Keajaiban Internet dan Ambivalensi Tenaga Pengajar

Oleh: Setiadi R. Saleh 

Kemunculan internet yang sudah mengubah struktur kebiasaan hidup manusia modern termasuk dalam pola belajar. Membuat tenaga pengajar harus berikhtiar dengan kemampuan yang terhebat agar menjadikan anak didiknya profesional. Sebab, internet melalui mesin pencari (search engine) semacam google atau yahoo dapat dengan mudah menjuruskan seseorang ke ruas-ruas informasi yang diinginkan. Belajar, bertanya, dan berinteraksi melalui mesin pencari tentu saja berbeda dengan belajar yang dibimbing langsung oleh tenaga pengajar (guru, dosen, tutor, mentor, profesor, dan lain sebagainya). Kalau tenaga pengajar tidak serius menanggapi perguliran zaman, diprediksi profesi pengajar tinggal menghitung bilangan.

Setidak-tidaknya ada empat spektrum ambivalensi profesi pengajar: 

Pertama, tenaga pengajar atau umum disebut guru merujuk kepada pendidik profesional, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik. Guru bukan lagi ikon yang serba tahu. Belajar melalui internet tinggal mengetikkan kata kunci (keyword) tertentu di mesin pencari (www.google.com dan sejenisnya). Kemudian mesin pencari akan menautkan kita kepada situs-situs yang sesuai kata kunci yang diinput. Jawaban bisa diperoleh sangat cepat. Seketika juga, jika kurang cocok dengan pemunculan data informasi. Kita bisa mencari jawaban tandingan atau jawaban pendukung. Betapa indah dan nikmatnya surfing (berlayar) di  jagat jaringan jembar (www). Sebab, kita selalu menemukan apa yang tidak kita cari. Tetapi, di kemudian hari dibutuhkan. Bagaimana kedudukan profesi pengajar di masa mendatang? Apakah masih relevan? Bagi sebagian orang, barangkali dibutuhkan, sebagian yang lain mungkin tidak. Sudah banyak hand-out, tutorial, dan buku manual. Bisa diunduh (didownload) dan diunggah (diupload). Ada jutaan byte—butir-butir partikel informasi tentang apa saja yang, apabila direntangkan jauhnya dari bumi ke bulan, bulan ke bumi. Internet tidak menginstruksikan membuat ini-itu. Malah, kita yang menyuruh mesin pencari untuk memuaskan dahaga pengetahuan kita. Bukankah pengajar-pengajar konvensional senangnya hanya menyuruh?;   

Kedua, sekolah, universitas atau tempat belajar adalah wadah menimba ilmu. Tetapi, bagaimana bisa tekun jika, tidak ada satu kesatuan jenjang dari bawah sampai yang paling tinggi. Apalagi di Indonesia, ganti menteri ganti kurikulum. Memang, pendidikan dinamis. Begitu pula kurikulum. Dasar-dasar filosofi perubahan kurikulum selalu menyejukkan hati; mengembangkan ini-itu, mengubah paradigma ini-itu, berorientasi pada pendekatan ini-itu, dan seterusnya. Kurikulum boleh berubah, buku-buku sekolah terus berganti, tetapi pola mengajar dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Hal ini lebih diperburuk lagi sebagian besar waktu para tenaga pengajar digunakan untuk mengajar (bekerja) di sekolah. Hanya sebagian kecil digunakan untuk mengembangkan diri melalui pendidikan atau pelatihan serta kegiatan profesional lainnya. (BASIS No. 07-08/2005). Tambahan lagi, institusi pendidikan adalah tempat bersosialisasi. Faktanya tidak selalu demikian. Banyak murid (siswa-mahasiswa) yang kehilangan sifat sosialnya, teralienasi dengan realitas lingkungan di sekitarnya. Di dunia maya, siapa bisa terhubung kepada siapa, membuat link komunitas-komunitas seperti di situs facebook, friendster, dan blog-blog (maaf) narcis lainnya. Tetapi, jangan disepelekan, solidaritas di dunia online juga bisa berdampak ke dunia offline. Karena itu, kejujuran juga penting di dunia online untuk menjalin silaturahim yang baik dan akrab;

Ketiga, isi data di internet yang porno memang ada, namun jumlahnya kecil dibanding hal-hal yang berguna. Hanya saja, situs porno sering diakses oleh para netter sehingga kelihatan banyak. Netcraft, perusahaan pemantau Internet mencatat ada macam-macam situs web dengan pelbagai direktori yang beroperasi di seluruh dunia. Internet bukan lagi milik orang kota tetapi lambat laun menjadi milik kelas-kelas sosial bawah. Bukankah internet membuat kita “bersayap?” mampu mengarungi jeruji-jeruji imajinasi yang mungkin berdampak menimbulkan ilusi tertentu. Sementara tenaga pengajar terkurung (maaf) seperti siput yang lembut. Kurang berinovasi dan beradaptasi dengan cepatnya informasi yang datang. Karena itu, banyak anak didik mulai jenuh dengan institusi pendidikan tempat ia bernaung. Meski tidak bisa digeneralisir. Apalagi buku-buku elektronik (e-book) termasuk rekaman audio-visual tentang berbagai disiplin ilmu mudah didownload. Intinya, kita siap memampukan diri untuk belajar dan belajar;

Keempat, guru jelas masih dibutuhkan untuk pendidikan orang-orang yang berkebutuhan khusus (tunanetra, rungu, grahita, daksa, unagrahita). Salah seorang yang tulus berkorban untuk menemukan bakat besar dari orang-orang yang berkemampuan khusus adalah Ciptono. (Kompas, 9/2/09). Internet membuat para tunanetra merengkuh dunia yang lebih besar. Kalau kita kunjungi situs http://www.kartunet.com/ sungguh tak dinyana, situs tersebut seluruhnya dikreasi dan dikelola orang-orang yang berkemampuan khusus (tunanetra).

Untuk mengatasi ambivalensi, tenaga pengajar dan pendidik sebaiknya beralih menjadi pemimpin motivasi (motivator leader) bagi anak didiknya agar mendapatkan bimbingan yang lurus dan benar sekalipun berasal dari internet. Jangan sampai seperti kata pepatah lama: Ke hulu memotong pagar, jangan terpotong batang durian, cari guru tempat belajar, jangan  jadi sesal kemudian.

Comments