"Jalinan Kasih" Pengemudi dan Penumpang Becak Motor di Kota Medan [Bag 1]

"Jalinan Kasih" Pengemudi dan Penumpang Becak Motor di Kota Medan [Bag 1]
Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,.

M
edan setelah 17 tahun saya tinggalkan [1994-2011] tetap mengundang segudang pesona cerita. Satu di antara ragam cerita tersebut adalah mengenai “pengemudi becak” atau biasa disebut tukang becak. Walaupun tidak selalu pengemudi becak tersebut berjiwa “tukang.” Pengemudi becak menyebut  diri mereka sendiri pun dengan sebutan tukang becak.  Tukang becak yang dimaksud di sini adalah becak mesin alias becak motor bukan becak dayung. 

Becak motor di Kota Medan dikenal pula dengan istilah BEMORU [becak motor model baru]. Karena dulunya, sepeda motor yang digunakan adalah BSA, Norton, DKW. Kemudian berganti Honda Wins, motor Cina. Belakangan ini malah becak motor menggunakan motor merk TVS, Pulsar, Suzuki Thunder. 

Sekalipun banyak angkutan umum bersileweran dari dan ke pelbagai tujuan. Becak adalah angkutan yang praktis, baik dari sisi jumlah maupun efisiensi. Misalkan hendak berpergian bersama keluarga berjumlah 4 orang. Daripada naik angkutan umum lebih baik naik becak karena jika dihitung ongkosnya sama dengan angkot.  

Asyiknya naik becak tidak berdesakan dan bisa menikmati jalan dengan angin segar. Kadang-kadang penumpang pun kelewatan, tidak peduli berapa jumlah mereka selagi becak muat, semua masuk dalam satu becak. Duduk di bangku dalam 2 orang, masih bisa memangku 2 anak. Lalu bangku tambahan 2 orang, masih juga bisa memangku 2 anak. Lalu yang duduk di pinggir becak 1 orang. Kemudian di jok boncengan belakang 1 orang. Total ada sekitar 10 orang bisa dibawa sekaligus dengan 1 becak. Lucunya lagi, membawa 1 orang dengan 10 orang kadang penumpang/sewa becak minta ongkosnya sama saja. Kelewatan!

Jangan bayangkan kisah tukang becak motor di Kota Medan seperti halnya kisah pilu kebanyakan tukang becak di Pulau Jawa. Di Kota Medan pada umumnya pengemudi becak masih bisa sarapan pagi dengan lontong sayur kuah telur, mie rebus atau nasi gurih, minum teh manis atau kopi. Kemudian siangnya bisa tidur siang di becak dan makan nasi bungkus padang lengkap dengan lauk-pauk. Tidak ketinggalan rokok tentunya. Bahkan sambil menunggu penumpang sebagian di antaranya masih asoi bermain kartu dan catur. Tiap-tiap tempat mangkal [standbye-kata orang medan] tukang becak akan berbeda pemandangannya.  


Tukang Becak dan Saya

9 bulan di Medan, praktis tidak ada kerja pasti. Satu-satunya kepastian saya adalah kerja menulis. Karya adalah kerja dan kerja adalah karya. Selain itu mengelola blog www.setiadisejati.blogspot.com dan menerima sejumlah tulisan yang apabila tulisannya dimuat di blog saya, saya berikan pulsa sebesar 25.000. Maklum belum dapat memberikan honor. Sampai sedekat ini blog saya sudah dikunjungi sekitar 200 visitor/hari. Jumlah yang sangat minim, idealnya 1000 visitor/hari.

Saya selalu selektif memilih tulisan yang masuk. Bermodalkan 3000 rupiah untuk ke warnet, sehari-hari saya memeriksa email yang masuk dan memosting tulisan terbaru sambil mengirimkan tulisan ke sejumlah portal online dan media yang mau menerima tulisan saya.
Jika tidak sedang ingin menulis. Saya tidak menulis. Jika tidak sedang ingin membaca. Saya tidak membaca. Pendek kata, saya membiarkan diri untuk melepaskan rutinitas kepenulisan dan menggantinya dengan menonton acara yang bagus, berjalan-jalan, baik dengan kaki, sepeda atau angkutan umum.

Kadang-kadang guna mengusir suntuk [jenuh] sesekali silaturahmi dengan kawan lama yang di antaranya ada yang menjadi tukang becak, supir, jurnalis, masinis, pegawai negeri, tukang parkir, preman, kepling [kepala lingkungan setingkat RT], suplier, dokter, butut [usaha loak], guru, tukang tempe, laga ayam, buka warung nasi, toko kelontong [kedai sampah kata orang Medan], tukang roti, tukang bangunan sampai yang menjual baju keliling.

Pada suatu kesempatan setelah liburan panjang kenaikan kelas selesai. Kebetulan teman sekelas anak saya Maula Mazin 5 th 8 bln, bapaknya ada yang menjadi tukang becak. Jadilah di saat-saat menunggu anak pulang sekolah. Kami berbincang-bincang sekenanya saja, sesekali diiringi tawa geli.  

Kali ini saya ngobrol dengan tukang becak bernama Zulkarnaen, biasa disapa Ul. Ul keturunan Padang dan Jawa. Usianya lebih muda dari saya, mungkin sekitar 30 tahun. Ul ini orangnya humor, pembawaan ceria, riang, dan jika sudah bercerita rinci sekali. Ia biasa standbye di depan kolam renang perumahan Bumi Asri.

Ul
Saya: “Cemana liburan kemarin pak Yos. Jalan-jalanlah ya...” Saya panggil pak Yos karena namanya anaknya Fious yang katanya nama itu terinspirasi dari mobil Vios. Fious sekelas [satu lokal kata orang Medan] dengan anak saya.

Ul: “Cemana mau jalan-jalan. Awak sibuk cari duit. Musim liburan banyak sewa. Kalau udah gitu sekian mau, sekian mau, karena sewanya banyak, jadi awak bisa tekan harga. Kayak kemarin keteteran. Becak gak ada, sewa bertubi-tubi. Pilih yang deket yang mahal, daripada yang jauh yang mahal gak ada enaknya. Kalah kita di waktunya balik.”
Saya : “Gak dipanggil becak yang di depan itu?” Tanya saya untuk menyebutkan becak yang di depan pintu gerbang perumahan Bumi Asri.

Ul:  “Di depan itu kosong, becak gak ada. Udah saking banyaknya sewa.”
Saya: “Termasuk bang Wariadi udah masuk juga?” Wariadi adalah rekan seprofesi Ul yang juga beristrikan seorang guru SD, tempat di mana anak saya bersekolah SD Bakti Luhur No. 116 Medan.
Ul: “Iyalah. Ya kadang buang-buangan dari kolam itu jalan semua sampai depan. Ya udah sama orang itu, kalau syur diangkat sama orang itu. Selama liburan ini Alhamdulillah sewanya lumayan. Itulah harapan awak. Kalau hari-hari biasa gini. Paling sehari dapat 100. Itulah kubelikan buku anakku, perlengkapan dialah. Tadi malam mau dipangkas, tukang pangkas rame kali. Antri orang pangkas. Jam berapa siapnya kupikir. Nanti pulang sekolah ini kupangkaskan dia. Tiap malam hujan aja, mau keluar cemana.”
Saya: “Kalau udah hujan becak pun kayaknya jarang ya.”
Ul: “Ada, cuma gak terlalu banyak. Kebanyakan gitu. Sewa pun enak kalau hujan. Berapa aja dibilang kebanyakan mau, karena udah hujan posisinya. Gak mau tinggal, banyak lagi yang manggil itu hujan. Makanya kalau udah hujan pagi lagi bang aku senang kali. Habis ngantar anak sekolah awak keliling. Bang becak, becak bang. Ada sewanya pun distop aja ama dia. Udah musim paceklik gini. Udah habis liburan, habis juga duit orang, udahlah mulai pening juga kepala awak. Stok juga yang kemarin awak habisi.” 

* * *

Pembicaraan terhenti. Seorang nenek lewat membawa tongkat, mangkuk, berjalan pelan sekali seperti hendak roboh. Kadang pula di depan sekolah SD Bakti Luhur lewat seorang nenek yang berjualan tape, tubuh bongkok [bungkuk]. Kepada nenek yang membawa mangkuk dan tongkat, Ul mengeluarkan uang untuk bersedekah. “Aku heran kayak gini anaknya kemana, cucunya kemana.” Kata Ul kepada saya. 

Saya yang sudah 17 tahun di Bandung [1994-2011] kadang-kadang melihat orang seperti itu sudah biasa. Pasti ada nyuruh dan ada yang membawa karena secara logika darimana nenek-nenek itu muncul. Dugaan saya betul, sebulan kemudian saya melihat nenek itu diturunkan dari sebuah mobil untuk kemudian meminta-minta di tempat yang sama. Pengantarnya sendiri duduk asyik makan di kedai mie rebus. Di Pulau Jawa bahkan ada seorang bandar pengemis yang memiliki rumah mewah-rumah gedong. 

Saya: “Di becak itu kan sistem antre. Jadi cemana misalnya kalau ada orang baru.” Kata saya melanjutkan obrolan.
Ul: “Kalau ada orang baru gak kenal, o gak kami kasih bawa sewa. Modelnya situ kan sistemnya antre. Berapa becak , aku di depan. Belakang aku siapa. Gitu terus sampe kosong becak. Kalau dia mau bawa. Ya mudah-mudahan yang lain pun ngerti. Selama ini memang gak ada.”
Saya: “Ada berapa becak?”
Ul: “Dihitung-hitung kalau kumpul semua ada 20 becak.”
Saya: “Itu bayar juga?” Tanya saya untuk memastikan apakah ada pajak preman tertentu.
Ul: “Gak ada bayar apa-apalah.”
Saya: “Jadi bapak Yos gak bayar 30.000 perbulan, kayak becak yang lain.”
Ul: “Gak.”
Saya: “Selama bawa becak pengalaman apa yang gak bisa dilupakan?”
Ul: “O banyaklah. Pernah aku bawa bencong. Malam-malam. Waduh ngeri juga. Takutlah awak dipegang-pegang. Pengalaman sehari-hari kalau bawa cewek yang pake rok pendek. Macam manalah, gak awak tengok, tetengok juga. Untung masih kuat iman. Kalau gak entah macam manalah. Pengalaman lain ada sewa yang bilang hp-nya ketinggalan di becak. Iya kalau betul ketinggalan, kalau di nokoh [berdusta] awak juga yang kena. Kadang ada yang ketinggalan barang, udah awak antarkan. Terima kasihnya cemanalah, senang awak dengarnya. Ini gak kadang. Jadi macam mana tukang becak ini niatnya gak jelek jadinya.”
Saya: “Jadi berapa tahun bawa becak?”
Ul: “8 tahun, ya Alhamdulillah dari becak aku bisa beli kereta [sepeda motor], bangun rumah nyicil-nyicil. Di becak inilah aku paling lama, biasanya kerja apa aja gak betah. Pernah aku jualan CD, jualan sisir, dompet, tali pinggang keliling bawa-bawa pake tampah.”
Waktu saya katakan pekerjaan saya adalah penulis. Ia tambah semangat. Ul bilang ia punya kamera digital, handycam, cuma gak tau mau dibikin apa. Pernah juga Ul bilang ke saya. Ia mau jadi jurnalis bisa kirim berita seperti citizen journalism dan eye witness ala Metro TV. Dari setiap kali ngobrol dengan Ul. Saya perhatikan Ul memang cepat belajar dan ia juga bilang paling hobi nonton berita karena “bisa awak maki-maki itu pejabat koruptor, perampok negara.”
Selain Zulkarnaen alias Ul ada satu lagi tukang becak yang saya ajak ngobrol. Namanya Wariadi.

Wariadi
Saya: “Di Medan banyak kali becak. Itu apa boleh setiap orang punya becak?”
Wariadi: “Kotamadya udah gak ngeluari lagi plat kuning untuk becak. Terakhir orang itu ngeluarin becak plat kuning yang di inilah, di MKS. Apa itu namanya, ya di Millenium ini. Yang sekarang becak-becak itu kan MKS dari awalnya Honda. Keluar lagi sekarang kereta baru pulsar, TVS. Itu becak Deli Serdang, mana ada Kotamadya. Makanya orang tinggal di sini, bingung. Dia harus bayar ngurus speksinya ke Pakam. Bukan ke Pinang Baris. Kecuali BK Medan. Kalau BK Medan ke Pinang Baris.”
Saya: “O jadi TVS itu bukan punya pribadi.”
Wariadi: “Bukan.”
Saya: “Dimodali?”
Wariadi: “Bukan dimodali. Kredit kita. Dari showroomnya. TVS jarang orang pake. Makanya dibikinlah betor. DPnya kemarin berapa kawan itu, 4 juta setengah atau lima juta setengah. Maulah orang karena paten, di bukit pun jalan dia. Dia peston di atas gak rata. DP 4 juta setengah selama 3 tahun, perbulan 700 ribu. Ngeri kan.”
Saya: “Jadi walaupun udah lunas tetap nama koperasi.”
Wariadi: “Makanya kalau punya betor, becak ini harus melalui koperasi. Mau milik sendiri tetap gak bisa. Karena apa, udah bolak-balik didemo gak berhasil.”
Saya: “Jadi kalau kita bikin becak roda tiga sendiri, plat hitam. Tau polisi cemana?”
Wariadi: “Ditangkaplah! Udah makanan polisi aja, makanan Dinas Perhubungan, makanan dia. Paling gopek itu.  500 ribu, kemarin kawan di Raden Saleh lewat, gara-gara gak hidup lampu aja 100 ribu. Gak damai tempat, sidanglah. Tilang. Gak hidup lampu aja cepek, bukan kereta aja. Ngeri sekarang. Tapi kau tengoklah becak pun merajalela, plat hitam ya kan. Iya kalau BK nya hidup.”
Saya: “Jadi kalau melalui koperasi macam mana?”
Wariadi: “Koperasi, perpanjangan ini 6 bulan sekali, LLD, perbulannya ini lagi 30.000. belum lagi pajak tahunan plat. Cicilanku udah lunas. Kalau belum lunas bayar terus, cicilan kredit, cicilan speksi. Bayar iuran koperasi, speksi harus hidup. Kalau gak diterima sama orang itu. Plat kecil yang ada kuning putihnya di sini. Itulah dia, per enam bulan. Banyak becak ini. Mau bilang apa lagi. Namanya awak cari makan. Kan gak mungkin awak pengangguran. Pengangguran nanti merampok, repot ya kan. Becak ini makanan polisi. Semalam ada razia banyak yang ditangkap. Kalau bisa damai tempat, damai tempat 86. Kalau gak dibawalah ke sidang, bawa kayu putih.”
Di benak saya sempat tergambar apa maksud kayu putih tersebut. Ternyata Kayu Putih adalah nama suatu tempat pembuangan terakhir. Ada becak, ada mobil, ada truk di situ. Kalau gak diurus-urus biar aja situ sampai busuk. Sampai hancur lebur. Kalau dulu becak-becak dayung dibuang ke laut.
Saya: “Becak ini uang perharinya ada juga macam angkot.”
Wariadi: “Ya ada.”

Bersambung ....

Comments