Ekspedisi Rohani: Tanah Air Kita


Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

S
ebuah kitab tentang negeri dan rakyat Indonesia disusun oleh N.A. Douwes Dekker. Buku ini diterbitkan dalam dua bahasa, edisi Belanda (Land en Volk van IndonesiĆ«), dan edisi Indonesia (Tanah Air Kita). Pada edisi Indonesia dicetak oleh N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, Bandung’s Gravenhage [1941], kemudian disusul dengan cetakan kedua [1952], ada yang menyebutkan [1950]. Tebalnya 320 halaman, dipotret oleh 318 pemoto (tertera nama-nama di halaman belakang), dengan dimensi ukuran buku besar 22 x 31 cm. Dilengkapi ilustrasi foto-foto hitam dan putih dan peta. No. ISBN     SBSI80, berat buku 1.57, hard cover, dan terekam dalam 8 untaian bab:

·         Selayang pandang
·         Raksasa muda
·         Bisikan air menepi
·         Anggrek kattu’listiwa (ejaan sesuai buku asli)
·         Taman laut dan burung cenderawasih
·         Tapak kuda menggentar bumi, Gambang bernyanyi
·         Tachta para dewata
·         Ratna penjambung rangkaian zamrud

Kemudian, gambar sampul belakang buku Tanah Air Kita adalah burung Garuda Pancasila sebagai ikon Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila sampai detik ini adalah sumpah suci harga mati untuk NKRI [kredo final].
Seperti yang tertuang dalam kata pengantar, buku ini mulanya tiada memberi harapan untuk terbit lantaran kuatnya pertentangan, tarik-menarik ide, apa-apa saja yang perlu dimuat dan tidak perlu dimuat. Di samping itu, kekurangan arsip dan terbatasnya surat-menyurat. Hal ini, tentu saja seakan mendidihkan memori serupa soal tema buku Indonesia yang tetap saja kurang berhasil dalam merepresentasikan dan mempersembahkan wajah Indonesia [Tanah Air Kita] secara utuh. Entah karena besarnya wilayah Indonesia atau karena sebab-musabab yang lain, yang bukan saja meliputi ruang melainkan juga merengkuh waktu dari Timur, Tengah, sampai Barat Indonesia. Penyebutan WIB, WITA, WIT, pernah diusulkan agar diubah menjadi BBWI [bagian barat wilayah Indonesia, dan seterusnya]. 

Buku Tanah Air Kita dapat terbit karena dibantu oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya seperti Nn. B. Muhmud, S. Anda, J.Ph,  W.R. Caawoan, J.B. Hillen, Junus B. Datuk Radjoalan, Khouw Giok Tjien, H. B. Lapian, T. Raasan, Prof. Ir. Rooseno Soerjohadikusumo, H. Sitompul, Ir. M. Subiarto, T. Sugito, J.G. Soute, Dr. Sutrisno, Dr. R. Suwadji dan Dr. A.N. J. Thomassen, A Thuessink van der Hoop.   

Betul yang dikatakan N.A. Douwes Dekker, saat membolak-balik halaman demi halaman, shuhuf demi shuhuf [lembar], pembaca akan merasakan kesan hati betapa sebenarnya kita merindukan keindahan budaya dan alam Indonesia, persis seperti tempo doeloe. 

Ringkasan Isi Buku
·         Selayang pandang, zamrud khatulistiwa itulah julukan Indonesia. Rangkaian pulau besar dan kecil di seluruh nusantara. Langit biru seakan bersorak gembira sepanjang hari. Pemandangan bukit hijau, selendang rimba yang kemilau, jurang dan hutan. Sinar Hyang Surya tak jemu-jemu bermain, bercermin di permukaan air, irama bisikan angin, riak sungai, dan desir daun. Segala-gala tumbuh, pohon dan  rumput, semerbak semua. 

·         Raksasa muda, Sumatera raksasa muda yang kehebatannya jelas nampak di peta panjang 1750 km, luas 475.000 km persegi, dua kali lebih besar dari pulau yang paling besar di Eropa. Dari ujungnya jurusan Timur Laut ke ujungnya di sebelah Barat Daya membujur sebuah gunung dengan megahnya, Bukit Barisan dengan 93 pucuk gunung api.
·         Bisikan air menepi, Kalimantan bolehlah disebut suatu benua dengan daratan sendiri, seakan-akan ia merupakan pelakat besar yang ditempelkan di Khatulistiwa. Luas Kalimantan 750.000 km persegi, seluas Negara Chili atau 20 kali luas negeri Belanda. Pada umumnya yang lebih terkemuka di Kalimantan adalah dataran-dataran yang luas, berisi danau, rawa-rawa, dan hutan rimba.
·         Anggrek kattu’listiwa (ejaan sesuai buku asli), Empat senemanjung Sulawesi melingkupi tiga teluk besar: teluk Tomini Gorontalo, Teluk Tolo, dan Teluk Bone.
·         Taman laut dan burung cenderawasih, Orang Tionghoa zaman Tsang (abad ke-7) mengenal sebutan “Mi-li-ku.” Akan tetapi, yang dimaksudkan ialah burung kakaktua.
·         Tapak kuda menggentar bumi, Gambang bernyanyi, Di pulau-pulau negeri kuda, di sebelah Timur deretan pulau Sunda Kecil, dan di pulau Bali, yaitu tempat gambang pusaka lama menyanyikan nadanya yang redup.
·         Tachta para dewata, iringan gamelan Djawa-kuno yang masih berbisik-bisik dan berderum-derum tentang para dewata, ksatria, bidadari, raksasa masih dapat kita dengarkan sampai sekarang.   
·         Ratna penjambung rangkaian zamrud, Jika Indonesia menyandang gelar rangkaian zamrud, kiranya Jawa Barat menjadi pusatnya. Berlainan bentuk pegunungan Jawa-Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak-puncak gunung lebih tinggi, dan kerap kali berdiam diri di tengah-tengah dataran lebar. Djawa Barat memberi hasil yang hebat seperti teh.

Resensi ini bukan untuk mengkritisi atau mengkomparasi Indonesia lampau dengan kekinian. Seolah menekankan bahwa Indonesia dulu itu indah, Indonesia sekarang itu buruk rupa. Bukan itu yang ingin dihadirkan.
Buku Tanah Air Kita serupa dengan album foto yang diberi caption [keterangan foto]. Nilai kategorinya adalah jurnalisme foto. Di pasar-pasar buku-buku langka, Tanah Air Kita masih diminati. Harganya variatif berkisar mulai Rp 100.000,-, sedangkan di http://www.ebay.co.uk dibandrol dengan harga 120 dolar.
Akhirnya, sebagaimana yang diutarakan oleh N.A. Douwes Dekker, “buku Tanah Air Kita, bukan kitab bagi ahli-ilmu-pengetahuan, bukan kitab alat pelajaran yang biasa dipakai. Bukan pula reportase bergambar yang bersifat politik. Melainkan kesan hati dan kitab insani.”[]











Comments