Hakikat Keterasingan Sastrawan Mula


Hakikat Keterasingan Sastrawan Mula

Oleh: Setiadi R. Saleh


E
ncik dan puan (tuan dan nyonya) ini tulisan bergurau anggaplah sebagai penghibur jiwa hewani. Jangan khilaf jagalah badan sebelum derita sakit tak keruan. Ringan ibadah tak dikerjakan dapat bala. Pabila murung menumpas, izinkanlah makhluk pendosa ini mengubah kelelahan menjadi bait-bait puisi. Barangkali puisi tidak menggerakkan kita untuk menjadi adil atau tidak adil, di dalam dirinya sendiri. Dia menggerakkan kita kepada pikiran-pikiran yang  jelas tentang keadilan dan ketidakadilan.

Sidang pembaca yang terhormat. Sastrawan mula biasanya menggunakan bunga-bunga bahasa. Itu disebabkan penyair bukanlah orang yang mahir ilmu sihir. Melainkan tukang menata rongsokan kata agar menjadi wujud rupa. Sastrawan orang yang mengarang prosa, melukis dengan bahasa. Antara penyair dan sastrawan terdapat pertalian rapat. Keduanya merakit kata supaya bacaan ataupun tulisan dapat dikendarai, dijadikan semacam azimat berduri.

Mengenai tempaan keterasingan sudah tentu tidak dimulai dari bangku kuliah. Karena kuliah tidak mengajarkan apa-apa, mereka hanya memerintah; hayo kamu buat anu buat itu! Barang siapa-siapa pernah mengalami getir keterasingan. Setiap musim terasa pancaroba. Dan mengapa orang menertawakan cita-cita sastrawan mula. Apakah insan dunia, insan derita, tiada menyadari hanya sastrawan yang sanggup merubah bumi menjadi bunga melati dan batu menjadi mutiara. Ia menggantikan keindahan asam asmara dengan senandung kepedihan. Sastrawan ibarat bahtera yang berlayar membawa gelombang kesunyian sebesar gunung. Ia kadang-kadang mengarang prosa di bawah sinar pelita dan lentera. Diliputi ombak yang lenyap di tepi dermaga. Dan sesekali terjun ke laut sebagai makam pengolahan kekuatan rohani.

Sebagian dari keterasingan sastrawan mula karena berusaha mencari keadilan pada orang-orang yang tidak beriman ( I Korintus 6:1-3) Apakah ada seorang di antara kamu yang jika berselisih dengan orang lain, berani mencari keadilan pada orang yang tidak benar, dan bukan pada orang-orang kudus? Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia? dan jika penghakiman dunia berada dalam tangan kamu, tidakkah kamu sanggup untuk mengurus perkara-perkara yang tidak berarti? Tidak tahukah kamu bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?
Sesungguhnya makhluk pendosa ini merindukan sastrawan mula yang kampium merombak isi hati. Karena hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak dimengerti oleh akal. Zaman kiwari siapa yang percaya pada nurani. Malang benar nasib sastrawan mula tiada dapat mengupas apa yang tenggelam, menuntun manusia menjadi manusiawi. Kadang-kadang dalam keterasingan gugurlah pertanyaan, mengapa seniman bahasa dalam hal ini sastrawan, mati-matian ingin mengajarkan kearifan. Itu karena makhluk pendosa ini, berdiam dalam riak perjalanan sastrawan mula. Ia tidak ingin berlebihan mengarang prosa menjadi semacam petunjuk hubungan badan. Mengkiaskan payudara laksana kantung anggur. Dalam hal karya, sebaiknya sastrawan mula tidak menempuh kayuh, terlalu berbatas pada tubuh melainkan berusaha lebih mendalam kepada sifat, tabiat dan perwatakan manusia.

Pada prinsipnya makhluk pendosa ini mengakui struktur tubuh manusia itu seperti bumi, tulang-tulangnya bagaikan gunung-gunung, sumsum tulangnya laksana mineral, perutnya seperti lautan, usus dan urat nadinya seperti sungai, dagingnya seperti tanah, rambutnya bagaikan tanaman-tanaman, tampat-tempat tumbuhnya rambut laksana tanah yang baik, tempat-tempat di mana tidak ada rambut yang tumbuh bak rawa-rawa, wajah hingga ujung kaki bagaikan sebuah kota yang maju, punggung seperti seonggok reruntuhan, raut muka laksana timur, punggung belakang seperti barat, tangan kanan seperti selatan, tangan kiri bagaikan utara, nafas bak angin, ucapannya seperti guntur, teriakannya laksana kilat, tertawanya bagaikan siang hari, tangisnya seperti hujan, keputusaasaan dan kesedihannya bagaikan kegelapan malam, keterjegaannya seperti kehidupan, masa kecil laksana musim semi, masa mudanya laksana musim panas, masa dewasa bagaikan musim gugur, masa tuanya laksana musim dingin. Segenap gerakan dan sepak terjangnya bagaikan gerakan perputaran planet-planet, kelahiran dan kehadirannya seperti konstelasi atau gugusan bintang menaik, kematian dan ketiadaannya laksana gugusan bintang yang tenggelam (Murata, 1997:54-55)

Seorang sastrawan mula, sebelum menuju hakikat. Terlebih dahulu menjalani syariat keterasingan, lalu tarikat keterasingan, kemudian hakikat keterasingan. Jangan dulu sampai kepada makrifat kalau belum siap, nanti terbakar. Demikian yang diutarakan guru hamba. Beliau seorang penyair yang bernyanyi, mengembara ke negeri-negeri berlembah. Dia baik hati dan agak tuli. Kemudian guru hamba bicara lagi. Bila jadi sastrawan, Raja manusia akan menyembuhkan engkau dari pergumulan dan sakit-penyakit. Dengarkan Tuhan berbicara. Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung bahaya, maka mereka berdoa kepada Allah dan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (QS 10:22)

Sebagian lagi dari keterasingan sastrawan mula ingin menyingkirkan Tuhan dalam kehidupan. Mulanya makhluk pendosa inipun begitu. Pemikir-pemikir besar pada akhirnya mati. Jangankan diri yang memiliki badan, setiap jiwa pasti merasakan mati. Bukan kematian yang hamba takutkan. Melainkan buruknya kematian karena tidak memiliki iman. Keterasingan sastrawan mula, ketika Allah penjaga paling agung. Dia menetapkan jiwa, hakikat kehadiran-Nya tidak dapat dirasakan lagi sebagai kekuatan. Jiwa luka karena lalai dari zikir. Hamba meyakini pencinta itu telah terbang hatinya, sepenuhnya rindu, biasakanlah cinta kepada Allah supaya dijinakkan, engkau bermaksiat engkau cinta kepada Allah, ini kias yang keliru. Insyaf segera apalah guna. Sudah fitrah manusia memiliki sifat tergesa-gesa (QS 17:11).

Ramalan mengenai masa depan sastrawan mula adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri. Jangan putus harap, karena semangat yang patah akan mengeringkan tulang. Bila akal habis, tawakal. Allah mempunyai gudang-gudang rezeki, ia akan menurunkan dari langit dan mengeluarkan dari bumi dan mendatangkan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga. Dialah yang menjadikan untukmu malam sebagai pakaian dan tidur untuk istirahat dan Dia menjadikan siang untuk bangun dan berusaha. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira.

Dalam keterasingan, sastrawan mula mulai berdoa; Jadikan aku makhluk yang senantiasa menghidupkan malam sampai menjelang fajar. Kehidupan dunia seperti jari telunjuk yang dicelupkan ke samudera raya nan luas. Tidak ada apa-apanya, bila tidak ada apa-apanya, mengapa dunia disebut bekal. Amal ibadah dunia adalah bahan baku buat di kampung akhirat. Dan kemudian sastrawan mula mengucapkan kata sambil berlutut menahan iba. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi, engkau akan tumbuh, engkau akan hidup di dalam kebenaran dan kekudusan. Jangan biarkan dosa berkuasa. Hamba tidak mau jadi makhluk pendosa. Karena kerongkongan mereka seperti kubur yang menganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa (Roma 3:13). Percayalah, hukum Tuhan lebih berharga dari emas murni dan lebih manis dari madu asli.

Sebagai sastrawan mula, hamba pernah terperosok kepada persoalan utara-selatan, timur dan barat. Danarto bicara; Terpengaruh Timur sama jeleknya dengan terpengaruh Barat. Seorang penyair yang benar, menulis bukan karena adanya pantun, syair, haiku, seloka, dandanggula, soneta, rubayat, free verse. Juga bukan karena adanya novel realis roman, lakon absurd dan lain-lain. Seorang pengarang, menulis karena memperoleh inspirasi atau ilham sehingga karya yang lahir bukan cuma berdasarkan perbandingan dengan karya yang telah ada melainkan sebagai hasil menjenguk langit atau memperoleh limpahan pencerahan batin.

Sebagian lagi dari hakikat keterasingan sastrawan mula ketika menerjang kesulitan agar tumbuh menjadi sastrawan besar. Karena barang siapa-siapa mengupayakan cita-cita. Ia adalah perbendaharaan surga. Calon surga adalah hatinya seperti burung dengan atau tanpa tembolok ia tetap mengepakkan sayap. Luruskan niat sempurnakan ikhtiar. Kerja keras adalah taqwa. Dan di teritis rumah tempat sastrawan mula mengarang ini gurauan. Terbenamlah matahari di ufuk barat, lalu terbanglah alap-alap. Dan terakhir kalinya ampunkanlah hamba yang tiada kuasa lagi melanjutkan gubahan ini. Biarlah batin binasa bersama kesunyian dan perasaan melengung. Suatu rasa yang lebih sunyi dari cinta dan lebih redup dari air mata.


Priangan Utara, 5 Jumadil Akhir 1425 Hijriah
12 Agustus 2004 Masehi

*Pengarang adalah manusia biasa yang bisa terkena bisa

Sumber Renungan:

Al-Qur'an (Walkitabi Mubin)
Injil (Kabar Gembira)
Bhagavad Gita (Nyanyian Illahi)
Avatamsaka Sutra (Kitab Karangan Bunga)

Comments