Bertikam Lidah


Oleh: Setiadi R. Saleh

Setiap hari aku ciumi pipimu, wajahmu, keningmu, tanganmu, kakimu, hidungmu, matamu dan seluruh yang sanggup aku rengkuh dengan pengendusanku. Kurasa, hal yang terbaik dalam hidupku adalah mengenal kamu.  Kurasa ini bukan cinta, tetapi lebih kuat dari itu. Suatu rasa yang lebih sunyi dari air mata dan lebih pedih dari derita. Kalau saja perpisahan ini menguatkanku. Aku lebih memilih berpisah dan bukan untuk berakhir atau memisahkan diri.

            Di tengah-tengah acara sungkeman bersama keluarga. Aku menerima pesan singkat dari pacar lama yang telah menorehkan cinta sebesar dunia. Sebenarnya aku tak ingin di hari yang fitrah, amarah mengantarkanku menuju gerbang kehancuran. Kutahan diri dengan menarik nafas pendek-pendek. Sesekali kutarik senyum dari bibirku yang tipis. Kubiarkan emosi lamat-lamat lumar di relung dada. Lalu kubalas pesan singkat dengan kata sewajarnya saja.
Insya Allah, tuhan membimbing kita.
Aku tak menghiraukan lagi apa yang kutulis. Sejenak aku lupa bahwa ada seseorang yang menantikanku, melebihi penantian orang-tua kepada anak. Tetapi, lebaran memberi suasana lain. Semua terasa seperti menyegarkan pikiran. Bencengkerama dengan keponakan, sepupu, dan saudara-saudara. Saling berbagi cerita, kisah, dan juga hadiah. Cerita tentang ruwetnya suasana mudik juga tak ketinggalan. Tetapi, yang paling asyik-mengasyikkan ketika bercerita tentang kenangan-kenangan indah, yang terasa begitu jauh. Masa lalu teramat jauh, sedang kematian begitu dekat.
Sambil makan kudapan ringan kami bersenda-gurau di teras rumah. Pertama-tama Nenek menanyakanku.
            “Sarah, kapan kamu menikah?” Pertanyaan ini lagi yang ditanyakan, sama seperti tahun kemarin. Pertanyaan yang sudah ditanyakan jutaan tahun lalu kepada setiap jiwa yang masih sendirian.
            “Iya Nek, sebentar lagi. Nenek adalah orang pertama yang akan aku kabari.” Aku berusaha menjawab dan meyakinkan Nenek.
            “Calon pendampingnya sudah ada?”
            “Ada Nek, seorang penulis.”
            “Seorang penulis?” Nenek mengangkat botol sirup Terong Belanda dan menuangkannya ke gelas. Alis matanya ke atas, seolah-olah ingin meyakinkan.
            “Hore…” Jawab Nenek. Akhirnya Kakekmu punya pelanjut cita-cita.” Terus-terang aku kaget, Nenek menjawab dengan spontan dan gembira. Kupikir aku bakal ditertawakan karena harus menikah dengan seorang penulis. Bukankah cucunya yang lain kalau ditanya jawabnya pasti sudah punya pasangan dengan pilot, tentara, orang bank, atau paling rendah PNS. Nenek kemudian cerita sedikit bahwa Kakekku ternyata dulunya juga cari makan dan penghidupan dari menulis. Ketika hendak kuteruskan kata-kataku. Saudara-saudara yang lain sudah bergabung denganku dan Nenek.
            “Apa Nek, Sarah mau nikah dengan penulis. Penulis apa, penulis skenario. Wah asyik tuh.” Sela Nadira.
            “Bukan-bukan, bukan penulis skenario tapi penulis buku. Tepatnya calon penulis besar.”
            Sarah dan Nenek tersenyum waktu aku bilang calon penulis besar. Aku sendiri sebenarnya sedang bermasalah dengan pasanganku. Entah benar, entah tidak. Kata orang-orang, semakin dekat dengan pernikahan, semakin digoda dengan perpisahan.
***
            Meski Hari Kemenangan Idul Fitri—telah kami rayakan bersama keluarga. Sebagian umat Muslim masih ada yang menjalankan rahasia sunnah setelah lebaran yakni pada hari keenam di bulan Syawal dengan merayakan lebaran ketupat. Di kampungku juga begitu. Tadinya aku berniat shaum, untuk menambal kebocoran puasa akibat halangan datang bulan sebagai perempuan. Tapi, karena tandang-bertandang ke rumah sanak famili masih terus berlangsung. Tentu saja, aku tidak enak hati apabila menolak makanan yang sudah disuguhi. Ya sudah, shaumnya kutahan dulu.
Hampir seharian aku mengunjungi keluarga-keluarga dan tetangga-tetangga, tepatnya yang dulu pernah jadi tetangga. Dari situ berkembang kisah-kisah keluarga. Aku hanya mendengarkan dan tidak ingin menimpal keluhan-keluhan yang dilontarkan keluargaku soal-soal kehidupan sehari-hari. Dalam hatiku, kenapa aku yang masih sendiri harus mendengarkan pernak-pernik kehidupan berumah tangga. Apakah orang yang sudah menikah harus digulung-gulung masalah. Akh! Apakah sebenarnya masalah, bukankah masalah sudah menjadi keakraban yang rapat.
            Tak terasa waktu liburan Idul Fitri sudah berakhir. Aku siap-siap untuk kembali ke Jakarta. Tiket pesawat sudah kukantongi. Mungkin pacarku akan menjemputku di Bandara Soekarno-Hatta. Mulailah tergambar di benakku, sketsa-sketsa pekerjaan yang harus kubenahi. Kenangan akan lebaran segera berlalu. Kesan dengan Nenek cukup menggembirakanku. Tapi, aku kecewa tahun ini tak bisa berjumpa ayah karena harus beliau masih harus bekerja di pertambangan minyak Sumatera Selatan.  Sedang ibuku sudah lama menghadap dipanggil Tuhan.
***
            Jakarta, 1 Oktober 2009 Maghrib, aku sampai dalam keadaan selamat di Bandara Soekarno Hatta. Setelah turun dari tangga pesawat. Televisi di ruang tunggu menyiarkan gempa yang terjadi hampir merata di seluruh Pulau Sumatera. Aku bergegas ke kamar kecil. Sedari tadi menahan diri karena sudah tanggung. Kurasa, satu hal yang tak berubah, dulu dan kini adalah WC bandara yang kumuh, jorok dan bau. Aku melihat ke telepon genggam. Bunyi bing, ada pesan singkat yang masuk.
            Kamu di mana?
Aku menjawab singkat.
            Sedang di restoran siap saji. Jemput aku.
Azan Maghrib berkumandang, mengalun di antara senja yang kering. Langit tenang dan tanah di halaman parkir bandara penuh debu. Teriakan sopir taksi dan tukang ojek silih bersahutan mencari penumpang. Dari kejauhan seseorang berjalan lambat. Langkahnya berat seakan-akan hati dan perasaannya dipenuhi amarah campur rindu. Dia adalah kekasihnya Sarah, namanya Muhsinin. Pasalnya sebelum lebaran mereka bertikai dan bertikam lidah, kemudian bermaaf-maafan di Hari Raya (meski hanya melalui telepon selular dan jaringan media sosial) dan kemudian bertikai lagi untuk sesuatu yang kadang tidak nyata. Muhsinin tak tahu berapa lagi hubungan mereka akan bertahan. Sementara Sarah juga demikian. Tapi, keduanya sama-sama menyadari bahwa bertengkar bukan untuk mencari-cari alasan agar hubungan keduanya berkesudahan.
Sepuluh menit Sarah menanti. Muhsinin datang tanpa senyum lebar. Ia hanya menahan rasa dan membuka percakapan.
“Kenapa baru sampai?”
“Dari Medan sore hari, aku sengaja ambil tiket pesawat sore lebih murah.”
“Kenapa tidak ambil penerbangan pagi.”
“Sudah tidak kebagian tiket. Kita mau naik apa, sudah pesan taksi?”
“Aku bawa mobil. Kamu udah makan?”
“Belum. Nanti aja kita cari cap-cay. Berhari-hari makan daging terus. Badanku rasanya tidak enak.”
“Oke.”
Meski saat ini sudah malam. Di pelataran parkir penuh sesak penumpang dan penjemput silih berseliweran. Seakan tidak ada lagi ruang untuk bernafas.  Sesampainya di dalam mobil. Aku tak kuasa menyandarkan bahuku. Aku penat tapi berusaha kuat karena aku tak ingin dicampakkan dan disesatkan oleh emosi dan perasaan.
Dan kemudian mobil melaju. Lampu-lampu jalan sinarnya berpendar. Bangunan-bangunan baru mulai dikerjakan kembali. Dari kaca mobil samar-samar di seberang jalan tol. Sebuah jalan tol baru penghubung bandara akan diresmikan dan ditargetkan rampung tahun 2010.  Aku tertidur dan berharap ketika aku terbangun keadaan sudah berubah. Aku tau Muhsinin sesekali melirik ke arahku. Sesekali mobil berjalan di arah yang minim lampu penerangan. Dan semua terasa tak merdu lagi. Mungkin ini hanya sementara, mungkin juga untuk selamanya.[]


 

Comments