Bukit Kincir Angin

Bukit Kincir Angin

Oleh: Setiadi R. Saleh

Di ufuk sana ada kerisauan. Hening bergantian mengisi senyap. Kesedihan lama-lama seperti batu. Kebahagiaan menjadi tawar, mendebur pecah di angkasa. Aku bukanlah apa-apa dari kehidupan ini. Rasanya takdir diri laksana sebatang jalan yang ditumbuhi lumut. Sedikit saja dapat membuatku tergelincir.

Aku tau, aku tidak boleh begini. Terus-terusan mengikat masa lalu dalam kekinian sehingga hari depan pun seakan-kan tidak ada lagi. Ketika harapan sudah tidak ada, tidak akan lagi cita-cita. Cita-cita harus diwujudkan, jika tidak, ia akan tinggal cerita-cerita.

Kata pepatah, “harapan adalah sarapan pagi yang baik dan makan siang yang buruk.” Aku tidak peduli dengan pepatah itu. Saat ini terpenting bisa bertahan hidup tanpa harus merugikan orang lain dan membohongi diri sendiri. Sesusah apa pun sebaiknya orang tidak perlu tau. Bawalah diri untuk senantiasa gembira. Biarkan orang berpikir sesuai apa pun persangkaan mereka. Jangan menjelaskan apa pun dan jangan buka pikiranmu kepada orang lain. Tugasmu hanya berbuat baik kepada semua orang. Bukan menyenangkan hati semua orang. Karena itu, setelah satu tahun kembali ke tanah Sumatera. Sebulan setelah ulang tahun yang ke-36. Aku kembali merantau meneruskan tradisi keluarga dan mencari peruntungan baru. Bukan berarti keadaan yang sekarang tidak beruntung. Apa yang terjadi saat ini, di sini dan kini, itu adalah yang terbaik.

Bapak menyuruhku ke Rantau Panjang Peureulak Aceh Timur dan memintaku melamar di perusahaan minyak Medco. Lamaran sudah aku email sebelumnya. Jadi, ketika sampai di tempat tujuan, aku akan menyerahkan lamaran ulang. Dan pada hari yang ditentukan akhirnya aku pergi. Istri menahan tangis dan anak-anak terasa haru melepaskanku. Semua harus kutekan di dalam hati agar lebih tabah.
    “Aku berangkat dulu Ma. Abang jaga adik.” Hanya dua potong kalimat itu yang dapat kuucapkan. Istri memelukku dan kedua anak-anakku merangkul erat rapat. Seakan-akan tidak hendak lekang. 
    Bus Anugerah jurusan Medan-Banda Aceh yang kutunggu lewat. Aku menyetop dan duduk di deretan depan sesuai nomor bangku waktu memesan tiket. Sudah lama aku tidak naik bus besar. Terakhir kali naik bus ALS tahun 1998 dari Medan menuju Bandung ketika selesai liburan kuliah.
    Setibanya di Rantau Panjang Peureulak, Aceh Timur. Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 Jam dari Medan. Sampai juga aku di Rantau Panjang Peureulak. Bapak senang sekali berjumpa denganku. Maklumlah setelah sekian tahun baru kali ini bertemu lagi. Kurasa setelah aku menjadi orangtua, ada dua hal yang tidak bisa ditunda lagi yakni: berbuat kebajikan dan berbakti kepada orangtua. Dan orangtuaku langsung membuka pertanyaan.
    “Apa kabar bang, bagaimana perjalanannya. Ayo kita makan dulu?” Sejak kecil aku dipanggil abang.
    “Kabar baik, oke Abah.” Aku memanggil bapak dengan sebutan abah. Mamaku sudah meninggal, abah lebih memilih menyendiri dan tidak menikah lagi. Aku menaruh tas rangsel di lantai. Kamera digital dan smartphones aku bawa. Lalu kami makan di sebuah kedai yang tak jauh dari rumah. Suasana Kota Rantau Panjang 2012 tidak lagi ramai seperti era tahun 1970-1980 yang kala itu perusahaan Asamera Oil sedang jaya-jayanya. Banyak pendatang dari Jakarta, Medan, orang asing terutama orang Amerika dan Kanada sehingga penduduknya terbiasa berbicara dalam Bahasa Inggris. Sekarang semua itu tidak ada lagi. 
Kini perusahaan Medco mulai menancapkan taji dan pelan-pelan membangun infrastruktur agar bisa mendapatkan minyak bumi dan gas alam.   

Hari merangkak malam. Sepi sekali. Bahkan suara serangga malam pun tiada. Aku tertidur cepat sekali, mungkin sedikit lelah dan tengah malam sudah terbangun. Abah sedang shalat Tahajud. Aku duduk sebentar mengambil air hangat dan kami berbicara seadanya. Setelah itu tidur kembali.

Esok paginya setelah sarapan bekal kemarin. Abah pergi ke ladang. Aku bergegas mencari tumpangan ojeg sepeda motor untuk berkeliling Rantau Panjang sambil menyerahkan berkas lamaran.
* * *

Singkat kata, tidak terasa dua bulan juga berada di Rantau Panjang Peureulak. Lamaran belum juga menemukan titik terang.  Jenuh sudah mulai hinggap dan kangen sama anak-anak mulai tidak terbendung. Beruntung abah mengenalkanku kepada seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD] namanya Ratna Cempaka. Sehingga apabila ada waktu, selepas membantu abah mengurus ladang. Aku mampir ke PAUD Mungil yang letaknya berada di atas bukit namanya Bukit Kincir Angin.

Ratna Cempaka tipikal perempuan unik, cerdas, dan sederhana, selalu berkerudung rapi. Sudah berulang kali kuperhatikan, wajahnya pun tidak cantik, tidak manis. Tetapi, ada sesuatu yang sangat kuat dalam batinnya membuat laki-laki yang berbicara kepadanya seperti mendapatkan tempat dukungan. Beberapa kali aku bertemu dengannya. Jarang sekali terucap dari mulutnya sebagaimana perempuan pada umumnya yang lebih mengedepankan pakaian, jalan-jalan, senang-senang. Lebih sering dari mulutnya keluar soal cita-cita bagaimana agar anak muridnya maju, bisa saling berbagi, bekerja sama, adil dan bukan saling mengungguli. 

Terus terang saja, pertama kali aku menginjakkan kaki di Bukit Kincir Angin. Aku langsung jatuh hati. Masyarakatnya sangat mandiri. Mereka membuat listrik sendiri, bercocok tanam, dan memanfaatkan ternak untuk membantu tugas manusia tanpa menyakiti hewan. Aku mencoba mencari tau, apakah ada tokoh di balik ini semua. Ternyata ada tiga orang tokoh, satu di antaranya abahku. Aku bangga dan kenapa abahku tidak menceritakan ini semua. Malah membiarkannya aku tau sendiri dari orang lain.

Usut punya usut, sekitar tahun 1960 penduduk setempat sudah mengajukan permohonan untuk dibuatkan listrik oleh pemerintah setempat. Ternyata sampai sepuluh tahun tidak terwujud. Atas prakarsa tiga tokoh tadi warga membangun Kincir Angin di atas bukit sebagai tenaga pembangkit listrik sederhana. Jadi setiap kali pemerintah daerah setempat menawarkan bantuan. Mereka tolak dengan alasan, mereka mau berdikari dan kenyataannya mereka bisa. Listrik mereka buat sendiri, pertanian organik mereka kelola, ternak mereka kembangbiakkan. Dan masyarakat setempat pun tidak begitu peduli dengan berita-berita di televisi. Bukit Kincir Angin terletak di suatu dusun yang berbatasan dengan “negara lain” yang mengaku-aku memiliki sumber kekayaan berlimpah tapi rakyat dan petaninya tetap miskin, dialah negara Indonesia. Mereka menyebutnya perbatasan, walaupun mereka tinggal di Indonesia. Itu untuk menunjukkan bahwa mengapa dahulunya tidak ada kepedulian. Baru setelah maju mengaku-ngaku.

Perjalanan ke Rantau Panjang Peureulak memberi pelajaran bagiku. Abah juga yang mengatakan, “Mengapa kita hidup di negara sendiri. Kita malah tidak punya apa-apa. Mengapa setiap di daerah yang bergolak selalu dianggap ingin memisahkan diri. Mengapa harus selalu dicurigai. Tidak bisakah sedikit kita membuka hati bahwa semua itu karena cinta. Kami pun dulu begitu, lihatlah sekarang ketika kami sudah mandiri. Kami hidup seperti laiknya orang-orang dulu. Tidak terlalu peduli televisi dan berita. Kami bisa makan, anak bisa sekolah mengaji. Panen saling berbagi. Bukankah kebahagiaan ada dari dalam diri.” Sepanjang jalan aku merenung saja.

 Dan dusun di bawah kaki Bukit Kincir Angin masih seperti dulu, tanpa riak, tanpa titik didih.[]

* * *

Selesai

Comments