Jerat –jeritan Halusinasi Di balik Getirnya Kenaikan BBM


Oleh: Setiadi R. Saleh

"Ya Allah di dalam masa yang sulit ini. Di dalam ketenangan yang beku dan tegang.Di dalam kejenuhan yang bisa meledak menjadi keedanan. Aku merasa ada muslihat yang tak jelas juntrungannya. Ya Allah aku bersujud kepada-Mu, lindungilah anak cucuku, lindungilah mereka dari kesabaran yang menjelma menjadi kelesuan, dari rasa tak berdaya yang kehilangan cita-cita. Ya Allah, demi ketegasan mengambil resiko, ada bangsa yang dimesinkan atau dizombikan, ada juga yang difosilkan atau diantikkan. Uang kertas menjadi topi bagi kepala yang berisi jerami. Reaktor nuklir menjadi tempat ibadah, dimana bersujud kepala-kepala hampa yang disumpal bantal tua. Kemakmuran lebih dihargai dari kesejahteraan dan kekuasaan menggantikan kebenaran.  (Cuplikan sajak W.S Rendra-Doa untuk anak cucu)

K
enaikan BBM suatu keniscayaan yang tak mampu ditangkis dan ditepis lagi. Dan bukan hal aneh, pro dan kontra pasti terjadi. Tokoh agama, ekonom, budayawan, seniman, dan tokoh-tokoh lain sebagainya berusaha membahas dari latar berbeda. Agamawan menyuruh sabar, ikhlas, tabah dan bertawakal sambil terus berusaha melawan kesulitan. Ekonom berpikir bagaimana menganulir kebijakan akumulatif yang menyebabkan kenaikan BBM dan varian kenaikan lainnya. Budayawan, seniman berusaha menangkap isyarat penderitaan dan mementaskan di atas panggung, dalam gedung atau di jalan, sama saja.

Kesedihan dan keluhan macam apa lagi yang perlu dirasakan? Seandainya keluhan bisa merubah nasib seseorang. Orang boleh mengeluh sepuas-puasnya. Sampai robek dia jantung. Tetapi, keluhan hanya berhenti pada catatan kemalangan, kemurungan, kenestapaan. Celakanya, kemiskinan dianggap biasa dan merupakan urusan Tuhan menolong produk-makhluk ciptaan-Nya. Ini keliru, picik dan abnormal.

Kenaikan BBM atau kenaikan lainnya, mau siapapun presidennya pasti akan terjadi. Kadang kita lupa dan ingin selalu kembali ke masa-masa lalu. Misalnya ketika era SBY menaikkan BBM orang ingin kembali ke zaman MSP (Megawati). Karena dianggap era itu harga BBMnya lebih murah. Begitu seterusnya dan ketika MSP menaikkan BBM orang ingin kembali ke zaman AW (Gus Dur). Lalu ingin kembali ke zaman Habibie, ke zaman Soeharto. Ada juga yang ingin kembali ke zaman Soekarno.

Sekarang waktunya menghentikan kekejian yang bertentangan akal sehat. Mulailah berpikir, bertindak menyelamatkan sesama insan manusia. Jangan sampai rakyat ataupun ummat yang alamatnya tak jelas itu harus memaki, mengumpat, mendoakan jalan kehancuran bagi pemimpinnya.

Bagi anggota dewan pusat dan  daerah. Gaji anggota dewan yang katanya belasan juta dan itu dianggap biasa. Bersediakah tidak tiap bulan perorangnya dipotong Rp. 50.000,- rupiah saja sebagai dana sumbangan/santunan bagi upaya penyelamatan ekonomi bangsa dan manusianya. Atau kita tidak usah lagi mengharap wakil rakyat berbuat banyak. Siapa saja, seluruh partikel, anak bangsa bisa bertindak mengelola bantuan. Jangan tunggu maut mengaum. Segeralah rubah ratapan menjadi tari-tarian.

Selain itu, sebaiknya tanya pada diri sendiri apakah kita benar-benar rela dan lapang jiwa. Membantu, menolong dan memberikan jalan keluar bagi saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Bersediakah kita menahan diri, menyisihkan sebagian harta dan berkomitmen terus sampai keadaan membaik. Bukankah, makanan yang cukup bagi satu orang sebenarnya cukup buat dua orang. Makanan yang cukup buat dua orang cukup buat empat orang. Terkadang manusia enggan dan sangat tidak suka berbagi apapun. Di mata Tuhan, orang miskin dan orang kaya itu sama. Perbedaannya terletak pada derajat ketaqwaan. Kaya bukan berarti disayang Tuhan. Miskin bukan berarti dibenci Tuhan.

Entahlah, kata pepatah, isi nurani manusia semuanya sama. Kenyataannya tidak toh! everybodys wacthing, semua orang hanya menonton dan menonton, tidak menolong. Secara langsung tidak langsung di antara kita menyebabkan dan mempercepat datangnya kiamat kecil bagi sebagian orang. Entahlah, manusia telah menjadi serigala bagi sesama!

Comments