Agama Pada Mulanya “Teaching”


Oleh: Setiadi R. Saleh
Doa
Tinggal padaku Roh Ilahi
Dengan cahya-Mu, Sinar Surgawi
Secercah pun memadai sudah
Untuk meneguhkan yang lemah dan yang goyah
Untuk membangkitkan yang lelah dan yang rebah
Memandu yang sesat dan kehilangan arah

Tinggal padaku Roh Ilahi
Dengan daya kuasa-Mu yang membaharui
Serambut pun cukup bagiku
Untuk menghaluskan yang keras dan kaku
Untuk meluluhkan yang beku dan membatu
Menyiram yang kegersangan dan layu

Tinggal padaku Roh Ilahi
Dengan kasih-Mu yang menjiwa-hidupi
Sepercik pun akan kena
Untuk menyegarkan yang sendu dan dahaga
Untuk menghibur yang rindu dan mendamba
Agar setia pada-Mu, dan bahagia senantiasa.

Tom Gunadi



S
ejak  waktu yang tanpa permulaan, batin manusia terus melaju menuju kepada pencarian  Kebaikan, Kebenaran, dan Keindahan. Kebenaran dapat berubah menjadi kebencian apabila diajarkan dengan cara-cara yang tidak baik. Kebaikan dapat berwujud keburukan jika tidak disertai dengan keindahan. Keindahan melahirkan cinta-kasih. Dan musuh cinta-kasih yang kasat adalah kebencian. Lepaskan kebencian hanya cinta jalan keluarnya. Dan musuh cinta-kasih yang halus adalah kerinduan. Kerinduan menyebabkan manusia terbelenggu. Agama berada di antaranya, ia mengikat, ia pula melekat sekaligus membebaskan. Boleh ikut jangan terikut, boleh berhaluan jangan bersebrangan. Sebagaimana yang Tuhan katakan, “Aku meliputi dan merengkuh segala sesuatu, dan Aku tidak menyerupai segala sesuatu.”

Secara sederhana dan dapat diterima akal sehat dan hati yang tersinari, agama adalah kebaikan. Tidak ada agama manapun, baik agama samawi [agama langit] maupun agama duniawi [agama bumi] yang tidak mengutamakan kebaikan. Kebaikan ditempatkan dalam kedudukan yang lebih tinggi dari kebenaran. Hal ini bukan karena kebenaran lebih rendah. Apakah sebuah kebenaran harus selalu sama dari waktu ke waktu, dahulu, kini, dan nanti. Tidak terkurung ruang, tidak terbelenggu waktu, abadi-kekal. Ada kebenaran yang seperti itu, ada juga yang tidak. Karenanya, kebaikan didahulukan terutama dalam hubungan dengan sesama “spesies” manusia. Tujuan kebaikan supaya dapat “memotong” jalan-jalan pemikiran seseorang agar pikirannya tidak harus sama seperti orang lain, dan pikiran orang lain sama serupa dengan pikirannya [proyeksi dan identik], seakan segala sesuatu harus berpusat kepada aku [self center]. Dengan demikian perlu  ditumbuhkan sikap toleransi untuk saling menghormati dan menghargai. Sulit mendefinisikan toleransi, mungkin lebih tepat mendeskripsikannya dengan ilustrasi. Jika ada sebuah lingkaran, lalu gambarkan dirimu, kemudian orang lain menggambar dirinya, kemudian yang lain. Begitulah kehidupan, kita semua ingin diperlakukan adil. Nyatanya tidak mudah. Jika kita berbuat baik, orang akan melihat perbuatan baik tersebut. Jika kita mengedepankan kebenaran, maka pertentangan akan muncul ke permukaan.  Dahulukan hikmah untuk kebaikan religions of  all mankind [umat manusia]. Andaikan kebenaran tidak dapat direalisasikan dalam peraturan sosial yang ada, ia akan selalu muncul dalam bentuk utopia.

Bagi sebagian orang agama adalah abstrak. Tuhan dipandang absurd. Dan kenyataannya adalah agama tidak mati-mati. Meskipun berulang kali coba dimatikan-dinihilkan. Berdasarkan kajian sosiologi agama, mengapa agama tidak pernah sirna, musnah, dan terkikis. Sebab, menurut Murtadha Muthahhari agama adalah fitrah diri manusia yang condong kepada kebaikan, kebenaran, dan keindahan-cinta. Semacam sesuatu yang diinjeksikan Tuhan ke dalam jiwa. Kata Al-Ghazali untuk menjelaskan cinta, lidah akan terikat dan pena akan patah. Manusia mencintai kesempurnaan serta ingin menyembah dan mendekati pemilik kesempurnaan. Cinta dipanaskan akan mengeras seperti telur, cinta dipanaskan akan lembut seperti mentega. Ia bisa merayap di tempat yang tidak dialiri air.

Setiap agama mengaku bahwa ajarannya adalah universal yang boleh disebarkan kepada semua makhluk. Ada agama yang menawarkan rahmat kebaikan bagi seluruh alam. Cinta kasih dari sang juru selamat. Dan menganggap semua kehidupan itu suci, bahkan kehidupan seekor laba-laba yang terperangkap di jaringnya sendiri. Karena itu, dilarang membunuh hewan apalagi memakannya.    

Sikap penulis dalam hal ini agama apa pun pada mulanya adalah teaching [pengajaran-instruksi]. Kemudian dari pengajaran pengajaran, timbullah instruksi, doktrin, peringatan, pengingatan, teguran-nasihat, dan tingkat terakhir adalah pengakuran yakni harmonisasi. Jika kita mengaku sudah beriman [pasrah], kita tidak usah takut untuk bergaul dengan agama lain, termasuk mendapatkan penerangan batin atau  didoakan sekalipun. Jangan merendahkan agama lain. Tuhan sudah bersumpah, silkan lihat dalam Qu’ran: “jikalau Aku mau, Aku bisa menjadikan semua agama sama [satu agama]. Aku mau kalian saling mengenal dan menghormati.” Proses menghormati tidak selalu harus kepada pemeluk agama berbeda, melainkan kepada saudara seiman pun sangat dianjurkan. Ringkas kata, kepada sesama manusia dan seluruh makhluk hidup.

Jika ada orang Islam berbangga dengan banyaknya masjid dalam satu kampung. Hal ini bukan berarti menambah persaudaraan, terkadang saling menjauhkan. Sebab, setiap ustad/kiai seperti “raja kecil” di hadapan jamaahnya yang terkadang malah ingin berbeda satu sama lain dengan ustad/kiai lainnya. Benar, ada istilah perbedaan itu rahmat. Faktanya, perbedaan tidak selalu membawa rahmat melainkan membawa khianat. Kata Nabi Muhammad saw., dalam buku Qutul Qulub-Quantum Qalbu karangan Abu Thalib al-Makki [gurunya Al-Ghazali. Nabi mengatakan,  “akan datang suatu masa di mana masjid tambah banyak, umatnya makin sedikit yang beribadah.” Lebih baik menggalang dana untuk pemberdayaan manusia daripada harus menggalang dana untuk pembangunan masjid baru. Terkecuali, di suatu tempat tersebut belum ada masjid sama sekali.  

Ada satu lagi pernyataan Nabi Muhammad saw. yang sangat memukul batin, “Akan datang suatu masa ketika umat Islam tambah banyak. Tetapi, ia bagaikan buih-buih di lautan.” Coba pikir, mengapa baginda Nabi berkata demikian. Lalu apa artinya jumlah yang banyak tersebut. Seandainya Nabi berkata, “Akan datang suatu masa ketika umat Islam bertambah banyak dan bertambahlah cinta kasih dalam hati mereka sehingga Islam bisa diterima di mana pun.”

Agama dari Teaching ke Ideologi


Rangkaian dari keseluruhan tulisan ini bukan membicarakan tentang sikap keterbukaan satu pemeluk agama terhadap agama lainnya. Tidak pula membangkitkan lagi mimpi-mimpi kaum pluralis. Kebenaran mutlak milik Tuhan.  Haruskah manusia terikat kepada agama [beragama]? Sementara di sisi lain telah terjadi fenomena lelah berpikir tentang Allah [Tuhan]. Agama tidak lagi dipakai sebagai sumber ilmu. Melainkan, sebagai ‘sesuatu yang fungsional.” Inilah satu di antaranya pelbagai alasan mengapa agama masih diminati orang banyak. Lantaran ia berfungsi untuk kebutuhan apa saja.
Allamah Thabathaba’i, agama secara sederhana dibagi tiga: Pertama, Iman, dalam agama menguatkan keyakinan, membimbing akal. Menjaga manusia agar terhindar dari petaka ketidaktahuan. Kedua, Akhlak, agama mengajarkan meraih keutamaan. Ketiga, Amal,  mereka yang mengingkari Sang Pencipta tidak mampu dan tidak pernah sanggup melawan bukti kebenaran-Nya. Dan mereka jujur mengatakan: “Kami tidak memiliki bukti mengenai adanya Dia,” dan tidak mengatakan “Kami memiliki bukti tidak adanya Dia.” Penganut materialisme berkata: “Saya tidak tahu,” ia tidak mengatakan: “Tuhan itu tidak ada.” Dengan kata lain, penganut materialisme adalah seorang peragu, bukan pengingkar Tuhan.  
Dan haruskah manusia terikat kepada agama? Tidak harus, karena agama pada mulanya sebuah teaching bukan untuk mengikat manusia, mengurungnya dalam keterbelakangan. Melainkan memerdekakannya. Bebaskan dirimu, dan di dalam kebebasan, engkau akan menemukan Tuhan.[]



Comments