Internet Membuat “Malas” dan “Bodoh”


Oleh: Setiadi R. Saleh

Dahulu banyak orang-tua khawatir jika anak mereka terlalu lama menonton tv atau bermain PS (play stations). Kini, kekhawatiran tersebut akan bertambah lagi dengan internet. Sebab, internet bukan lagi milik orang dewasa. Tetapi telah merengkuh ke ruang-ruang keluarga paling kecil dan intim; kamar. Anak dibolehkan memiliki koneksi internet yang terpisah dari orang-tuanya. Jika orang-tua khawatir anak mereka mengakses situs-situs porno. Kekhawatiran bisa diatasi dengan cara ‘mengunci’ link yang ‘berbau’ pornografi. Bukankah di warnet masih bebas membuka situs-situs porno tanpa diblokir? Fokusnya bukan di pornografi tetapi ketagihan internet; browsing, surfing, chatting, blogging, game online dan teramat banyak yang bisa disebutkan. Internet disinyalir dapat membuat orang menjadi malas. Apakah internet memiliki sisi gelap? Ya! Bukan hanya ‘malas’, tetapi juga bisa membuat ‘bodoh’.

Bayangkan dan ketahuilah, di internet terdapat jutaan petabyte data dan akan terus bertambah. Setiap individu sebaiknya memilah hal baik dan hal buruk. Matt Mullenweg—pendiri wordpress menasihati, "filter terbaik adalah individu itu sendiri, kalau tidak laik dilihat tidak usah dilihat." Idealnya dengan mesin pencari muktahir semacam Google, kita dapat mengelola informasi dengan baik. Selain itu, informasi adalah komoditi bernilai bagi industri dan bisnis. Bukankah bagus jika internet menjadi pelayan bagi pemenuhan kebutuhan informasi? Semakin banyak informasi yang dapat diakses maka akan semakin produktif untuk kita berpikir. Harusnya Ya! Kenyataannya tidak semudah itu.

Nicholas Carr—seorang penulis IT berpendapat tentang ‘candu-madu’ internet. Menurutnya, ia resah, kehilangan urutan, otak seakan diseret oleh teks-teks berbeda dari tiap halaman situs. Web di satu sisi telah menjadi rahmat bagi orang banyak. Masih menurut Carr: “Is Google Making Us Stupid?” Dugaan ini cukup kuat, mengingat banyak netter (pengguna internet) yang aktif membaca, mencari, dan menulis di internet merasakan sulit berkonsentrasi, karena dengan menggunakan Google saja, kita sudah ‘terlimpahi informasi bertubi,” sehingga tidak dapat fokus kepada apa yang sedang dipikirkan. Di sinilah proses mekanistik ‘pemalasan dan pembodohan’ terjadi akibat dari kehilangan konsentrasi. Bahkan, sebagian orang kini sudah menggantikan pola membaca teks konvensional (offline) ke arah digital (online). Lambat-laun, kita akan terbiasa membaca tidak lebih dari satu atau dua halaman dari sebuah artikel atau buku di internet sebelum akhirnya "mental atau terpental" ke situs lain. Kadang kita menyimpan artikel lama dan kemudian tidak pernah membacanya lagi.

Apakah untuk tujuan itu internet diciptakan? Tidak! Perhatikan, bukankah sebuah benda atau alat tidak sanggup melebihi kegunaannya? Begitu pula internet, masih ada hal yang berfaedah. Internet berupaya mengekalkan ikhtiar manusia untuk memecahkan problema yang belum terjawab orang-orang terdahulu. Sergey Brin dan Larry Page pendiri Google berkata: "Bagi kami yang bekerja di search merupakan salah satu cara untuk bekerja pada inteligensi artifisial. Google didorong oleh keinginan untuk menggunakan teknologi, dalam kata-kata dari Eric Schmidt, "untuk memecahkan masalah yang belum pernah dipecahkan sebelumnya," dan kecerdasan buatan yang paling sulit adalah masalah di luar sana. Otak manusia hanya sebuah komputer lama yang memerlukan prosesor lebih cepat dan dengan hardisk lebih besar.”

Internet juga menjadi pemungkin untuk semua anggota keluarga terhubung satu sama lain, meski berada di tempat berjauhan. Baik melalui webcam, ponsel, email, pesan instan (instant message) dan bentuk lainnya. Pemalasan dan pembodohan terjadi jika kita melaksanakan sejumlah pengabaian terhadap lingkungan. Memutuskan realitas sekitar dan menjauhkan fitrah manusiawi. Orang-tua lupa kepada anak; anak lupa kepada orang-tua; generasi muda lupa kepada cita-cita; kerabat tidak lagi saling menolong dan meneduhkan; dan ibadah kepada Tuhan bergeser menjadi prioritas sekunder; dalam beberapa kasus banyak yang sakit karena lalai makan dan kurang tidur. 

Suatu bentuk kebergantungan lain terhadap internet yakni ketika koneksi internet lelet, emosi seketika berubah, seolah-olah internet telah menjadi penopang kestabilan rasa dan jiwa. Apakah kita ingin terus duduk-lama di depan monitor komputer. Berselancar mengumpulkan informasi? Apa yang sebenarnya kita cari dari internet dan mengapa kita masih terus mencari dan mencari?[]

Comments