Televisi “Tzu Chi” DAAI TV

Oleh: Setiadi R. Saleh

Awal mula, saya tau ada siaran televisi berbahasa Mandarin-Indonesia DAAI TV. Ketika itu saya sedang berada di Jakarta menghadiri undangan kehormatan diskusi buku “Tauhid dan Sains” karangan Osman Bakar, Osman Bakar adalah murid dari Sayyed Hosein Nasr, cendekiawan Islam. 

Hari itu juga, sebelum kembali ke Bandung, saya sempatkan lagi melihat DAAI TV. Kebetulan di Bandung siaran DAAI tidak bisa ditangkap. Saya pikir DAAI TV adalah siaran tv kabel, ternyata bukan. Terus terang waktu itu tidak begitu “ngeh” ini acara apaan dalam pikiran saya. Hanya drama [sinetron] yang aktingnya pun natural, tidak ada marah-marah, sebentar-bentar melotot, atau telepon-teleponan ala sinetron Indonesia. DAAI TV sedikit berita, banyak pesan-pesan kemanusiaan. 

Anehnya, walaupun belum ada “rasa.” Hati dan mata saya masih saja penasaran. Ingin mengetahui lebih dalam soal DAAI TV. 

Barulah saat berada di Kota Medan, kota yang 17 tahun saya tinggalkan [1994-2011]. DAAI TV terasa dekat sekali di hati. DAAI TV, tidak ada berita kriminal, berisikan upaya untuk menyebarkan benih kebajikan, peduli lingkungan hidup, dan berbuat baik kepada sesama. Betul-betul menjadi televisi yang sebenarnya sangat saya impikan sejak remaja, saat masih duduk di sekolah internasional multilanguage Widya Segara Khalsa Medan. Dulu ketika SMP saya bercita-cita ingin membuat media. Sampai sekarang usia 36 th, cita-cita itu belum terwujud. Kendati demikian, saya yakin bisa mewujud!

Dan kemudian, rasanya ketika berada di Kota Medan, Sumatera Utara. Berita-berita dari Pulau Jawa tidak ada artinya lagi. Bukan berarti saya tidak peduli dengan perkembangan saudara-saudara saya berada di Pulau Jawa. Melainkan saya merasa kok siaran dari stasiun-stasiun televisi Jakarta yang bisa ditonton di seluruh Indonesia tersebut, semakin hari semakin buruk dari sisi jurnalistik/jurnalisme. 

Acara musik nyaris setiap hari. Tidak bisa dibantah, televisi memberikan porsi besar dalam hal musik, sinetron, acara lucu-lucuan, infotaiment, ceramah agama. Semua atas dasar HIBURAN. Bahkan siaran berita politik, kriminal, pun bisa jadi hiburan bagi orang-orang yang secara psikologis membutuhkan perhatian. Bukankah [maaf] menghina-memaki-maki orang/suatu keadaan/institusi/kasus di depan televisi telah menjadi “hiburan” model baru.
Mengapa saya katakan buruk dari sisi jurnalistik/jurnalisme? Teknologi memungkinkan sebuah stasiun televisi terhubung kepada pemirsa di rumah, sama seperti chat room di internet. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, “jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan "jurnalisme semu," yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.” Inilah yang kita tonton dan lihat pada acara-acara debat terbuka, talkshow, bincang tokoh dan sejenisnya. Bayangkan, acara tersebut nyaris setiap hari ada di semua stasiun Jakarta yang siarannya bisa ditangkap di seluruh Indonesia.

Masih kata Kovach dan Rosenstiel, jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tidak dibuat berdasarkan fakta-fakta serta data-data dan logika-logika memadai, istilahnya "Talk is cheap." Mengapa stasiun-stasiun televisi berambisius melakukan hal tersebut? Karena, sudah bisa dipastikan biaya produksi sebuah talk show, lebih murah dibandingkan biaya membangun infrastruktur reportase. Saya tidak tau pasti apakah sebuah stasiun dan para komentator tersebut memiliki “tawar-tawaran” tertentu yang pemirsa di rumah tidak mengetahuinya dengan pasti. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk rating. Bohong! jika ada sebuah media yang tidak mengejar rating. Di sinilah terbuka pintu pengetahuan kita mengapa akhirnya sebuah media lebih mengutamakan sensasi [gaya] daripada esensi [makna].
Selain itu, kebohongan terbesar media elektronik khususnya televisi adalah selalu mengatakan bahwa masyarakatlah yang menyukai sebuah tayangan. Termasuk, tayangan kriminal, klenik, infotaiment, sulap-sulapan, sinetron hantu-hantuan, serta “drama realita” yang sebenarnya lebih mirip rekonstruksi ulang dari suatu kasus daripada unsur seni dari film/sinetron itu sendiri. Jadi, bukan masyarakat yang memilih dan menghendaki, masyarakat tidak memiliki pilihan. Ia disodorkan acara-acara seperti begituan. Saya yakin seyakin-yakinnya. Jika setiap rumah memiliki siaran tv kabel atau minimal punya pilihan. Ia pasti akan pindah kanal ke saluran tv lain.

DAAI TV dan Saya Sekeluarga
Sepasang buah hati saya, Maula Mazin 5 th 8 bln dan Kidung Asmaraloka 2 th 4 bln serta istri saya Pupun Pujiati 34 th 11 bln, dan saya sendiri 36 th 10 bln. Kami keluarga sederhana dan bersahaja. Saya sebagai kepala keluarga kadang memiliki pekerjaan, kadang tidak. Saya tidak memiliki pekerjaan lain selain menulis. Jika sedang tidak ada pesanan artikel, saya pun tetap menulis ihwal apa saja dan siapa saja. Syukurnya lagi anak-anak tidak mengeluh. Jika hari ini bertemu dengan telur, kami makan telur, jika hari ini kami bertemu dengan ikan kami makan ikan. Daging tidak setiap saat bisa kami nikmati. Kami sekeluarga meyakini tidak setiap hari “kesusahan” menghampiri kami, selalu yakin ada rezeki, kasih Tuhan tidak tergantikan.
Indahnya lagi, tetangga dan orang lain tidak bisa menebak, kami tidak punya uang atau tidak. Selalu disangkap punya uang. Sebab, kami selalu tersenyum, bisa berbagi kepada tetangga dan saudara, dan bercanda ria. Prinsip kami, harus selalu menjadikan orang yang dirindukan kehadirannya. Hari-hari kami diisi tawa dan gurau. Tangis dan tawa anak-anak silih berganti mengisi hari, baru juga tertawa setelah itu menangis, baru juga menangis setelah itu tertawa. Seakan-akan anak-anak ingin mengajarkan kepada orangtuanya bahwa hidup adalah surga, tidak perlu terlalu bersedih. 

Rasanya, bagaimana tidak haru untuk membeli pensil saja harus menabung receh, begitu pula dengan buku-buku tulis/gambar. Kesedihan ini bukan lantas untuk dikasihani melainkan ada perasaan yakin, bahwa suatu saat kelak anak akan berbakti kepada orangtua, keluarga dan masyarakatnya. Ia akan bisa belajar menerima. Saya dan istri, saat ini berusaha mencari bea siswa aktif agar anak kami yang baru 5 th 8 bln [SD kelas 1] dapat mengembangkan bakat seni menggambar. 

Sedangkan perkenalan saya sekeluarga dengan DAAI TV, waktu itu siaran drama bersumber dari kisah nyata “Mentari Kehidupan” yang kemudian ada lagi drama “Rembulan di Atas Sungai.” Anak saya Maula Mazin dan Kidung Asmaraloka pada saat itu lagi gemar-gemarnya menonton “Badil dan Blangkon Ajaib” di sebuah stasiun televisi. Jadi, antara anak dan mamanya “berebut” remot untuk mengganti kanal siaran tv. Entah kenapa kedua anak saya mulai jenuh, karena diliatnya sinetron anak tersebut menampilkan “hantu-hantu” dan sebentar-bentar minta tolong kepada blangkon. Mazin yang baru usia 5 th 8 bln saja tau itu tidak baik. “Pak gak enak sinetronnya, gak ada sekolahnya.” Kata Mazin kepada saya. Sinetron Badil memang cerita anak sekolah, tepatnya anak SD. Jujur saja adegan belajarnya nyaris tidak ada. 

Di sisi lain “Rembulan di Atas Sungai” di DAAI TV mulai digemari Mazin. Selain itu, Mazin dan Kidung seperti anak lainnya menggemari juga Upin dan Ipin, Timmy Time, dan Shaun the Sheep.

Sinetron “Rembulan di Atas Sungai” ini luar biasa. Kisah keluarga yang bersahaja, berjuang supaya bisa bertahan hidup. Di Indonesia banyak kejadian realitas sehari-hari, kesedihan, kepedihan, kehilangan. Sebagian PH [production house] di Indonesia malah enggan memproduksi jenis sinetron beginian karena khawatir tidak laku. Jadi, memang sudah berbeda visi. 

Sedangkan saya sudah dipastikan hampir tidak melewati khotbah Master Cheng Yen dan kegiatan relawan “tzu chi.” Saya membacanya dengan kata SUCI. Saya bukan Nasrani, Yahudi, Buddha, Hindu, melainkan terlahir sebagai Muslim. Master Cheng Yen termasuk tokoh idola saya di samping tokoh-tokoh rohaniawan dan tokoh-tokoh lainnya.
DAAI TV gencar sekali menyebarkan benih kebajikan dan berusaha mengajak insan menyelami arti Darma Buddha. Mengapa saudara-saudara saya yang Muslim yang punya uang berlimpah belum bisa atau belum mau membuat hal yang sama? Bukankah Islam itu Rahmat bagi Semesta Alam [manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh isi langit dan bumi]. Dulu sebenarnya pernah ada MQTV AA Gym, kini MQTV sudah “dikremasi” saya tidak tau apakah di Bandung siaran ini masih bisa dilihat. 

DAAI TV Indonesia berdiri pada Oktober tahun 2006. Kata Master Cheng Yen, “Kehidupan telah berubah, jika tanpa perantaraan DAAI TV, maka sisi ketulusan dari kehidupan manusia, tidak akan dapat disiarkan ke seluruh pelosok dunia. Marilah kita bersama-sama melindungi stasiun DAAI TV."
* * *

Comments