Tradisi Khitan Masyarakat Alas, Kutacane




Awal Mei 2012 seorang adik ipar menghubungi saya dan suami. Ia dan suami mengundang kami sekeluarga menghadiri acara khitanan putra pertamanya. Acara diadakan tanggal 21 Juni 2012 bertepatan dengan hari libur sekolah, kenaikan kelas.  
Adik saya tinggal di ujung Timur Provinsi Aceh melewati gunung dan lembah, tepatnya di Kutacane, Aceh Tenggara. Kota tersebut dikelilingi pegunungan Leuser dan dialiri sungai Kali Alas. Saya sangat antusias, penuh semangat dan tidak sabar menunggu hari keberangkatan.
Perjalanan dari Kota Langsa, tempat tinggal saya menuju Kutacane harus melewati Kota Medan, Berastagi dan Kabanjahe di Sumatera Utara. Perjalanan memerlukan waktu kurang lebih 10-12 jam. Persiapan pun dilakukan mulai dari perbekalan makanan, karena kami akan melewati daerah pegunungan tanpa restoran, warteg apa lagi food court. Selain logistik, perbekalan obat-obatan juga mutlak diperlukan, minyak angin, obat maag, obat diare, anti mabuk perjalanan, analgesik dan tidak lupa antiseptik dan kain kasa.
Persiapan harus sempurna dengan memperhitungkan kemungkinan buruk di perjalanan. Dan karena kami akan menghadiri sebuah acara keluarga, para partisipan pun adalah seluruh anggota keluarga besar suami saya; papa, mama, adik, kakak, abang, om, tante, sepupu, keponakan dan tidak lupa sejumlah tetangga turut serta, komplit beserta pasangan dan anak-anak. Semua tidak hanya hadir sebagai tamu undangan melainkan juga sebagai tenaga “bantu-bantu” saat sebelum acara dimulai dan setelah “kenduri” hajatan.

Perjalanan Dimulai
Selasa pagi yang ceria, dua hari sebelum hari H, 19 Juni 2012, pukul 08.00 waktu setempat. Sebelumnya sudah 3 mobil rombongan keluarga yang berangkat. Giliran saya berangkat 2 mobil, full people. Dengan mengucap, “Bismillah” kami pun memulai travel kali ini.
Sampai di kota Medan peris tengah hari. Seorang sepupu kecil saya melihat pesawat terbang yang baru take off. Ia tidak pernah melihat sebelumnya, karena di tempat saya tinggal tidak ada airport. Ia pun memandang takjub seraya berteriak, “Lihat kaka...itu ada pesawat remot!”
“Haha...,” seluruh rombongan tertawa. Si kecil mengira pesawat itu adalah pesawat mainan yang diterbangkan dengan remot. Kelucuan itu sedikit mengurangi lelah perjalanan.
 Setelah sempat 30 menit kami tersesat dalam perjalanan Medan-Berastagi, waktu Zuhur pun tiba. Saya dan rombongan berhenti sejenak melaksanakan kewajiban dan memberikan hak kepada tubuh untuk istirahat dan makan siang. Kami singgah di sebuah mesjid yang bernama Al-Akmal. Letaknya, persis di depan sebuah pusat rehabilitasi pecandu narkoba yang juga bernama sama dengan mesjid tersebut.
Mesjid yang kami singgahi menenangkan hati, menenangkan mata, tubuh dan pikiran.  Tempatnya bersih dan terawat rapi. Mesjid ini memiliki “bale” tempat pengajian berbentuk balai, kolam dan taman.
Seluruh rombongan istirahat dan makan siang. Menikmati “engkot asam-keueung” (ikan asam pedas), kuah “pliek-U” (sayuran khas Aceh berbumbu kelapa yang dibusukkan) dan tidak lupa kerupuk “mulieng” (emping melinjo).
Setelah makan siang, sebelum perjalanan dilanjutkan terlebih dahulu sesi berfoto dilakukan. Saya mengabadikan tempat, pohon, kolam, mesjid dan momen kebersamaan bersama keluarga.

Berastagi—Kabanjahe—Kutacane
Melewati Berastagi, perjalanan berlanjut ke Kota Kabanjahe ibu kota Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kota ini dikenal dengan hasil pertanian seperti kol, wortel dan brokoli. Sepanjang perjalanan, saya melihat kebun jeruk yang mulai masak, berwarna kekuningan, sungguh mengundang selera. 


Seorang keponakan saya sedikit merajuk minta berhenti ingin memetik jeruk. Tentu saja hal tersebut tidak mungkin saya lakukan. Saya menghiburnya dengan menunjukkan perjalanan indah dalam perjalanan. Kota ini seperti dipeluk oleh dua gunung api aktif Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung.
Selanjutnya tidak dapat lagi saya gambarkan, betapa melelahkan perjalanan ini. Sepanjang Kabanjahe-Kutacane pemandangan yang tampak hanya gunung ditutupi ladang jagung kering, lembah dan jalan berkelok yang berdebu. Tampak pula gunung batu cadas yang rawan longsor. Sepanjang perjalanan saya berdoa semoga kami semua dilindungi Tuhan. Sesekali saya bergurau dengan suami yang sedang menyetir mobil agar ia tidak ngantuk.

Kutacane Kami Datang
Tepat pukul 10 malam, kami sampai di Kutacane. Hujan deras seolah memberi ucapan selamat datang. Di rumah Susi, adik ipar saya suasananya ramai. Saya melihat dua orang anaknya. Si Sulung bernama Alfi dan adiknya bernama Alif. Keduanya  duduk  di atas kasur yang dilapisi kain khas adat suku Alas Kutacane. Mereka sedang memakai inai di ujung kuku.
Susi adik iparku itu berbisik menjelaskan, “Dalam budaya Alas Kutacane pesta khitanan diadakan empat hari empat malam. Hari pertama, kedua dan ketiga dihadiri oleh kerabat dan tetangga dekat. Mereka memasak rendang dan lemang pulut. Persis seperti masakan khas dari daerah Sumatera Barat.
Anak yang akan dikhitan akan di “peusijuk” atau dalam bahasa Melayu sering disebut acara “tepung tawar.” Anak yang akan dikhitan diperciki air yang telah diberi jeruk purut dengan menggunakan seikat daun dan rumput khusus sebagai pertanda diberi keselamatan. Sayang sekali momen penting ini tidak sempat saya abadikan karena terlanjur letih menempuh perjalanan.

Tradisi Perayaan Khitanan “Naik Kuda” Keliling Kota
Puncak acara pun tiba [lihat foto di sini]. Hari itu adalah hari keempat perayaan. Pelaminan telah disiapkan. “Pengantin” khitanan duduk di atasnya. Seluruh keluarga berkumpul. Undangan yang hadir adalah para tetua adat dan kampung serta rekan-rekan sejawat dari orang tua mereka.
Saya sedikit heran. Pukul 3 sore hajatan selesai. Tenda ditutup, hidangan dibersihkan. Walaupun kami memiliki seorang adik yang tinggal di Kutacane. Saya sama sekali tidak mengetahui adat setempat.
Pukul 3 sore belumlah terlalu sore paling tidak mungkin masih ada tamu yang akan datang. Seorang kerabat dari pihak suami adik ipar menjelaskan, setelah acara tersebut akan dilaksanakan acara “naik kuda.” Saya baru mengerti mengapa hajatan diselesaikan lebih cepat dari yang biasa dilakukan di tempat saya tinggal.
Dalam tradisi budaya masyarakat Alas yang mendiami Kutacane dan sebagian Aceh Tenggara. Anak yang akan dikhitan harus melewati proses naik kuda. Mereka akan diarak naik kuda keliling kota dengan menggunakan pakaian adat. Saya dan keluarga mengiringi di belakang anak yang akan dikhitan, juga dengan pakaian adat yang telah disiapkan sebelumnya. Seluruh keluarga pun bersiap menjalani acara ini.
Suami saya terkesan agak gugup ketika harus menukar pakaiannya dengan pakaian adat setempat. Maklumlah, terakhir kali kami menggunakan pakaian adat Aceh adalah ketika pesta pernikahan 10 tahun silam.
Pakaian adat Alas Kutacane tidak sama dengan pakaian Aceh. Ini adalah sesuatu yang baru buat kami. Apalagi buat suami saya yang berdarah Ambon. Saya jelaskan kepada suami, “kita pantas berbangga karena kita memiliki keluarga yang Bhinneka Tunggal Ika.”
Ada 20 ekor kuda yang akan keliling kota. 2 ekor kuda untuk Alfi dan Alif yang akan dikhitan. 1 kuda untuk ayahnya, 1 kuda untuk ibunya. Bila ada anggota keluarga yang lain, mereka akan bergantian mengiringi dengan menaiki kuda. Saya hitung tidak kurang dari 30 pasang orang berpakaian adat Alas Kutacane. Termasuk saya dan suami.
Pakaian adat Alas Kutacane memiliki tampilan khas. Walaupun berada pada provinsi yang sama; Aceh, akan tetapi adat Alas berbeda sekali. Di Aceh terdapat 13 etnik yang terdiri dari masyarakat Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Jawa, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias. Bahasanya pun berbeda-beda.
Paling unik adalah bentuk hiasan di kepala wanita, mereka menyebutnya “bunga.” Bentuknya berupa bulatan yang terbuat dari benang warna-warni. Dironce [diuntai] menjadi satu dan diletakkan di kepala wanita. Disebut bunga mungkin awalnya memang berupa bunga. Perkembangan zaman mengubahnya menjadi bulatan yang terbuat dari benang. Itu menurut saya. Sebab, saya tidak mendapatkan keterangan pasti mengenai bentuk bunga yang unik ini.
Kami pun bergerak mengelilingi Kota Kutacane. Iring-iringan yang ramai ini diikuti keluarga dan para tetangga. Mereka menaiki apa saja yang bisa dinaiki. Sepeda motor, mobil bahkan odong-odong. Jangan bayangkan keramaian ini akan memacetkan kota. Kutacane adalah kota kecil untuk ukuran ibu kota kabupaten.
Barisan pakaian adat yang mirip dengan festival atau karnaval 17-an ini sama sekali tidak mengganggu kelancaran lalu-lintas kota. Para penduduknya juga terlihat biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada yang merasa tertarik dengan buru-buru mengambil kamera misalnya. Kejadian seperti itu sudah sering mereka lihat. Pawai adat berakhir tepat saat azan Maghrib berkumandang.

Dikhitan Tidur di Halaman Rumah
Tadinya saya berencana akan beristirahat setelah seharian naik kuda. Susi adik ipar saya mengajak menyaksikan proses akhir dari adat khitanan. Ia memberi penjelasan, malamnya adalah saat untuk dikhitan dan perlu melewati proses adat satu kali lagi. Mantri telah hadir alat-alat pun telah disiapkan.
Peralatan khitan disiapkan, jarum suntik, kapas, kain kasa. Tempat sehabis khitan juga dipersiapkan. Anak yang akan dikhitan tidur di halaman rumah mereka sampai keesokan pagi. Ditemani oleh ayah dan mame (paman) mereka. Kasur beralas kain khas juga telah disiapkan. Di atas kasur digantungi payung dan bunga yang dipakai di kepala wanita dalam pakaian adat.
Proses khitan dilaksanakan di halaman rumah. Disaksikan keluarga inti. Ibu dari yang akan dikhitan beserta 2 orang bibi mereka harus merendam tangan ke air yang ditempatkan di dalam baskom. Air tersebut diberi perasan jeruk purut. Mereka tidak boleh mengangkat tangan hingga proses khitan selesai. Hal tersebut dilakukan agar anak yang dikhitan tidak merasakan sakit.
 Adik saya menjelaskan, perlu ada dua orang wanita wakil dari keluarga pihak ibu dan pihak ayah yang akan dikhitan berikut Susi adik saya. Telah diputuskan, yang mewakili pihak ibu adalah kakak ipar saya dan seorang ibu-ibu lagi yang mewakili pihak suami. Mereka bertiga harus memakai pakaian adat.
Banyak anak-anak yang penasaran ingin melihat bagaimana proses khitan, maklum di tempat terbuka. Namun bagi anak perempuan walau sudah tua tidak boleh melihatnya. Saya sempat dimarahi oleh seorang bapak karena mencoba melihat. Hanya laki-laki yang mengelilingi anak yang akan dikhitan. Setelah khitan selesai Alfi dan Alif ditidurkan di kasur yang telah disediakan sampai esok pagi.
Saya sedikit cemas. Takut anak-anak itu akan kedinginan, karena Kutacane dikelilingi oleh Gunung Leuser yang pasti dingin sekali. Namun saya lihat anak-anak itu biasa saja malah terlihat gembira.
Paginya hati saya lega melihat anak-anak baik-baik saja tidak terlihat seperti kedinginan waktu malam. Mungkin karena telah biasa merasakan dinginnya udara Leuser.
Pantai Goyang
Proses adat selesai kini waktunya jalan-jalan. Tujuan kami adalah “Pante Goyang” (pantai goyang). Pante goyang adalah sebuah aliran Sungai Kali Alas yang berarus deras dan berbatu-batu. Disebut pante goyang karena sering ada hiburan dalam bentuk organ tunggal untuk menghibur yang membuat pengunjung bergoyang. Lucu sekali.
Kali Alas membelah Kutacane dan terlihat sempurna. Perjalanan menuju pante goyang melalui jalan menanjak dan berliku. Dari puncaknya terlihat Kutacane yang dikelilingi Gunung Leuser. Kota kecil itu seperti sesuatu di dalam mangkuk, benar-benar di tengah-tengah gunung. Dan Kali Alas yang mempesona memiliki delta yang hampir menyerupai pulau kecil. Delta tersebut ditumbuhi pohon-pohon.
Keesokan harinya, saya dan rombongan pulang kembali menuju Langsa. Lelah di perjalanan benar-benar terbayar lunas dengan pengalaman yang kami rasakan. Dan suami saya-lelaki berdarah Ambon itu bergurau dengan adiknya ketika akan berpamitan, “Beta datang bukan dari Maluku, beta datang dari Kutacane.” Katanya dengan aksen Ambon yang berharmoni dengan aksen Aceh. Seluruh keluarga pun tertawa.
Tuhan telah memberi kita Kutacane. Kecil, polos, sederhana dan indah. Tinggal kita menjaganya, merawat dan menjadikannya lebih baik lagi. Agar pemberian-Nya itu benar-benar berarti.[]

keterangan gambar:
Istirahat sejenak. Jalan sepanjang Kabanjahe Berastagi tampak bukit tandus. Saya dan suami mengenakan pakaian adat masyarakat Alas, Kutacane. Persiapan khitanan di halaman rumah. Selama proses khitan berlangsung. Tiga wanita ini merendam tangannya di dalam baskom air berisi perasan jeruk purut. Hal ini dimaksudkan agar anak yang dikhitan tidak merasakan sakit.

Hawa dingin Gunung Lauser tidak menghalangi anak yang dikhitan tidur di halaman rumah. Ditemenai oleh kerabat dan keluarga. Pagi hari saat bangun, mereka tersenyum gembira. Keindahan panorama sungai Kali Alas yang berarus deras dan berbatu-batu. Kutacane yang dikelilingi Gunung Leuser. Dan Kali Alas yang mempesona memiliki delta yang hampir menyerupai pulau kecil dan ditumbuhi pohon-pohon. Kutacane sebuah kota kecil, polos, sederhana dan indah. Terima kasih Tuhan. Perjalanan ini benar-benar sangat berarti dan berkesan.
Silakan klik Versi lengkap disertai foto di sini: Tradisi Khitan Masyarakat Alas, Kutacane

Comments