pindah menjadi menetap. Dari berburu menjadi berladang. Maka, rumah panggung beralih peran dari “lumbung” menjadi “panggung.” 

Sejenak kita “terbang” untuk melihat tempat tinggal manusia di segala penjuru. Manusia bisa hidup di mana saja. Di hutan rimba berselimut belukar dan akar-akar rotan. Di tepi-tepi sungai. Di ruam-ruam lokan. Di atas batu dan pasir. Di gunung dan jurang tebing. Di rawa-rawa tanah berlumpur. Di  tempat-tempat tinggi di atas pohon. Di gua-gua bawah air. Di lorong-lorong terowongan dalam tanah. Di gorong-gorong kotor. Bahkan di tempat terbuka sekalipun yang bersemboyan “langitku adalah atap rumahku.” Dahulu kala, manusia memang bisa hidup terbuka bersama alam bebas. Sekarang bukanlah seperti dahulu. Seburuk-buruknya tempat tinggal manusia tentu sudah tidak di tempat terbuka lagi.  

Di saat yang bersamaan manusia memerlukan tempat untuk menyimpan perbekalan, maka dibuatlah “lumbung” di atas permukaan tanah [bumi]. Tujuannya untuk menjauhkan dari petaka penyakit dan kerusakan bahan makanan yang ditimbulkan oleh hama, cuaca, dan gangguan hewan liar. Jadi, jika ada teori arsitektur yang menyebutkan, rumah panggung dibangun sebagai antisipasi gempa dan banjir. Boleh-boleh saja.

Tidak Ada Titik “Nyaman” Dalam Sejarah
 
Alasan pertama dan yang utama sekali didirikan rumah panggung adalah untuk “lumbung pangan.” Lantas, jika manusia tau “rumah lumbung” bisa dijadikan tempat tinggal. Mengapa manusia masih harus berpindah-pindah dan tidak memilih untuk menetap. Pada masa itu, keadaannya memang demikian. Manusia mencari tanah yang subur, hutan, pohon, sumber air. Lalu mendirikan “rumah lumbung” untuk menyimpan perbekalan. “Rumah lumbung” dibuat dengan alasan mudah untuk dibawa pindah dan bisa dibongkar pasang sewaktu-waktu. 

Kemudian, mengapa manusia tidak membuat rumah untuk berteduh. Karena bisa hidup di mana saja, bersatu dengan Semesta di alam bebas. Yang tidak bebas dan harus selalu aman dan selamat adalah bekal makanan [logistik]. Dari sinilah permulaan cikal-bakal didirikan rumah panggung yang berasal dari “rumah lumbung.”

Mengapa penjelasan “rumah lumbung” menjadi “rumah panggung” tidak pernah ada literaturnya. Inilah yang disebut “akar pahit” dalam pohon-pohon sejarah [sajjaratun-pohon], sejarah selalu ada yang terselubung. Dan Anda pun jangan sekali-kali hanya mengandalkan data online internet. Sebab, tidak semua hal ada di internet, terkecuali sudah ada yang mempostingnya [publikasi secara online]. Kalau Anda cari di internet, paling-paling keterangan yang didapat dari alasan rumah panggung didirikan untuk antisipasi hewan liar, banjir, dan gempa bumi. 

Suatu masa ketika di Rantau Panjang Peureulak-Aceh Timur sekitar tahun 1970-an, penulis melihat langsung “rumah lumbung” yang akhirnya dialih-fungsikan menjadi “rumah panggung.” Saat penulis menanyakan kepada orangtua yang saat itu menjadi kepala Dusun Darussalam, ternyata konsep ini adalah konsep zaman. Jadi, sudah ada sejak zaman pra-sejarah. 

Apakah keterangan dari orangtua kita dapat dipercaya? Sekalipun beliau misalnya bukan ahli sejarah. Bisa dan boleh saja! Dalam pepatah Melayu ada yang disebut “tutur diatur leluhur.” Jadi, sudah diceritakan secara lisan, lagi dan lagi, sampai turun-temurun akhirnya menjadi mitos dan melegenda yang hidup [the living legend]. 

Soal kebenaran sejarah itu relatif, sesuai perspektif masing-masing. Karena kita tau, tidak ada ahli sejarah yang benar-benar ahli, yang ada adalah pengarang-penulis buku sejarah. Ingat, jika dua ahli sejarah berkumpul, maka akan ada empat pendapat, begitu seterusnya. Kendati demikian, sejarah sekurang-kurangnya dapat dikaji melalui 5 prinsip dasar yakni: 
1. Longitudinal Method, menemukan sebab-akibat, latar belakang dan dampaknya sesudah peristiwa terjadi;
2. Cross Sectional Method, saat berlangsung;
3. Ex-post Facto method, fokus pada peristiwa tidak pada dampak;
4. Concomitance Method, mencari kesamaan peristiwa sejarah;
5. Difference Method, perbedaan objek yang diteliti.
Penulis dalam hal ini menggunakan Concomitance Method, mencari kesamaan peristiwa sejarah dari “Rumah Panggung.”

Rumah Panggung Antara Fungsi dan Asal-Usul
Perlu sama-sama kita renungi bahwa model rumah panggung [a stilt house] bukan milik suatu kaum. Maksudnya, jangan ada klaim bahwa rumah panggung adalah milik atau berasal dari sejarah suku tertentu. Tidak! Kalau orang Melayu mau mengklaim silakan saja. Penulis tidak bisa menyalahkan. Sebab, kita tau sejarah Melayu kala itu sudah mencapai peradaban yang maju dan menyebar ke seluruh dunia. Bukankah arti Melayu adalah “perhimpunan bangsa-bangsa.” Jadi, di dalam rumpun Melayu terdapat suku, bangsa, budaya apa pun dan dari manapun [sinkretik]. 

Jadi, rumah panggung ada di semua negara, di seluruh dunia. Di Indonesia saja, rumah panggung ada di semua provinsi. Ini artinya rumah panggung secara desain adalah universal, kecuali untuk fungsi-fungsi tertentu seperti rumah panggung yang dibangun di atas pasir, air, tanah, dan batu. Pasti tiap tempat berbeda-beda sesuai kontur geografi wilayahnya. Rumah panggung dibuat dari bambu atau kayu kedap air yang diperkuat dengan papan dek dan kadang-kadang menggunakan beton.

Misalkan, struktur rumah panggung para nelayan berdiri dan dibangun di atas air dan pasir. Kadang-kadang rumah panggung disebut “rumah tumpukan” yang langsung menghadap ke air atau ke garis pantai. Tingginya kira-kira 12 kaki [3,5 - 4 meter] dari tanah untuk menjaga kemungkinan air pasang. 

Konstruksi rumah panggung yang dibangun di atas tanah atau air, tidak menggunakan batu atau puing-puing logam. Lalu bagaimana membuat fondasinya? Jika menggali lubang fondasi tidak mungkin, karena ada air, maka tiang pancang didirikan ketika air sedang surut. Kemudian meletakkan papan dek di atas untuk menciptakan dukungan-sokongan yang kokoh. Dengan demikian basis ini membentuk "panggung."

Rumah panggung yang dibangun di atas tanah digunakan untuk perlindungan dari banjir,  mencegah hama, tikus, kutu, lipan, hewan liar. Ruang bawah rumah dapat digunakan untuk penyimpanan. Sedangkan rumah panggung yang berdiri di atas air seperti rumah nelayan di pesisir, bahkan bisa memancing ikan dari teras depan.

Fungsi lain dari rumah panggung-bangunan berkaki yang tidak menyentuh tanah adalah untuk memelihara ternak, dapur, kamar mandi dan tempat menaruh sejumlah barang. Kondisi sekarang berbeda. Jika ada yang membangun rumah panggung. Bagian bawah bisa berfungsi sebagai garasi. Konsep rumah panggung dapat diterapkan pada desain rumah modern. Selain itu, dengan rumah panggung kita sebenarnya sedang “menghormati bumi.” Tanah tidak rusak oleh fondasi bangunan. Tanah masih bisa subur ditanami tumbuhan dan renik-renik bisa hidup leluasa untuk menggemburkan tanah. 

Rumah panggung dahulu untuk menyimpan beras, hasil-hasil pertanian. Bisa pula dipakai tempat penyimpanan jenazah sebelum dilakukan upacara kematian [rambu solok]. Di Jawa, rumah panggung untuk rumah merpati yang disebut Pagupon [pigeon-merpati].
Sejarah orang Jawa tidak mengenal rumah panggung karena saat itu geografis tanah Jawa subur. Konsep pertanian sudah terjadi.  Penduduknya sudah banyak yang menetap, tidak berpindah-pindah. Rumah panggung mulanya adalah rumah yang bisa dipindah sewaktu-waktu. Karena memang fungsi awalnya adalah rumah lumbung. 

Rumah panggung mewakili semangat keterbukaan seperti di Enrekang, Sulawesi Selatan. Hal ini terlihat dari bagian dalam rumah yang tidak memiliki sekat-sekat.  Tentu kurang cocok bagi orang yang aktifitasnya memerlukan privasi. Di Enrekang sendiri rumah panggung besar diisi lebih dari satu keluarga. 

Sementara di lain hal, kalau kita cermati ternyata tujuan dibuatnya rumah panggung untuk mengantisipasi datangnya musuh. Musuh dalam hal ini tidak bisa langsung masuk ke area [dalam rumah]. Penghuni rumah pun dengan cepat dapat melihat keadaan sekisar karena posisi rumah di atas jalan-halaman.

Rumah panggung disebut juga rumah tak berdapur. Karena alasan keamanan tidak ada dapur di dalam rumah panggung. Dapurnya harus dibawah, bukan di atas rumah. Api tidak boleh di atas kayu dan bumi [tanah].

Konstruksi Rumah Panggung Modern
Rumah panggung pada umumnya menggunakan bahan kayu ulin, belian, bambu. Ketahanannya tidak diragukan lagi, bisa sampai ratusan tahun. Ada beberapa rumah panggung yang tiang-tiang penyangga tidak ditanam di dalam tanah melainkan diletakkan di atas batu kali [batu besar]. 

Kalau kita lihat kembali, penerapan rumah panggung bisa diterapkan pada konsep rumah modern yang berbahan besi hollow sebagai kolom dan balok utama dengan bentangan maksimal 5 m. Paling baik sambungan dengan baut agar konstruksi tidak kaku. Baut membuat elastis dan lentur sehingga jika terjadi gempa, bangunan tidak akan roboh dan mengikuti arah gerakan tanah. Khusus untuk atapnya bisa digunakan struktur atap baja ringan berlapis kalsiboard.

Kemudian pada struktur bawah. Fondasi umpak dari beton bertulang tiap kolom. Ingat, tidak perlu sloof karena rumah panggung tidak memakai dinding batu bata sehingga beban bangunan lebih ringan. Sirkulasi udara lebih segar yang mengalir dari kolong rumah panggung. Jangan sampai bagaian kolong rumah panggung kotor. Misalkan, penghuni rumahnya jorok. Membuang sampah puntung rokok melalui celah-celah lantai rumah panggung. Ingat, bagian kolong rumah panggung sama pentingnya dengan bagian atas rumah [ruang utama].

Pelbagai Sebutan Rumah Panggung
Rumah panggung masih sering kita temukan di seluruh dunia. Berikut ini adalah pelbagai sebutan rumah panggung, di antaranya:
•    Di Singapura disebut  "kelong"
•    Di Filipina disebut The "Nipa pondok"
•    Di Amerika Selatan disebut "Palafito" ditemukan di lembah-lembah sungai tropis. Rumah panggung juga popular di Amerika Serikat, terutama di sepanjang Gulf Coast, di daerah yang ancaman badainya parah.
•    Di Hongkong disebut Pang uk.
•    Di Indonesia, rumah panggung dikategorikan masuk ke dalam rumah adat dan memiliki kemiripan dalam konstruksi kaki-fondasi, bukan arsitektur bangunan, termasuk perbedaan dalam aladin [atap lantai dinding]. Berdasarkan literatur online dapat penulis simpulkan rumah-rumah panggung yang ada di Indonesia, antara lain:
    Rumoh Aceh
    Rumah Gadang Minangkabau
    Rumah Melayu Selaso Riau
    Rumah Nuwo Lampung
    Rumah Joglo Jawa
    Rumah Loka Samawa NTB
    Rumah Betang Kalimantan Tengah
    Rumah Banjar Kalimantan Selatan
    Rumah Lamin Kalimantan Timur
    Rumah Tongkonan Sulawesi Selatan
    Rumah Laikas Sulawesi Tenggara
    Rumah Souraja Sulawesi Tengah
    Rumah Bolaang Mongondow Sulawesi Utara
    Rumah Baileo Ambon
    Rumah Wale Minahasa
    Rumah Dulohupa Gorontalo
    Rumah Balai Batak Toba
    Rumah Lancang Lotik Kampar Riau
    Rumah Panggung Jambi
    Rumah Limas Sumatera Selatan
    Rumah Bubungan Lima Bengkulu
    Rumah Karangpuang Makassar
    Rumah Lee Iyawale Timor
    Rumah Saung Sunda
    Rumah Jineng Bali
    Rumah Beruga Lombok
   
Paku Bumi Rumah Panggung
Di antara rumah adat yang khas. Satu di antaranya adalah Rumah Panggung Minahasa yang memiliki 16 sampai 18 tiang penyangga. Rumah panggung Minahasa ini dihuni oleh sejumlah keluarga. Masing-masing keluarga memiliki pengelolaan-manajemen rumah tangga tersendiri. 

Rumah kayu Minahasa terdiri dari emperan [setup], ruang tamu [leloangan], ruang tengah [pores] serta kamar-kamar. Ruang paling depan ruang utama. Bagian belakang terdapat balai, berfungsi sebagai tempat menaruh  peralatan dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Rumah kayu di Minahasa tidak beratapkan genteng. Karena ada keyakinan bahwa tidak baik jika hidup di bawah-kolong bumi [genteng terbuat tanah-bumi].
Paku bumi [tiang fondasi-kaki rumah] tidak boleh ditanam melainkan diletakkan di atas batu. Hal ini menjaga unsur bahwa kayu tidak boleh langsung dibenam ke dalam tanah.
Mengapa saat ini rumah panggung sudah jarang? Bisa karena alasan tergerus roda industri. Atau juga karena pergeseran budaya dan semangat untuk menjaga hutan. Apalagi bahan baku untuk rumah panggung kayu-kayunya mahal dan perlu diameter besar.

Kalam Lain Rumah Panggung
Pengalaman langsung penulis dengan rumah panggung. Jika kita  berada di rumah panggung daerah pesisir. Kita bisa melihat ikan kecil berkumpul dan berteduh di kolong bawah rumah. Ikan perak lumba-lumba bermain di dekat tangga dan kawanan burung camar menukik dan menyelam di luar jendela.

Ini adalah kehidupan di mana angin laut dingin terus meniup. Di mana waktu menjadi tidak berarti. Pagi hari dan sore berjalan bersama menjadi satu hari yang panjang, malas.
Di sini, orang dapat berenang dalam waktu satu menit, hanya dengan menyelam dari teras depan. Atau berbaring di bangku di atas kursi geladak, menyesap minuman favorit.
"Rumah di atas air" memiliki semua kenyamanan seperti "rumah di atas tanah." Kita bisa menikmati menghabiskan waktu. Kita bisa melupakan telepon, melupakan televisi, internet. Kita bisa lupa tentang bisnis.

Kita bisa berjalan di atas pasir putir saat air dangkal surut. Pemandangan dan suara nyiur kelapa adalah surga. Kadang-kadang hanya ada suara perahu motor lewat atau pesawat terbang di udara. Musik yang sesungguhnya adalah kita bisa mendengar percikan air menggempur tiang rumah. Dan kita bisa menonton matahari terbit dan terbenam.
Sungguh suatu perasaan kesendirian yang kuat. Ini akhir dari sebuah cara hidup. Menyepi sunyi di rumah panggung.[]

www.setiadisejati.blogspot.com

Comments