Mengingat Kakek di Saat Gempa 7,3 Richter

Oleh: Setiadi R. Saleh

Seorang lelaki tua bernama Mul sedang duduk di hamparan ladang sawit. Matanya nelangsa menatap pelepah-pelepah yang menyerupai kurma dan pohon palm. Apa yang ia impikan 20 tahun lalu sekarang benar-benar nyata. Meski ia belum kaya dan mendapatkan untung besar dari sawit. Ia sudah yakin suatu hari nanti pasti bisa. Tetapi, keyakinan saja tidaklah mencukupi. Sebab, keyakinan hanya boleh terjadi di alam tindakan, bukan di alam pikiran. Ladang sawit tersebut di Rantau Panjang Peureulak, sebuah dusun yang terletak jauh di pedalaman Aceh Timur. Kalau dari Medan-Sumatera Utara, memakan waktu 8 jam agar bisa sampai di lokasi. Perjalanan hanya bisa ditempuh melalui jalan darat. Untunglah sekarang operator-operator seluler sudah masuk desa. Sehingga silaturahmi masih bisa terbina. Walau tidak berjumpa wajah.

Di sela-sela lamunan dan hangatnya terik mentari. Telepon seluler berbunyi. Suara deringnya terasa khas di tengah kesunyian ladang. Wajah lelaki tua merona gembira, karena yang menelepon adalah cucunya yang di Bandung.

"Halo Abah, apa kabar?"
"Alhamdulillah."
"Lagi di mana?"
"Lagi di ladang. Senang rasanya melihat tanda dan janjang sawit berbuah ranum. Rasanya seperti melihat emas-emas harapan di masa depan."
"Syukurlah, mudah-mudahan berlanjut. O ya abah, rencananya mau sampai kapan di Aceh?"
"Mungkin tiga mingguan. Abah harus merencanakan program baru, pembibitan, dan perawatan sawit. Mungkin akan lebih lama lagi, karena harus menunggu petugas dari badan pertanahan. Semua tanah yang ada di dusun sini, mau diukur ulang supaya jelas batasannya."
"Bagus itu. Kalau melihat surat yang abah kirim hasil dari sawit masih minim."
“Betul, masih minim. Sawit dihargai 500/kilo. Tapi, biar bagaimanapun sedang diusahakan supaya lidi dan bonggol sawit juga punya harga. Abah menanam pohon sengon untuk peneduh. Abah juga berusaha ikut koperasi petani. Apalagi dulu sebelum pilpres, salah seorang capres menjanjikan mau memborong sawit Rp. 1000/kilo. Sekarang sudah lain ceritanya."
“Iya sabar saja. Ngomong-ngomong abah masih kuat puasa?”
“Ya masihlah. Ingat kata Nabi, apa yang kita lakukan masa muda akan terbawa masa tua. Maka jangan heran kalau melihat orang-orang tua ada yang lebih kuat mengangkat suatu benda dibanding yang muda-muda. Lantaran di masa mudanya terbiasa. Kamu juga harus membiasakan dan melatih diri supaya tahan banting. Melatih pikiran dan setia kepada kebenaran. Indonesia luas dan masih membutuhkan pemimpin hebat. Abah doakan kamu sampai kepada tujuan.”
“Iya abah, terima kasih nasihatnya. Udah dulu ya, assalamualaikum.”
“Walaikumsalam warahmatullahibarrakatuh.”
Baru saja telepon dari sang cucu ditutup. Datang lagi telepon dari kolega. Kali ini menanyakan perkembangan sawit. Kolega tersebut menawarkan lahan tanah. Memang dalam waktu dekat ada ekspansi untuk membeli sebidang tanah yang nantinya akan dipakai untuk pembibitan. 

][
  Di sebuah kantor penerbitan buku di Kota Bandung. Sore 2 September 2009, Seorang editor bernama Daru sedang termangu. Rapat redaksi memutuskan untuk menunda jadwal penerbitan karena berkaitan dengan lebaran. Satu hal lagi, redaksi sedang mengalami “hiportemia” alias kedinginan karena kekurangan naskah.
“Daru kamu punya ide?” Tanya manajer redaksi.
“Sebenarnya yang paling tahu kondisi ini bagian marketing.”
“Oke tidak apa-apa. Besok kita rapat dengan bagian Marketing. Soal redaksi bagaimana?”
“Kalau menurut saya, naskah yang masuk dapur redaksi lumayan banyak, satu bulan bisa sampai 6 naskah. Namun, belum ada yang istimewa. Sebenarnya naskah jelek pun kalau temanya menarik masih bisa kita olah. Tapi, redaksi terkadang kekurangan waktu dan saya tidak mau lagi mengkambing-hitamkan waktu. Tugas saya sudah terlalu banyak. Saya mengurus website, koresponden, menerima naskah sekaligus menolaknya, saya juga bertugas aktif mencari naskah, ditambah lagi urusan cover buku. Kalau kita harus bayar tenaga lepas outsourching mana kita punya uang lebih.”
“Iya saya ngerti. Kita tidak punya cadangan naskah. Ini berita baik sekaligus berita buruk.”
“Berita baiknya, ini kesempatan kita untuk mencari penulis-penulis lokal dan nasional yang berbakat.”
“Berita buruknya?”
Belum selesai menyelesaikan kalimat pernyataan. Tiba-tiba saja di tengah rapat redaksi. Kursi Daru bergetar seperti digoncang-goncang. Daru menoleh ke teman sebelah. Teman sebelah menoleh ke temannya lagi. Dan tak lama kemudian…
“Keluar, keluar, ada gempa, ada gempa!” Seorang rekan kerja berteriak sambil berlari.
Saat itu juga, seluruh yang ada di kantor lari. Yang di lantai 2 tergopoh-gopoh seperti hendak roboh. Yang di lantai 1 sudah lebih dahulu di luar ruangan. Seorang teman sibuk menghubungi kerabat dan keluarga. Menanyakan apakah terjadi gempa juga. Sesekali terdengar lafaz istighfar, dan kalimat tauhid. Seolah-olah kiamat akan mendekat lalu menjerat siapa saja yang berdosa.
Di luar kantor, warga pemukiman Sukaluyu tampak berhamburan keluar rumah. Wajah-wajah cemas, wajah-wajah lemas saling bertukar pandang.
Seorang wanita menawan dari sebuah bank mengatakan, “ingin pulang.” Wajahnya pucat seperti membutuhkan dekapan. Ah, dasar laki-laki, terkadang memandang wanita dari sudut yang penting secara hawa nafsu saja. Belakangan barulah kami tahu, bahwa wanita tersebut adalah tamu di kantor kami. 

Jam kantor sudah menunjukkan 15.30. Gempa sudah berhenti. Listrik di kantor mati. Komputer seorang teman yang masih bertahan hidup berkat ups, langsung diserbu teman-teman untuk melihat perkembangan berita terkini. Portal-portal online langsung menampilkan update informasi gempa yang berasal dari Tasikmalaya dan berpotensi tsunami.
][
Hari itu Ramadhan yang ketiga belas. Kota Bandung sore hari penuh sesak oleh manusia dan kendaraan. Motor menyalib mobil, mobil memepet motor, truk gas berjalan pelan, truk pengangkut air mineral sedikit tersendat kelebihan beban, pejalan kaki tersingkir, tak ada trotoar. Menjelang buka puasa lebih parah lagi. Semua orang bergegas ingin sampai tepat waktu, karena  khawatir berbuka di jalan. Padahal ngebut dan berjalan sedang, sampai di tempat juga tidak terlalu lama selisihnya.
Di dalam sebuah angkutan umum percakapan ramai diisi dengan perbincangan seputar gempa. Sebagian bilang terasa ada gempa hebat, sebagian lagi malah tidak berasa apa-apa. Aku yang sedang berada di dalam angkutan umum hanya memandang sekeliling. Sayang, hapeku habis batere. Tidak bisa mengontak siapa pun.
][
Sesampainya di rumah. Orang di rumah gegap-gempita berkisah ihwal peristiwa gempa dengan berbagai gaya penceritaan. Aku mendengarkan sambil terus melihat jam. Sebentar lagi bedug Maghrib berbunyi. Sambil menunggu berbuka. Aku kembali menelepon orang-tuaku yang sedang di Aceh.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
“Barusan ada gempa.”
“Iya terasa.”
“Ha? Terasa?”
“Iya maksud abah, abah bisa merasakannya. Tadi sudah lihat di berita tv. Ngomong-ngomong cucu abah bagaimana keadaannya. Udah sembuh?”
“Batuknya sudah 8 hari, dan sudah diuap. Dia tadi meronta-ronta, dipegangi sama mama dan bapaknya. Suaranya keras, sampai-sampai satu klinik seisi ruangan mendengar. Insya Allah sembuh dan pulih kembali.”
“Iya abah doakan.”
“Iya terima kasih. Selamat berbuka abah. Assalamualaikum.”
“Iya-iya, walaikumsalam.”

 Azan Maghrib berkumandang. Perintah shalat datang. Kali ini, perintah shalat seperti panggilan untuk menyegerakan berbuka. Cukuplah hari ini berbuka puasa dengan kurma segar, teh hangat dan gahwa. Subhanallah.[]

Comments