Sekerat Kenangan Mengenai Laksamana Cheng Ho (1371-1433)

Oleh: Setiadi R. Saleh S. Sos.,

 
Ulasan Cheng Ho dengan segala kiprahnya di Nusantara sudah sangat banyak. Tulisan berikut, satu di antara sekian varian dari perambat kenangan mengenai Cheng Ho. Laksamana laut Cheng Ho (1371-1433) adalah seorang Tionghoa muslim, lahir dengan nama Ma Ho/Ma He, anak kedua dari pasangan Ma Hazhie dan Wen. Dalam tulisan Stevanus Subagijo “Dari Hijrah Bahari ke Hijrah Kultural”  diterangkan mengenai akar silsilah keluarga Cheng Ho. Konon Hazhie (ha-tche) identik dengan lafal kata ”haji” (Haji Ma). Asal-usul keluarga Ma berdarah Arab-Mongol di Provinsi Yunan. Nama Ma Ho itu sendiri merupakan identifikasi nama Cina Muslim saat itu yang mengingatkan junjungan mereka yakni Nabi Muhammad SAW. Nama Mo, Mai dan Mu terkait dengan adopsi na-ma Muslim, Mohammad, Mustafa dan Mas”oud. Begitu pula nama Ha, Hu dan Sai mempunyai konotasi nama Muslim Hassan, Hussein, dan Said. Sedangkan nama Cina Pu terkait dengan nama Abu atau Abdul. Nama keluarga Zhao sebagai cikal bakal marga Ma dalam sebuah penelitian merupakan salah satu dari sepuluh besar nama marga orang Cina yang menguasai 40 % populasi orang Cina di seluruh dunia. Sedangkan turunannya yakni Ma merupakan salah satu dari sepuluh marga terbesar kedua yang menguasai 10 % populasi orang Cina.

 
Cheng Ho sendiri sebenarnya bukan seorang pelaut. Tetapi berkat keberanian serta bakat kepemimpinannya yang sangat tinggi, ia mampu mengerahkan armada pelayaran kekaisaran Ming. Kala itu ekspedisi yang dilakukan orang-orang Eropa terutama Vasco da Gama tidak ada apa-apanya. Armada Cheng Ho jauh lebih besar. Kapalnya bak istana megah, lengkap dengan ‘benteng’ pertahanan dan persediaan logistik selama dalam pelayaran. Kapal armada Cheng Ho diperkirakan berjumlah 65 kapal. Panjang setiap kapal mencapai 150 meter dengan bagian terlebar 50 meter, ditambah sembilan tiang layar, geladak utama seluas 4.600 meter persegi, dan bobotnya 2.700 ton.

 

Sebagai pemikir ulung, pelayaran Cheng Ho setidak-tidaknya membawa empat pesan simbolik. Pertama, kisahnya sendiri tercatat sebagai legenda Nusantara yang tiada habis-habisnya ditulis dan dikaji. Semakin jejaknya ditelusuri semakin ‘kita’ memahami proses akulturasi budaya bangsa lain yang diserap (absorbsi) ke dalam budaya Indonesia. Kedua, pencitraan positif Cheng Ho menguntungkan orang Muslim. Ia tidak hanya seorang laksama laut tetapi sekaligus penyebar dan penabur toleransi beragama, rendah hati dan sangat terbuka terhadap semua mazhab pemikiran. Ia mencatat seluruh keunggulan dan kelemahan budaya dari negeri-negeri yang pernah dikunjunginya.

 
Sebagai seorang muslim taat, pernah suatu kali ketika merapat di Surabaya. Cheng Ho menyampaikan kotbah Jumat karena pas ‘kebetulan’ hari itu hari Jum’at. Tak heran pelayaran bahari Cheng Ho tidak mendapat konfrontasi berarti seperti datangnya penjajah kolonial yang berupaya menaklukkan dan merampas seluruh isi bumi nusantara. Kendatipun armada Cheng Ho sampai di Mekah (1432). Ia sendiri diberitakan belum mencapai Kabah. Ketiga, bila ditinjau dari peta wilayah dan kultural, orang Tionghoa sebenarnya mudah berbaur, lebur dalam tradisi kebudayaan setempat. Pengaruh ini bisa dipelajari tidak hanya sebagai ‘makna’ tapi juga sebagai penafsiran ulang (cryptical message).

 
Kalau ditarik beberapa tahun ke belakang sebelum reformasi berselang. Etnik Tionghoa ‘sempat’ digilas mesin politik rezim Orde Baru sehingga secara psikologis berdampak pada manusianya. Hal ini mempercepat terjadinya proses eksklusivisme dan secara priodik menciptakan klan atau kartel-kartel tertentu yang menguasai basis-basis perekonomian negara. Minoritas Tionghoa menganggap dengan tidak terlibat dalam kancah politik praktis maka posisi ‘mereka’ aman. Ini jelas salah kaprah. Dalam sebuah diskusi milishttp://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua terkuak bagaimana minoritas berusaha bangkit menggalang upaya bersama melawan marginalisasi. Lebih dari itu kepentingan politik kaum Tionghoa Indonesia patut diperhitungkan, terutama ketika pemungutan suara berlangsung. Kalau ‘kita’ retrospeksi sejenak, minoritas Tionghoa kurang memiliki akses politik. Ketika pemerintahan Orde Baru, kebanyakan orang Tionghoa tabu dan haram berbicara politik. Di sinilah pentingnya meniru semangat Cheng Ho yang piawai politik dan santun dalam berdiplomasi. Dan ketika pintu-pintu akses menuju politik praktis dibuka. Apakah etnis Tionghoa makin menggurita dengan sepak terjang bisnisnya? Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, bila minoritas Tionghoa menutup diri terhadap politik, maka akan selalu jadi ‘kambing hitam’. Ketika ada bentrokan sedikit, toko toko Tionghoa diserbu. Ini aneh bin ajaib, padahal dalam fase perkembangan sejarah nasional bangsa Indonesia. Peranan orang Tionghoa dalam sejarah perjuangan Indonesia sedemikian dominan. Apa dosa orang Tionghoa sehingga selalu jadi korban? Keempat, massifikasi pelayaran Cheng Ho membawa efek budaya, coba sebutkan bangunan mana yang ada di Indonesia yang tidak terpengaruh budaya Cina termasuk rumah ibadah orang muslim. Bahkan konon walisongo sendiri termasuk keturunan Cina. Tetapi, hati-hati membicarakan Cina, karena refleksi kita tentang Cina bukan seperti dahulu yang kuat bersandar pada pikiran leluhur. Cina sekarang hidup dalam era digitalisasi, suatu abad modern bahkan mungkin sudah sampai taraf postmo. Orang Cina di Cina dan orang Cina di Indonesia adalah dua lempengan berbeda. Cheng Ho dalam hal ini datang tidak sebagai seorang ‘oriental’ tetapi sudah sangat ‘mengindonesia’. Ia hijrah di Nusantara di antaranya Samudera Pasai dan menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Cheng Ho mengunjungi Palembang dan menaklukan bajak laut setempat. Ia ke Bangka dan sempat juga mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Di Semarang Cheng Ho mendarat di Simongan yang terkenal dengan kelenteng Sam Po Kong. Di Jawa Timur Cheng Ho mendarat di Tuban, Gresik dan mampir di Mojokerto yang menjadi pusat kerajaan Majapahit yang saat itu dipimpin Raja Wikramawardhana. Maka dari itu kisah pelayaran Cheng Ho merupakan suatu khazanah cakrawala nusantara, tidak akan hilang ditelan gelap. Sekalipun zaman-zaman sudah berlalu, sejarah Cheng Ho tetap hidup dan pantang redup. Karena sejarah bukanlah sesuatu yang telah mati tapi tetap hidup sampai saat ini. []

 


Cheng Ho: Cerdik Cendekia, Gagah Perkasa, Bijak Bestari

 

Comments