Tempe, Buah Tangan Kota Medan!

Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

K
unjungan saya di Kota Medan kali ini dibawakan buah tangan berupa “Tempe.” Saya pikir untuk apa tempe, di Kota Bandung pun banyak. Kata teman saya yang asli orang Medan, “orang kebanyakan hanya mengenal oleh-oleh dari Medan berupa bika Ambon, teri Medan, kopi Medan, ikan pare dan ikan asin, coba sekali-kali rasakan tempe Medan.”
Ternyata benar, ketika tempe digoreng dan saya cicipi. Pertama kali yang saya rasakan adalah gurih kedelai. Harganya sangat murah dan super enak, bayangkan untuk tempe mentah yang belum digoreng 3 bungkus Rp. 10.000, dan 3 bungkus kecil Rp. 5000. Belum lagi kacang kedelainya besar-besar dan berwarna kuning. Selain itu, tempe terasa fresh dan baru. Pendek kata, penggemar tempe pasti jatuh hati.
Karena saya termasuk penggemar tempe. Saya penarasan dan terlintas dalam benak untuk melihat langsung pabrik pembuatan tempe. Apalagi jatah waktu saya di Kota Medan tinggal menghitung hari.
Setelah mengumpulkan informasi di mana dan ke mana harus menuju tempat pembuatan tempe. Saya pergi sendiri dengan menggunakan angkutan umum. Dari tempat tinggal saya, 30 menit lagi ke Bandara Baru Kuala Namu, tepatnya  di Perumahan Perhubungan Indah Blok C-16, Desa Kolam, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang, bisa naik angkot 05 jurusan Tembung-Aksara-Olympia. Turun di pajak [pasar] Tembung, ongkos Rp. 2000, kemudian dilanjutkan naik angkot 65 menuju Pinang Baris.
Sebelum sampai di Kodam 1 Bukit Barisan, turun di Simpang Pondok Kelapa, sekarang orang menyebutnya Simpang Ring Road Gagak Hitam, ongkosnya Rp. 5.000. Dari persimpangan tersebut bisa dilanjutkan dengan angkot 21 yang melewati Jalan Asrama.
Kemudian setelah Perumahan Elit Bumi Asri dan Kantor Badan Pusat Statistik turun di Jalan Setia Luhur/Pasar 1 sebelum rel kereta api, ongkosnya Rp. 1.000. Bisa pula dari persimpangan tadi, naik becak motor langsung ke Jalan Setia Luhur/Pasar 1, ongkos Rp. 5.000. Total ongkos sekitar Rp. 13.000,- dengan waktu tempuh perjalanan 1 jam 25 menit. Tentu saja apabila naik kendaraan roda dua, sepeda motor [kereta, kata orang Medan] akan lebih cepat lagi.
Setiap saya singgah atau jalan-jalan ke suatu kota. Saya pasti lebih memilih angkutan umum, bukan kendaraan rental, kecuali, jika bepergian dengan rombongan.  Alasan saya memilih angkot: ingin merasakan suasana.
Dan kemudian setelah merasakan gerah di dalam angkot. Akhirnya sampai jua, sebelum rel kereta api saya turun. Di Jalan Asmara truk-truk bermuatan besar bersileweran menuju Pelabuhan Belawan. Saya kemudian menyeberang dan langsung menuju ke Jalan Setia Luhur. Deskripsinya sama persis yang digambarkan oleh teman saya yang bernama Nardi.
Saya duduk sebentar, istirahat di sebuah kede [kedai, warung]. Lalu membeli AMDK [air minum dalam kemasan]. Ada satu minuman air mineral di Kota Medan, namanya Amoz. Rasa airnya, saya berani bilang setara dengan air mineral bermerk.
Sesekali pikiran saya terbang ke Bandung. Hawa panas dan terik yang menggigit kulit semakin terasa. Sekalipun demikian, angin bertiup lembut sejuk dan terasa damai. Hal ini tidak bisa saya rasakan lagi di Kota Bandung. Medan adalah kota berhawa panas, namun pohon-pohon rimbun masih banyak ditanam. Di jalanan, di rumah-rumah, saya perhatikan masih ada pohon mangga, jambu, cermai, cheri, bunga-bunga.
Sementara di Bandung tempat yang masih adem-sejuk-tiis hanyalah sepanjang Jalan Ganesha dan Teuku Umar dan sekitarannya. Selebihnya sudah gersang. Bahkan Lembang dan Dago Atas saja tidak seindah dulu.

Pengusaha Tempe Bersahaja
Sesampainya di Jalan Setia Luhur, ternyata tidak begitu sulit mencari tempat pembuatan tempe tersebut. Letaknya di gang pertama kali dari Jalan Setia Luhur tempat mangkal/ngetem angkot 12 dan 45.  
Kesan pertama saya dari luar, tempatnya adem dan rimbun. Di halaman depan yang luas tampak juga beberapa ayam jago adu “bertubuh atletis.”  Kemudian pada samping rumah ada jajaran tong/drum berisi rebusan kacang kedelai. Tidak jauh dari situ, anak-anak kecil sedang bermain karet di antara tumpukan kayu. “Dik, bapaknya ada?” tanya saya kepada anak-anak kecil.
“Ada.” Sambut anak-anak serentak. Mereka lalu bergegas lari ke dalam rumah.
Dan kemudian...
Seorang laki-laki bertubuh tegap, bersorot mata tajam dan percaya diri. Tampilan bersahaja. Ia langsung tersenyum dan menyalami saya, seolah sudah tau saya mau datang. Saya terangkan maksud kedatangan saya mau membeli tempe. Saya minta izin untuk melihat-lihat tempe yang sedang diproses. Sayangnya, saya datang sudah petang hari. Tempe sudah selesai dimasak.
Saya dipersilakan masuk. Tampak di dalam ruangan pabrik dengan plafon yang tinggi dan pencahayaan lampu yang temaram, tempe-tempe siap jual digantung rapi. Sedangkan tempe-tempe yang baru jadi disusun teratur, berjejer rapi. Saya dipersilakan duduk dan dihidangkan “teh manis jambu.” Maksudnya, teh manis yang tidak terlalu manis. Tetapi, manis-manis jambu. Begitulah istilah orang Medan.
Merintis, Berani Memulai  dan Terus Belajar!
Saya langsung membuka obrolan, “Sudah berapa lama abang buka usaha tempe?” Saya panggil abang, karena memang belum terlalu tua dan tidak bisa juga disebut muda. Mungkin usianya sekitar 34 tahun.
“Sekitar 13-14 tahun  lalu sejak tahun 1998 atau 1999.” Jawabnya singkat.
Lalu mulailah bang Hanafi atau biasa disapa Acon bercerita. Awal mula membuat tempe sebenarnya sudah dirintis oleh ayah Acon. Berhubung kurang menunjukkan hasil dan malah menimbulkan utang, tambah lagi tekanan krisis moneter Indonesia di era reformasi sehingga membuat ayah Acon harus merantau ke luar Medan.
Atas dorongan ibunya, Acon diminta berhenti bekerja di pabrik dan mulai “take over” untuk merintis ulang usaha tempe. Masih ingat betul di benaknya akan perkataan sang ibu, “Ini ada sisa kacang, kau buatlah kacang ini jadi tempe. Cemana caranya jadi duit. Dari situlah aku mulai belajar membuat tempe. Sekali bikin tidak langsung berhasil. Sekalipun bapakku tukang tempe dulunya. Aku juga perlu belajar dari tukang-tukang tempe lain. Barulah setelah 8 tahun kemudian bisa membuat tempe dengan kualitas yang sangat disukai konsumen. Termurah, terbaik, terenak, terbesar, pokoknya semua yang untung orang itu. Jadi, kalau kita memenuhi kebutuhan mereka, konsumen bergantung kepada kita. Itu politik dagang aku.” Kata Acon meyakinkan sambil diselingi derai tawa.
Kemudian ia melanjutkan, “sebelumnya ketika merintis dulu. Waktu itu, kutelepon kawan kerjaku dulu. Mail, sekarang aku lagi susah, kau masih kerja? Udah kau berhenti kerja, kugaji kau berapa, pigi kita ke tukang tempe. Dari satu tukang tempe ke tukang tempe yang lain, aku belajar dan semuanya mengatakan hal yang sama, 3 jam, kata-kata itu saja yang teringat.” Acon memperagakan gaya menelepon rekannya yang bernama Mail. Saya mengangguk mendengarkan dengan serius.
Acon meneruskan perkataannya, “kita menganggap otak kita mampu, apa pun ceritanya kita perlu juga belajar dari orang lain. 3 jam, kacang ini 10 menit pun bisa masak, cuma dia gak boleh 10 menit, 15 menit dia bisa lonyot. Api tadi dikecili, masaknya dia harus slow. Kayu itulah stelannya, taksir, bukan hitung pake komputer. Kayu pada musim panas, dan pada musim hujan akan berbeda dalam pembakarannya. Setelah kacang direbus, diangkat ditaruh di tong drum, bisa juga di dandang alumunium.”
“Setiap hari apakah harus membeli bahan kacang kedelai?” tanya saya penasaran.
“Iya, belinya dipajak 150 kg. Jumlah ini akan terus bertambah sejalan permintaan konsumen yang terus meningkat.”
“Lalu kayu-kayu itu belinya di mana dan berapa banyak?” tanya saya.
“Itu kayu sampah sisa-sisa meubel. Kayu yang termurah dari kayu, arti kata kayu ini dari pabrik. 1 pick-up Rp. 140.000. Sekali beli 4 pick-up. Taksirannya 1 pick-up kayu untuk 2 hari.”
Kemudian dari dalam rumah. Datang seorang bocah kecil sekitar 1 tahun menangis dan menghampiri Acon minta digendong.
“Siapa ini namanya?” tanya saya.
“Anggi om.” Kata Acon. Setelah menggendong dan menimang-nimang anak sebentar, tangis Anggi mulai reda. Lalu Anggi diserahkan kepada tantenya.
Pembicaraan dilanjutkan. Acon menyalakan rokok dan menyeruput kopi. Saya mereguk teh manis hangat dan melanjutkan pertanyaan.
“Ngomong-ngomong kenapa tempe bang Acon tidak memakai merk tertentu.”
“Seperti yang kubilang tadi. Politik dagang aku, terpenting sudah bisa membuat konsumen puas dengan terenak, termurah, terbesar, apa lagi. Dengan demikian sekalipun itu ditaruh di kede [kedai]. Lidah mereka bisa membedakan mana tempeku atau tempe orang lain. Masalahnya, apa bisa menjamin selalu kualitas kita. Selain itu, aku tidak bisa menjamin kualitasku. Walaupun bisa kujamin, belum tentu terjamin.” Kata Acon bersemangat. Untuk kalimat yang terakhir ini saya agak berpikir sedikit, apa maknanya.
“Wah kalau konsumen tau perkataan itu, belum bisa menjamin kualitas. Apa mereka gak pada lari.” Timpal saya.
Acon memberi ilustrasi. “Misalkan ginilah, tempeku kukasih merk Sempurna atau merk lain. Agen lalu menjual tempeku. Agen di sini bisa kede, bisa juga orang yang menjual ke kede-kede. Kede yang sudah dimasuki agen, aku tak boleh masuk. Karena itu jatah agen. Aku sendiri sama asistenku jualan di pajak sambil terus belajar dan berpikir mencari pelanggan. Contoh, tempe yang kukasih merk Sempurna tadi, dibeli oleh orang dan dia rasa kurang enak. O tempe merk Sempurna, gak Sempurna. Hancurlah itu merk. Padahal bisa saja, dia membeli tempeku yang mungkin kurang laku di kede sudah berapa hari. Agen harus ligat dan lincah cari pembeli. Memang tempe tadi masih boleh dimakan tapi udah beda rasanya. Itulah kenapa aku memutuskan tak pakai merk. Akhirnya, mereka juga datang padaku. Bisa beli langsung, dapat yang baru, terenak, termurah, terbesar, terbaru.” Lagi-lagi Acon tertawa mengingat rumus politik dagang yang ia kembangkan.
Bang Hanafi atau biasa disapa Acon. Kembali menyalakan rokok. Sesekali matanya memandangi jajaran tempe yang baru jadi dan siap jual keesokan harinya.  
 Saya kembali bertanya, “Mengapa tempe abang menggunakan plastik bukannya daun pisang atau daun jati?”
“Plastik lebih praktis. Kerja kita lebih ringan. Tempe dalam kemasan plastik asal bisa menjaga ukuran oksigen dan kadar air. Sedangkan tempe daun rata-rata lebih cepat hitam apabila setelah dipotong atau dibelah. Misalnya beli 30 batang, tidak dilakukan perawatan. Main asal tumpuk tempe, oksigen terbatas. Tempe perlu perawatan, kenapa? Karena tempe tumbuhan, makhluk hidup seperti bunga dalam pot. Tumpuk tempe saling berinteraksi, beradu panas, bunuh-bunuhan jamur, rebutan oksigen. Bakteri masuk, sistem tempe antibiotik. Jamur tadi menjaga biar supaya kacang jangan busuk. Kalau ada waktu sebaiknya liat sendiri langsung prosesnya supaya paham.”
“Lalu bagaimana caranya mengembangkan “politik dagang” sehingga tempe tanpa merk ini bisa diminati dan jadi oleh-oleh alternatif dari Kota Medan.”
“Ha-ha-ha. Politik dagang.” Acon tertawa dan meneruskan perkataannya, “sederhana saja, memuaskan konsumen dengan rumus terenak, termurah, terbesar, dan tentu saja tempe sehat! Saat ini aku masih jual tempe mentah aja. Mungkin nanti yang akan datang, ada yang langsung digoreng, dibuatkan counter. Khusus untuk jual tempe mentah, aku punya mitra agen, agen kecil inilah yang menjadi tulang punggung promosi mulut ke mulut.”
 Tidak terasa hari sudah mulai sore. Ingin sekali rasanya ngobrol panjang lebar. Kemudian dengan hati senang. Sebelum pamit, saya dibekali tempe sebagai oleh-oleh dari Kota Medan. Saya juga membeli tempe untuk saudara dan kerabat.
Kami bersalaman erat. Tidak berapa lama datang seorang tamu. Turun dari motor [kereta, kata orang Medan]. Ia langsung menanyakan ayam. Ternyata bang Acon ini punya hobi memelihara ayam jago khusus aduan.
Kini, kamus kuliner saya bertambah, ternyata Kota Medan punya alternatif oleh-oleh selain yang sudah biasa saya bawa ke Bandung seperti bika, teri, bolu, dan banyak lagi.
Sekali-kali, teman-teman boleh coba. Tempe Acon, khas asli Medan, enak, gurih, baru, murah, dan sehat, Patennn![]






Comments