Reportase Kecil: Festival Budaya Melayu Agung, Medan 6-10 Juli 2012



Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

S
abtu 7 Juli 2012 jam 16.30. Mendung tipis mengapung. Gerimis menunggu angin. Kota Medan mulai dingin. Matahari tidak terlihat lagi. Sore hari seperti pagi. Kabut tiada. Embun binasa. Gelap. Sunyi. Pupus. Teduh!

Di sebuah jalan yang ditumbuhi pokok serai dan jambu air. Saya menunggu angkutan umum, bersiap menuju lapangan Merdeka, tempat berlangsungnya festival budaya Melayu.
Lampu-lampu jalan menyala dengan sendirinya. Sinarnya berpendar tanpa pijar. 10 menit menunggu, angkutan belum juga datang. Dan kemudian saya memutuskan mengganti angkutan jurusan berbeda untuk kemudian meneruskan ke arah stasiun kereta api, tepat di “jantung” lapangan Merdeka. 

Sepanjang perjalanan, mata saya tidak dapat berhenti memperhatikan apa saja: Gedung. Kemacetan. Antrean orang. Toko. Iklan billboard. Becak. Pejalan kaki. Mall.  Maklum, Kota Medan setelah 17 tahun saya tinggalkan semua terasa berbeda: manusia, kota, suasana dan cara berbicara. Kecuali, makanan yang tidak berubah. Masih seperti dulu, pedas, enak dan tradisional. Agak susah menjelaskannya, kebanyakan orang Medan tidak suka makan keju, mayones, kornet, roti gandum, dan masakan western. Harus yang pedas, berkuah, santan, gulai, dan macam-macam yang sungguh sangat melezatkan!

Dan kemudian biji-biji gerimis ditebar dari langit...
Hujan pecah pelan-pelan...
Dan aspal berlinang basah...
Dan air-air sungai merambat menaiki titi dan jembatan...

Semua bisa saya lihat karena saya duduk di depan. Sudah menjadi kebiasaan pula untuk sedikit berbasa-basi berbicara kepada supir. Tidak banyak yang saya tanyakan, hanya seputar jam berapa angkutan terakhir. Supir menjawab, “jam sepuluh.” Lalu kemudian supir berbicara kemana suka, saya mendengarkan. Sesekali saya jawab mengiyakan. 

Sampai di stasiun kereta pukul 17.00, hujan belum berkenan, gerimis baru dimulai. Bagian depan stasiun sedang direnovasi. Saya turun dari angkutan dan bergegas menyeberang menuju lapangan merdeka. Di tepi lapangan Merdeka penjual buku berkemas. Membereskan buku, rak, dan menutup kios. Dulunya penjual buku ini berlokasi di tigan [titi gantung] seberang turunan jembatan rel kereta api yang tembus ke Jalan Veteran.

Lalu saya mencari jalan pintas ke lapangan Merdeka. Sebab, jika harus memutar arah akan tambah jauh lagi. Dari samping wc umum ada jalan kecil yang tampaknya sengaja “dirusak” supaya bisa langsung masuk ke lapangan Merdeka tanpa harus melompati pagar.

Kesan pertama saat memasuki lapangan Merdeka tempat berlangsungnya festival budaya Melayu Agung, terus terang terasa “melengung.” Perasaan melengung adalah suatu rasa yang remuk. Lebih senyap dari cinta dan lebih redup dari air mata. Remuk karena “ruh” Melayu-nya terasa rapuh, renta dan kelabu. Festival adalah pesta yang berarti juga fiesta. Saya tidak dapat mengendapkan dan merasakan suasana festival.

Berbekal handpone kamera pinjaman dengan kekuatan 2.0 mp. Saya memotret hal-hal yang menurut saya menarik perhatian. Pandangan saya mengawasi sekeliling. Mencari “sesuatu” yang membuat saya tidak ragu lagi. Dari satu stan ke stan yang lain. Masih belum terasa apa-apa. Saya seperti berada di pasar atau arena bazar. Sepatu-sepatu diperdagangkan, baju batik, sendal, gerabah kerajinan, lukisan, dan cinderamata.

Terlihat kerumunan orang lalu-lalang. Saling bergaya. Memotret. Jurnalis foto menenteng tas ransel. Saya berjalan dan berjalan lagi menyusuri setiap stan. Saya harus mencari dan patuh kepada naluri. Bahwa ini yang disebut “Melayu.” Sifat kimiawi jatuh hati pada pandangan pertama itu sangat penting! Kata orang, “ngeh.” Kalau pas gelombang perasaannya, sudah ada ngeh! Ikuti rasa itu.

Ke mana pun saya melangkah. Warna hijau-kuning saja yang tertayang di hadapan mata. Suatu ciri khas warna Melayu. Kekaguman saya terhadap kebudayaan Melayu, satu di antaranya adalah dekorasi mimbar/mihrab tempat raja dan permaisuri bersanding. Kemudian dekorasi pelaminan. Warna-warna kuning-hijau sungguh cantik ditengok. Saya belum menemukan jawaban mengapa dalam tradisi takhta suci kerajaan Melayu tidak terdapat warna merah.

Hujan tampaknya tidak mau kompromi. Padahal di dalam perhelatan akbar umumnya pawang hujan selalu siaga. Apalagi ini malam Minggu diharapkan pengunjung bisa lebih ramai.  Dari kejauhan rentak musik Melayu masih terdengar. Festival lomba tari sedang berlangsung. Saya bergegas mencari tempat berlindung. Hujan tambah mengalun cepat!

Tadinya saya memutuskan untuk menunggu malam. Baru kemudian akan pulang. Menunggu orang-orang yang datang. Menungu siapa saja yang sedikit bisa saya tanya-tanya tentang “kesan dan pesan” festival dan budaya Melayu. Festival lomba tari dihentikan sejenak. Juri tertimpa tempias. Panggung utama tersiram hujam. Speaker besar ditepikan. Panitia membereskan kursi. Dan kemudian lomba tari dilanjutkan. Saya masih mencoba memotret orang-orang, suasana, beberapa kali blur, shake [goncang] dan kabur. Tambah lagi jarak panggung utama dengan penonton sangat jauh sehingga mata saya harus beberapa kali saya usap supaya dapat melihat keindahan tarian Melayu yang sedang diperlombakan.

Jam 18.00, lalu waktu bergulir tanpa bayang-bayang jingga. Waktu Maghrib sebentar lagi datang. Matahari pergi lebih dini. Topi saya basah. Rompi basah. Hawa dingin tembus ke jiwa. Aroma mie rebus dari satu stan merampas penciuman. Terbayang kuah kental, telur, udang, kerupuk, makyus, yummy! Lapar menggeliat. Saya harus menahan diri.


Jadwal Acara Festival Budaya Melayu Agung
  • Jumat, 6/7/2012, jam 19.30-21.00, pembukaan festival budaya Melayu agung. Kemudian jam 21.00-23.00, dendang Melayu bersama artis ibukota dimeriahkan oleh Iyet Bustami.
  • Sabtu, 7/7/2012, jam 11.00-15.00, hiburan Melayu. Jam 15.00-18.00, festival dendang Melayu tingkat umum. Jam 20.00-22.00, festival tari serampang XII tingkat umum, fashion show songket Melayu. Jam 22.00-23.00 pagelaran teater tradisional. 
  • Minggu, 8/7/2012, jam 08.00-18.00, hiburan Melayu, kirab budaya Melayu, festival marching band lagu Melayu, festival balai Melayu [record MURI], penampilan permainan enggrang, dendang dan kelakar Melayu. Jam 20.00-22.00, festival tari Zapin Melayu. Jam 22.00-23.00, pagelaran tonil/teater bangsawan Melayu.
  • Senin, 9/7/2012, jam 10.00-12.30, seminar Melayu “Sejarah Keagungan Kesultanan Deli.” Jam 11.00-15.00, hiburan Melayu. Jam 15.00-18.00, pagelaran syair/puisi Melayu. Jam 19.00-20.00, pagelaran nazam/gurindam. Jam 20.00-22.00, lomba berbalas pantun. Jam 22.23.00, pagelaran tim kesenian Jakarta.
  • Selasa, 10/7/2012, 11.00-15.00, hiburan Melayu. Jam 16.00-18.00, dendang dan kelakar Melayu. Jam 20.00-22.00, penutupan festival budaya Melayu agung.


Festival Budaya Melayu Agung

Dari buku panduan yang di dalamnya terdapat sejumlah salah eja dan salah ketik. Saya baca tujuan diadakannya festival budaya Melayu agung 2012 untuk:

·         Melestarikan seni budaya Melayu sebagai unsur penting kekuatan budaya nasional.
·         Sebagai sarana aktifitas orang Melayu untuk akrab dengan kebudayaan milik sendiri sehingga orang Melayu tidak tercerabut dari akar kebudayaannya.
·         Memperteguh marwah dan jati diri orang Melayu melalui kegiatan seni budaya.
·         Merupakan upaya untuk meningkatkan apresiasi, dan juga sebagai sarana aktifitas orang Melayu untuk akrab dengan kebudayaan milik sendiri.
·         Sarana mengakrabkan budaya Melayu dengan masyarakat non Melayu baik lokal, nasional maupun mancanegara.
·         Sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi agar seni budaya Melayu tetap eksis di tengah masyarakat.
·         Hiburan bagi seluruh masyarakat Kota Medan dan meningkatkan kebudayaan wisatawan ke Kota Medan.
·         Membantu Pemerintah Daerah untuk menjaga ketahanan budaya yang berimbas kepada kualitas pengelolaan sumber daya manusia Kota Medan.
·         Program budaya dalam rangka Visit Medan Years 2012.

Bukannya apa-apa, melihat festival Melayu bukanlah kali pertama kali yang saya tonton. Kalau sekedar melihat pagelaran dendang dan kelakar Melayu, kirab, tonil, syair, tari, serta marching band. Semua sudah pernah saya lihat.

Saya tidak tau, apakah festival Melayu yang sedang berlangsung kali ini bertalian rapat dengan ulang tahun Kota Medan yang ke 422, 1 Juli lalu. Jika memang berhubungan, seyogianya dimensi pergaulan masyarakat Melayu dengan masyarakat Tionghoa, India, Karo, Minang, Nias, Aceh, Jawa, Sunda, Mandailing, dan seterusnya ditampilkan juga sebagai pelengkap pendukung festival.

Festival Melayu yang sangat saya harapkan sekurang-kurangnya mengandung enam unsur: pertama, replika kapal-kapal legendaris dari Kerajaan Melayu komplet dengan pasukan, meriam, senjata perang; kedua, replika kerajaan dan istana-istana kerajaan Melayu; ketiga, silat Melayu; keempat, foto-foto tempo dulu yang menggambar tokoh dan suasana; kelima, kuliner Melayu; keenam seni budaya, film, sastra. Semua harus ditampilkan, seluruhnya harus diekspresikan.

Jika tidak dapat dipersembahkan dan diwujudkan dalam cara-cara konvensional semisal menghadirkan replika kapal kayu yang sesungguhnya saat ketika berjaya di masanya. Bagaimana caranya ditampilkan dalam bentuk media digital. Teknologi dan internet memungkinkan itu semua.

Kemudian bagaimana caranyalah agar sebuah festival dapat menampilkan film dan sastra tulis yang amat hebat dari sejarah Melayu. Saya ingin merasakan getar dan nadi sejarah mahsyur Kerajaan Melayu hadir. Saya ingin tau lebih dalam bagaimana sosok bangsawan Melayu tersebut mulai dari tengku, tengku syaid, wan, orang kaya, datuk, kaja, dan seterusnya. Apa dan bagaimana cara bangsawan berdiplomasi, bernegosiasi, dan berniaga.  

Saya juga ingin merasakan kenangan silam dan nuansa lampau yang menggelayut ihwal arsitektur Melayu, teknologi pembuatan kapal, sampan, persenjataan dan terutama sekali sistem pola belajar sehingga Melayu pada zaman dahulunya dapat menghasilkan spektrum karya-karya besar yang pengaruhnya hampir merengkuh seluruh jagad bumi. Termasuk, keterpautan erat dengan agama Islam.

Kemudian dari sisi kekinian, saya ingin mengetahui bagaimana masyarakat Melayu hidup di era teknologi informasi komunikasi. Mengukur zaman dan masa. Bagaimana pula masyarakat Melayu ikut melindungi bumi dan peduli lingkungan, menanam pohon, mengelola air.

Saya sedih campur galau. Festival budaya Melayu terasa layu dan melayu [baca: menjadi layu]. Tambah lagi temanya mengusung kata “agung” yang secuil terasa Jawa. Sepengetahuan saya yang baru belajar kebudayaan Melayu, apakah kata-kata “agung” lebih kuat dari sisi arti dan lebih dalam dari sisi makna? Bagaimana jika diganti dengan kata Mahsyur. 

Karena saya tidak menemukan apa yang saya cari. Dan kemudian angin sore menyapu dahan. Benih hujan masih menempel di rumput. Saya juruskan langkah menuju pulang. Festival Budaya Melayu Agung sungguh masih jauh dari ufuk! Sekalipun demikian kebudayan Melayu dengan segala keistimewaannya tetaplah hidup di lubuk hati saya.[]

Comments