Kembali ke Kota Menyusuri Jalan Diponegoro Medan

Oleh: Setiadi Rahmat Saleh

Setelah beberapa hari di pedalaman Aceh Timur. Rasanya setiap kali kembali ke Kota Medan ada saja hal-hal yang tampak baru. Kali ini saya mencoba raon di sekitar Jalan Diponegoro Medan. Raon (putar-putar keliling-Bahasa Medan). Raon kemungkinan besar dari penyerapan kata Bahasa Inggris, around kd. 1 keliling, sekitar. 2 Inf.: dekat-dekat. 3 Inf.: terserak-serak sekeliling --kk. 1 Inf.: kira-kira. 2 di sekitarnya. 

Di sebatang jalan Diponegoro Medan, suasana berlangsung lengang. Saya melengung memerhatikan bambu-bambu berpadu membentuk penyangga bangunan pencakar langit yang teguh lentur dan kukuh. 

Crane (derek) yang mengulurkan “leher” suaranya berderak mengangkut dan memindahkan beban dari satu tempat ke tempat lain. Barangkali, dinamakan crane (Bahasa Inggris) yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah bangau karena mirip burung bangau yang sedang mengulurkan leher dan paruhnya yang panjang.
Kini, potret pembangunan di Kota Medan laksana “tindawan berkulat dan tumbuh sekehendak hujan.” Hutan beton berdiri tiada henti, tidak peduli di bekas kuburan atau tempat bersejarah. Terpenting, ekonomi berderap tumbuh. Sementara nilai bajik filosofik, bahasa daerah, pekerti sosial-kemasyarakatan diabaikan, dan adat-istiadat disurukkan. Kata pepatah, “Manusia yang mati bisa dicari kuburannya. Tetapi, budaya
yang mati kemana hendak mencari.”

Apakah pertumbuhan kota dengan gedung-gedung tingginya itu salah? Apakah bertambahnya jumlah kendaraan yang “lahir” dari showroom itu salah? Tidak! Bukan itu pertanyaan besarnya. Kota dan manusia urban memang demikian dinamikanya. Namun, alangkah baiknya, bilamana manusia urban peduli dan berbuat untuk kota supaya memiliki ciri khasnya tersendiri. Inilah yang akan menjadi tinjauannya. Sebab, kota tanpa ciri khas tidak akan ada lagi sisi menariknya. 



Sekitar Jalan Diponegoro

Arus lalu-lintas di Jalan Diponegoro satu arah dan saya datang dari arah-searah. Nampaklah dari seberang jalan sebuah gereja putih. Jarang sekali ada gereja berwarna merah, hitam, hijau, kuning emas seperti rumah ibadah umat Muslim yang lebih berwarna-warni. Tetapi, mungkin ada pengecualian untuk gereja yang berada di Jalan Sakura Graha Maria Velangkanni yang bentuk gerejanya menyerupai kuil. Kata orang, GPIB (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat), Jemaat Immanuel. Gereja ini termasuk gereja yang tertua di Kota Medan. 

Dan kemudian tidak jauh dari situ tampak jua Kantor Gubernur Sumatera Utara. Sembari jalan saya melengung kembali,  bagaimana bisa Kota Medan yang sebegini besarnya masih belum dapat mengatasi persoalan-persoalan krusial seperti sampah, banjir, kriminalitas, dan ketidakpedulian warga kota terhadap sejarahnya. 

Dan hari ini ketika langkah kaki mulai terasa renta dan kelabu, cuaca terik sekali. Saya mampir di Mesjid Agung untuk tetirah sejenak. Di tangga-tangga mesjid sebagian orang tidur-tiduran sembari menggeser layar smartphone, mencari entah apa yang dicari. Sudah beberapa kali saya melakukan shalat di mesjid-mesjid yang megah nan mewah tetapi mengapa tidak ada getar ilahi hadir di sanubari. Sebaliknya, ketika beranjangsana ke dusun-dusun terpencil di Aceh Timur, meunasah (mushalla)nya kecil. Berwudhu kadang menggunakan air sungai atau air mata air yang berbau minyak mentah. Lalu tiang-tiang meunasah nyaris roboh ditiup angin. Rumah Tuhan tampak lusuh dan kumuh, tetapi di situlah cinta rabbani terbit berkilau. 

Dan langkah kaki saya pertegas. Jika tidak karena ada janji bertemu handai tolan, masih ingin rasanya menghabiskan waktu menikmati indahnya kota sepanjang Jalan Diponegoro yang teduh dipagari daun hijau dan pokok-pokok kayu yang mulai layu.[]


Comments