Tradisi “Uroe Mak Meugang” di Aceh, Ramadhan 1433 H


Tradisi “Uroe Mak Meugang” di Aceh, Ramadhan 1433 H
Oleh: Rahayu Rachman

P
enghujung Sya’ban telah tiba. Ramadhan di ambang pintu. Semua orang menata diri, menyiapkan batin, hati, dan materi. Hati dan badan dikuatkan agar senantiasa sehat selama melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadhan. 


Tradisi turun-temurun masyarakat Aceh menjelang sehari atau dua hari sebelum puasa Ramadhan adalah dengan memotong hewan atau yang biasa disebut “Uroe Mak Meugang” ---Hari Mak Meugang. Kata orangtua dulu, “tradisi ini sudah ada sejak masa raja-raja Aceh.”
Di Jumat yang dingin, mendekati akhir Juli 2012, pagi-pagi sekali saya bergegas menelusuri jalan di Kota Langsa, Aceh Timur, mencari menu masakan “mak meugang” untuk menyambut Ramadhan.

Mak Meugang adalah hari di mana masyarakat memotong hewan lemoe [lembu], sapi, keubeu [kerbau], kame’ng [kambing), itek [itik, bebek] dan manok [ayam]. Semua jenis daging itu akan dimasak sesuai selera masing-masing. Umumnya daging sapi, lembu, kerbau, ayam diolah dan dimasak rendang. 

Tidak hanya masyarakat Minang yang mengenal masakan rendang. Masyarakat Aceh pun menjadikan rendang sebagai satu di antara ciri khas kuliner Aceh. Jenis rendang Minang berbeda dengan rendah Aceh. Rendang Minang rasanya lebih pedas karena menggunakan banyak cabe dan sedikit jenis bumbu. Sedangkan rendang Aceh terdiri dari bumbu yang beraneka ragam. Mulai dari kelapa gongseng [kelapa parut, disangrai kemudian dihaluskan], jinten, kemiri, kapulaga, jahe, kunyit, lengkuas, cabe, bawang merah dan putih serta perasan santan.

Selain rendang sapi, kari kambing juga tidak boleh dilupakan dan dilewatkan. Kari kambing adalah masakan Aceh yang mendapat pengaruh dari India. Masakan ini termasuk masakan yang sangat digemari masyarakat Aceh. Sementara ayam dan bebek pada umumnya dimasak gulai putih.

Mak Meugang---Tahun Ini Tidak Makan Daging 

Sehari sebelum mak meugang, saya dan suami mengunjungi mertua. Mertua saya menjelaskan, tekanan darahnya naik sehingga hari mak meugang mereka tidak ingin makan daging. Demikian pula dengan kedua orangtua saya, mereka juga tidak ingin makan daging karena alasan kesehatan. 

Karenanya, kami memutuskan, mak meugang tahun ini tidak makan daging. Kami hanya membeli seekor bebek atau itik dan rencananya akan saya masak gulai putih. Bukankah tidak ada rencana makan daging? Makan daging yang saya maksudkan dan bagi sebagian besar masyarakat Aceh adalah sapi dan kerbau, sementara ayam dan bebek tidak pernah dikatakan sebagai “daging.” Dan tentu saja karena hari mak meugang, hari istimewa.  Tidak ada yang tidak makan daging, semua pasti akan makan daging walaupun ayam dan bebek.


Mencari Bumbu
Sepanjang jalan saat mencari bumbu, keramaian orang tumpah-ruah di mana-mana. Kendaraan sudah tidak bisa lewat lagi. Saya berjalan kaki. 

Sibuk melihat-lihat bebek yang sehat dan berdaging banyak. Setelah dapat apa yang saya cari, sayapun melanjutkan perjalanan dengan tujuan mendapatkan bumbu. Sebenarnya bumbu masakan itu seharusnya dihaluskan oleh ibu-ibu dengan menggunakan batu yang disebut dengan “batu giling.” Batu tersebut memiliki bentuk bulat seperti tabung sedangkan bagian yang dijadikan tempat menghaluskan berbentuk kotak. 

Berhubung saya telah mengubah diri menjadi “ibu-ibu masa kini” maka saya mencari bumbu yang lebih praktis tanpa digiling secara manual. Walaupun ini akan sangat membedakan rasa. Biasanya ibu-ibu akan menjual jenis bumbu yang sudah dihaluskan, tinggal sebutkan saja masakan apa yang akan dimasak. Beres! Sayapun memilih bumbu gulai putih sesuai rencana.
Dalam perjalanan pulang, saya bertemu seorang bapak yang tidak saya kenal. Ia menjinjing satu kaki sapi, saya perhatikan sepertinya daging bagian paha sudah agak berkurang. Mungkin sudah dibeli orang sebelumnya. Bapak tersebut hanya menenteng begitu saja kaki lembu dengan sebelah tangan tanpa dibungkus kantong plastik.

Ada satu kebiasaan yang membuat bangga, apabila bisa membelikan 1 kaki lembu untuk keluarganya, dan akan merasa sedih sekali bila di hari mak meugang hanya sedikit membeli daging. Entah siapa yang mengawali pemikiran tersebut. Apalagi bila daging tersebut dibelikan oleh “melintee” atau menantu kepada “mak tuan atau yah tuan” atau ibu dan ayah mertuanya.

Mengolah Masakan Mak Meugang
Adegan selanjutnya adalah menuju dapur. Saya membersihkan daging bebek yang baru saya beli, menumis bumbu dan memasukkan santan. Biarkan sekitar 45 menit. Selesai. Bebek gulai putihpun siap disantap sebagai menu makan siang di hari mak meugang ini. Saya membawa masakan yang telah saya buat ke dalam wadah rantang. Saya dan suami mengunjungi orang tua dan mertua. Kami makan bersama, saling bersalaman dan bermaafan menyambut Ramadhan.

Sebenarnya inti dari tradisi mak meugang adalah kebersamaan keluarga. Setiap orang akan menghabiskan waktu tersebut untuk makan siang bersama keluarganya. Bagi rekan-rekan yang tinggal di perantauan jauh dari keluarga akan sangat terasa sedih bila mak meugang berjauhan. Mereka pada umumnya mengucapkan selamat menyambut puasa melalui telepon, sms, fax, facebook, twitter atau menulis di sebuah blog.
Kepada semua kerabat, sahabat, siapapun yang sedang merindukan keluarganya, baik dekat maupun jauh. Terimalah pesan tulus ini: “Selamat Menyambut Shaum Ramadhan 1433 H, Mohon Maaf Lahir Batin.”

Bersambung...



Comments